Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengintip Kembali Gunung Gede: Mahkota Jawa Barat, Tamannya Jiwa-jiwa Pendaki
12 Agustus 2022 3:50 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam itu, suasana berbeda saya rasakan saat tiba di Cibodas –salah satu jalur pendakian resmi menuju puncak Gede dan Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)– pada Sabtu (6/8/2022). Tidak terlihat keramaian para pendaki gunung, sebagaimana yang saya lihat bertahun-tahun yang lalu. Terlihat hanya ada beberapa kelompok pendaki yang sedang beristirahat di beberapa warung makan yang menyediakan fasilitas untuk bermalam para pendaki.
ADVERTISEMENT
Padahal, dulu, saat akhir pekan seperti ini, biasanya ramai para pendaki yang akan mendaki. Usut punya usut, berdasarkan cerita beberapa penjaga warung makanan dan toko kelontong di sana, banyak pendaki kini lebih memilih jalur pendakian Gunung Putri untuk mendaki.
Tidak dapat dipungkiri, salah satu faktor yang membuat aktivitas pendakian gunung di TNGGP sangat ramai adalah aksesnya yang sangat mudah dijangkau dari wilayah Jabodetabek, Sukabumi, dan Cianjur. Bahkan tidak sedikit yang dari Bandung dan sekitarnya.
Mungkin sudah ribuan hingga puluhan ribu kaki wisatawan pendaki, menjejakkan kakinya di sini. Bahkan, ketersohoran Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl), dimulai sejak keduanya didaki oleh para naturalist dan ilmuwan di masa Hindia Belanda. Mulai dari Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, yang bertakhta di Jawa pada periode 1811-1816. Ia mendaki hingga ke puncak Gede pada 1815 dan sekaligus mencatatkan dirinya sebagai orang Eropa pertama yang mendaki Gunung Gede hingga mencapai puncaknya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, disusul pada 1819, Caspar Georg Karl Reinwardt –pendiri kebun botani 's Lands Plantentuin te Buitenzorg yang kini mejadi Kebun Raya Bogor– yang juga merambah puncak Gunung Gede. Berikutnya ada Franz Wilhelm Junghuhn, Johannes Elias Teysmann, Alfred Russel Wallace. Sijfert Hendrik Koorders, Melchior Treub dan masih banyak lagi.
Publikasi-publikasi mereka tentang keindahan dan kecantikan bentang alam dataran tinggi Jawa bagian barat ini tergambarkan sempurna dengan beragam kekayaan flora dan fauna yang menghuninya.
Pendakian kali ini menjadi momen saya, mendaki Gunung Gede, setelah 4 tahun pendakian terakhir saya ke gunung yang sama, pada Agustus 2018. Dan, ini juga menjadi pendakian yang yang spesial. Karena, saya mendaki bersama-sama dengan tim dari Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi (PJLKK), dalam rangka memeringati Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang diperingati pada 10 Agustus tiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Mulai Pendakian
Pagi harinya, Minggu (7/8-2022), cuaca sangat cerah. Jajaran Gunung Gede, Pangrango, dan Geger Bentang, terlihat begitu jelas. Seolah, mereka memberi ucapan selamat datang kepada kami yang akan mendaki menuju salah satunya.
Setelah melalui proses pemeriksaan perlengkapan dan kesehatan oleh petugas serta mendapat pengarahan oleh Kepala Resort Cibodas kami pun mulai mendaki. Di awal-awal pendakian, kami melewati kawasan hutan tipe sub montana –terbentang dari ketinggian 1.000 mdpl hingga 1.500 mdpl. Terlihat jelas dengan banyaknya pohon-pohon berukuran besar dan tinggi. Dua di antaranya: Puspa (Schima walichii), Jamuju (Podocarpus imbricata). Keduanya tersebar mulai dari pintu masuk pendakian hingga kawasan telaga biru– telaga yang tidak selalu biru airnya. Di waktu tertentu air akan berwarna hijau dan kecoklatan. Adalah tumbuhan sejenis alga yang membuat air telaga berwarna biru.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kami mulai memasuki kawasan hutan tipe montana –berada hingga ketinggian 2.400 mdpl dan pepohonan serta tanah sekitarnya, biasanya banyak diselimuti lumut dan kaya akan tumbuhan epifit.
Melewati jembatan yang melintas di atas rawa gayonggong. Selain untuk memberi kenyamanan dan menjamin keselamatan wisatawan pendaki, pengelola membangun jembatan untuk melindungi ekosistem rawa dari banyaknya pengunjung yang melewatinya.
Hari masih pagi, saat kami tiba di Pos Panyangcangan yang berada pada ketinggian sekitar 1.625 mdpl –persimpangan menuju air terjun Cibeureum, Pos Kandang Badak, Puncak Pangrango, Puncak Gede dan Alun-alun Suryankencana.
Kami masih terus melewati kawasan vegetasi hutan Montana. Kalau sedang beruntung, sebenarnya, dapat melihat Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) yang melompat dari ranting pohon ke pohon lainnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali kami berhenti sejenak untuk beristirahat sambil minum dan menikmati beberapa kudapan atau cemilan di sepanjang jalur pendakian. Kami kemudian melewati lereng yang cukup curam dengan aliran air panas. Jarak tempuhnya lumayan jauh dari Pos Panyangcangan.
