Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pertempuran Sunyi Laki-laki Menghadapi Toxic Masculinity di Lingkup Komunikasi
10 Oktober 2024 15:02 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hannaia Saliza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan seorang anak laki-laki yang terjatuh dari sepeda, lututnya berdarah, muncul teriakan "Jangan nangis! Anak laki-laki gak boleh nangis!" Kata-kata tersebut mungkin terdengar familiar, tapi apakah Anda pernah memikirkan dampak dari kalimat tersebut?
ADVERTISEMENT
Sebelum menjawab pertanyaannya, apa itu toxic masculinity? Toxic masculinity atau maskulinitas toksik merupakan konsep pedoman perilaku yang ditanamkan sejak kecil kepada laki-laki yang menjadi acuan, sikap, nilai, dan norma di masyarakat. Sering kali, acuan tersebut memiliki sifat yang beracun karena menekan emosi, memperkuat gender stereotype yang sempit, dan mendorong perilaku dominan.
Kembali ke pertanyaan awal, pernahkah Anda memikirkan dampak dari kalimat tersebut?
1. Represi emosional: "Laki-laki tidak boleh menangis"
Sejak kecil, anak laki-laki sering kali tidak diperbolehkan untuk mengekspresikan emosinya, terutama melalui air mata. Menangis dianggap sebagai tanda kelemahan, sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat tentang maskulinitas. Ungkapan seperti "Anak laki-laki tidak boleh menangis" bergema selama tahun-tahun pembentukan mereka, membuat para pria belajar untuk tidak menunjukkan sikap emosional.
ADVERTISEMENT
Ekspektasi ini tidak hanya menghambat pertumbuhan pribadi, tetapi juga memengaruhi komunikasi interpersonal. Ketika pria tidak diizinkan untuk mengekspresikan kesedihan atau rasa sakit, mereka sering menarik diri, sehingga terjadi gangguan komunikasi psikologis. Hal ini sering terjadi pada hubungan, contohnya, jika seorang pria ingin menyampaikan perasaannya dengan emosional tapi perasaan tersebut dikekang, sang penerima pesan bisa saja menafsirkan dengan makna lain dan hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman.
2. Stereotip bahwa laki-laki harus kuat: "Men used to go to war"
Pandangan bahwa pria harus selalu terlihat kuat, baik secara fisik maupun emosional, semakin mempertegas bahwa toxic masculinity telah tertanam sejak zaman dahulu. Dahulu, pria lekat dengan perang, dimana hanya pria yang boleh dan bisa berpartisipasi di medan perang. Misalnya akhir-akhir ini marak frase "men used to go to war" di media sosial, yang mengartikan bahwa pria yang menunjukkan sisi tidak berdaya berakhir dengan balasan ejekan.
ADVERTISEMENT
Dalam interaksi antar gender, pria mungkin kesulitan untuk terbuka karena takut akan melemahkan citra "jantan" mereka. Vulnerabilitas sering disalahartikan sebagai kelemahan, dan akibatnya, laki-laki merasa tertekan untuk menyembunyikan perasaan mereka sebenarnya.
3. Laki-laki harus dominan: Mentalitas Alpha
Keyakinan bahwa laki-laki harus selalu mengambil peran sebagai alpha atau yang paling dominan di segala situasi. Perilaku dominan terikat dengan sifat yang mengendalikan, dan tidak jarang agresif. Hal ini dapat menyebabkan sikap berbahaya terhadap diri sendiri dan orang lain.
Saat pria merasa bahwa mereka memiliki sifat dominan, mereka akan berpendapat dan berpikir bahwa pesan yang mereka sampaikan harus diutamakan dibandingkan orang lain. Contohnya, saat sedang melaksanakan percakapan, laki-laki diharapkan memerintah, sementara penerima pesan harus mendengarkan dan tunduk pada otoritas mereka. Saluran komunikasi menjadi sepihak dan didominasi oleh pernyataan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami toxic masculinity dalam komunikasi gender, terbagi menjadi tiga bagian ruang lingkup yang bisa diuraikan. Tiga ruang lingkup tersebut merupakan produksi, proses, dan efek. Produksi mengacu pada bagimana toxic masculinity diciptakan. Produksi tersebut diawali dari ekspektasi masyarakat, peran gender, dan media. Prosesnya mengacu pada bagaimana aturan tersebut dikomunikasikan. Hal tersebut biasanya terjadi melalui internalisasi sejak dini antara orang tua dan anak, dimana laki-laki mengikuti aturan tidak tertulis tentang bagaimana cara menjadi seorang pria. Efek yang ditimbulkan dalam fenomena ini adalah penekanan emosional, kesulitan dalam berkomunikasi dengan sehat, peningkatan risiko masalah kesehatan mental.
ADVERTISEMENT