Konten dari Pengguna

Tren Thrifting

Hamida Hanum
Mahasiswa D3 penerbitan (jurnalistik) di Politeknik Negeri Jakarta.
9 Juli 2024 7:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hamida Hanum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
baju bekas atau biasa disebut thrifting, yang bertumpuk | freerangestock.com
zoom-in-whitePerbesar
baju bekas atau biasa disebut thrifting, yang bertumpuk | freerangestock.com
ADVERTISEMENT
Saat ini, mencari baju bekas yang masih bagus bukanlah hal yang sulit. Baju-baju ini tersedia di mana-mana, mulai dari toko fisik hingga toko daring. Dalam beberapa tahun terakhir, tren belanja baju bekas, atau yang sering disebut thrifting, semakin populer di kalangan anak muda. Tapi, apa sebenarnya thrifting? Apakah thrifting hanya sebatas belanja baju bekas?
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, thrifting berasal dari kata 'thrift' yang berarti hemat. Namun, belakangan ini istilah ini digunakan untuk kebiasaan berbelanja baju atau barang bekas. Thrifting bisa diartikan sebagai cara berhemat dengan membeli barang bekas.
Kini, thrifting lebih dilihat sebagai aktivitas berburu barang bekas, padahal sebenarnya thrifting memiliki tujuan tertentu. Thrifting adalah gerakan mengumpulkan barang bekas untuk dijual dan hasilnya digunakan untuk amal, donasi, atau kegiatan sosial lainnya. Misalnya, mengadakan garage sale untuk membantu ibu-ibu yang terdampak pandemi bisa disebut thrifting. Namun, membeli baju bekas dari pasar seperti Gedebage hanya sekedar membeli barang second-hand.
Di dunia, budaya thrifting sudah ada lebih dari satu abad lalu. Pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat, revolusi industri membuat produksi massal pakaian menjadi umum, dan banyak barang yang dibuang. Gerakan barang-barang second-hand muncul untuk menemukan kegunaan baru dari barang-barang tersebut. Organisasi seperti Salvation Army dan Goodwill mengembangkan konsep thrifting dengan mengumpulkan baju bekas untuk dijual kepada imigran dengan harga murah. Meski pada awalnya, pakaian bekas masih mendapat stigma negatif sebagai tanda ekonomi yang sulit.
ADVERTISEMENT
Tren thrifting semakin berkembang saat era grunge populer. Kurt Cobain, idola remaja saat itu, mempopulerkan gaya slengean dengan kaus bolong, kemeja flanel, dan celana jins sobek. Barang-barang ini banyak ditemukan di thrift store. Di Indonesia, budaya belanja baju bekas sudah ada sejak 1980-an.
Sonny, seorang pengamat sosial, menyebut bahwa dulu belanja baju bekas di kalangan atas disebut vintage, sedangkan di kalangan bawah lebih karena kebutuhan ekonomi. Bagi kalangan atas, barang bekas yang dibeli biasanya memiliki nilai sejarah tertentu, sementara kalangan bawah membeli karena harganya murah.
Budaya thrifting kini berubah. Sonny melihat bahwa media sosial membuat thrifting terlihat lebih keren. Kampanye pemanasan global juga berpengaruh, membuat thrifting dianggap sebagai kontribusi dalam melestarikan bumi. Peran influencer juga membuat thrifting semakin populer di kalangan anak muda. Menurut Devie Rahmawati, pengamat sosial dan budaya dari Universitas Indonesia, media sosial sangat berpengaruh dalam perkembangan thrifting. Kata 'thrifting' dan 'barang bekas' yang dulu dianggap sedikit memalukan, kini dianggap keren dan membantu kelestarian bumi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, thrifting yang awalnya hanya dianggap sebagai cara berhemat kini berubah menjadi sesuatu yang keren dan bahkan membantu lingkungan. Influencer turut mempopulerkan cara memadupadankan baju bekas yang dibeli di pasar loak, membuat thrifting semakin digemari anak muda.