Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Siapa Lagi Setelah Din Syamsuddin dan Nurhayati Subakat?
15 Februari 2021 7:10 WIB
Tulisan dari Hariqo Wibawa Satria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerakan Anti Radikalisme ITB atau GAR ITB pantas disebut perusak kerukunan dan modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia. Tindakan mereka sungguh gegabah dalam menilai seseorang. Bahkan tuduhannya tidak main-main pada Pak Din Syamsudin: dianggap radikal.
ADVERTISEMENT
Saya teringat pernyataan Mantan Kepala BPIP Dr. Yudi Latif beberapa tahun lalu, menurut Yudi, terkadang pemikiran seorang tokoh lebih luas dari kategorisasi yang kita ciptakan.
Sayangnya pemikiran gerombolan GAR ITB malah lebih sempit dari kategori yang tersedia.
GAR ITB sepertinya di-ada-kan memang untuk meng-ada-ada. Gara-gara yang mereka bikin mengalihkan kita pada isu-isu penting, wajar banyak sekali yang protes, hingga Prof. Dr. Mahfud MD menulis “Beliau Pak Din Syamsuddin itu kritis bukan radikalis.”
Tokoh lain yang mereka laporkan dan mereka curigai radikal adalah Nurhayati Subakat. Padahal di tahun 2019, Nurhayati Subakat telah membantu kampus mereka ITB itu senilai Rp 52 miliar untuk infrastruktur, penelitian dll.
Kita pun ingat, pada 20 Maret 2020, Nurhayati Subakat menjadi pengusaha pertama yang menyumbang Rp 40 miliar untuk penanganan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Kasus COVID-19 pertama di NKRI diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, enam belas hari setelah pengumuman itu, pada 18 Maret 2020, Nurhayati Subakat langsung menyumbang dan berlanjut dengan bantuan-bantuan berikutnya.
Bahkan langkah Nurhayati itu menjadi salah satu yang mendorong kolaborasi besar dalam penanganan COVID-19 di Indonesia.
Telinga saya mendengar langsung pengakuan dari Dr. Andani Eka Putra (Tenaga Ahli Budi G Sadikin, Menkes RI sekarang). Dalam webinar yang saya adakan bersama teman-teman, Dr. Andani mengatakan, "riset saya dibantu Ibu Nurhayati Subakat, itu juga salah satu yang menginspirasi saya menggratiskan swab test bagi masyarakat".
Bapak, ibu di GAR ITB yang merasa paling pancasilais, kita semua sudah paham, bahwa Pancasila sudah final dan NKRI ini adalah negara yang dibangun di atas berbagai perbedaan, dibangun oleh golongan kebangsaan, golongan islam, dan golongan kiri.
ADVERTISEMENT
Buka hati kita sedikit! Negara ini masih memiliki masalah pengamalan Pancasila yang serius yaitu kesenjangan sosial. Semoga GAR ITB tahu bahwa satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.
Saya ingat, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PB NU) Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj pada 10 Desember 2019 pernah mengatakan bahwa “toleransi agama saat ini sudah terwujud di Indonesia. Hanya satu toleransi yang belum tercipta sepenuhnya di Indonesia, yakni toleransi ekonomi, dan dampak kesenjangan ekonomi ini bisa memicu tindakan intoleransi. Kesenjangan ekonomi ini juga menjadi salah satu faktor terciptanya konflik sosial di masyarakat”.
Empat tahun lalu, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005 Buya Syafii Maarif juga pernah mengatakan "70 tahun kita merdeka. Kita lihat ketimpangan sosial masih ada. Kita lihat penguasaan tanah. Ini harus cepat diatasi."
ADVERTISEMENT
Dua paragraf terakhir di atas bagus juga didiskusikan di GAR ITB, supaya GAR ITB tidak tercatat dalam sejarah sebagai gerombolan orang-orang yang malas merenung, sehingga menjadi gerombolan orang-orang yang gagal paham masalah mendasar bangsa ini. Terima kasih.
*Hariqo Wibawa Satria, pengamat media sosial dari Komunikonten. IG @hariqo81