Tidak jauh setelah meninggalkan Pos Air Panas, kami melewati areal camp atau perkemahan yang cukup luas yang dikenal dengan nama Kandang Batu.
Saat menuju Pos Kandang Badak, kami melewati air terjun yang tidak terlalu tinggi berada di sisi kanan jalur pendakian.
Tepat tengah hari, akhirnya, kami pun tiba di areal camp atau perkemahan Pos Kandang Badak –menjadi persimpangan jalur menuju puncak Pangrango dan puncak Gede. Berada pada ketinggian sekitar 2.393 mdpl, kawasan ini merupakan yang paling dekat antara batas hutan tipe montana dan sub alpine– berada di atas ketinggian 2.400 mdpl.
ADVERTISEMENT
Biasanya, para pendaki yang ingin mengambil dua puncak atau salah satu puncak akan menjadikan areal Pos Kandang Badak, sebagai tempat transit untuk berkemah. Sumber air bersih di sini juga cukup melimpah. Pepohonan yang tumbuh di sini tidak terlalu rapat.
Sebelum melanjutkan pendakian, kami beristirahat dan menyantap makan siang yang sudah dibawa dan disiapkan oleh tenaga porter.
Kemudian, kami mulai memasuki kawasan Sub Alpine. Rerumputan (Isachne parangesis), Edelweiss (Anaphalis javanica) dan lumut merah (Spagnum cedeanum), terlihat tumbuh di lantai hutan, di sela-sela pepohonan yang lebih tinggi dan besar dari mereka. Tanjakan-tanjakan terjal yang kami lalui, cukup melelahkan dan menguras tenaga. Setelah melewati tanjakan rante –lereng berupa tebing– jalur pendakian masih terus menanjak hingga memasuki punggungan bagian puncak.
ADVERTISEMENT
Kemudian berjalan menyusuri tubir puncak Gede hingga tiba di titik trianggulasi pada ketinggian 2.958 mdpl. Sayang cuaca saat itu berkabut dan sempat turun hujan. Jadi, lerang-lereng terjal di barat laut puncak dengan tiga kawah (kawah ratu, kawah lanang, dan kawah wadon) di bawahnya, serta sosok kerucut Pangrango tidak terlalu kelihatan. Mereka hanya terlihat samar-samar. Sedangkan, di sisi lainnya, juga terlihat samar, lembah Alun-alun Suryakencana dengan latar belakang Gunung Gemuruh. Dan di lembah tersebutlah tempat kami bermalam untuk beristirahat.
Menjelang magrib, kami tiba di areal camp atau perkemahan di Alun-alun Suryakencana (2.750 mdpl) yang sudah disiapkan tim porter. Lokasinya tidak jauh dengan sumber air bersih yang ada di kawasan seluas sekitar 50 hektare ini.
ADVERTISEMENT
Karena, cuaca malam hari cukup dingin dan angin yang bertiup lumayan kencang, selepas makan malam, tidak banyak yang kami lakukan, selain masuk ke tenda masing-masing untuk beristirahat. Hanya, beberapa orang saja dari kami yang keluar sebentar, untuk melihat jutaan kerlap-kerlip cahaya bintang di langit pada malam itu. Tidak hanya itu, saat pemandangan sunset dan sunrise dari sini juga terlihat menakjubkan.
Esok paginya, usai sarapan dan menikmati panorama pagi dengan pemandangan khas salah satu ikon TNGGP, kami segera bersiap-siap untuk turun menuju jalur pendakian Gunung Putri di bagian ujung timur alun-alun. Ratusan atau bahkan mungkin hingga ribuan, Edelweiss tumbuh subur di sepanjang bibir hutan, kanan dan kiri Alun-alun Suryakencana.
Sebenarnya, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya yang pernah berkali-kali menjejakkan kaki di sini, sebenarnya hutan Edelweiss dalam kawasan ini, bisa dikatakan sudah tidak serimbun dan sebanyak tahun-tahun 1990-an hingga awal-awal 2000-an. Apalagi kalau membaca beberapa risalah perjalanan para pendaki di mas Hindia Belanda. Bahkan, saat itu tergambarkan sangat banyak, lebat dan rapat.
Penataan Areal Camp atau Perkemahan
ADVERTISEMENT
Selama pendakian, mulai dari gerbang masuk pintu pendakian jalur Cibodas hingga tiba di pintu masuk pendakian Gunung Putri, ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan catatan saya. Kini berdiri warung-warung penjaja makanan dan minuman. Termasuk di kawasan Alung-alun Suryakencana. Bahkan di jalur wisata pendakian Gunung Putri lebih banyak lagi. Namun, sayangnya, tidak tertata dengan baik. Jadi, terlihat dan terkesan berantakan serta tidak sedap dipandang mata. Terpal-terpal plastik berwarna biru dan lainnya, terlihat kontras dengan hijau dan rimbunnya hutan dalam kawasan.
Sebaiknya, memang hal ini dikelola dan ditata oleh pengelola. Hal ini ternyata juga yang menjadi konsen Kepala Balai Besar TNGGP Sapto Adjie Prabowo, yang juga ikut dalam pendakian tersebut. Menurutnya, hal ini salah satu hal yang menjadi perhatiannya, setelah mendapat amanah memegang tampuk tertinggi salah satu kawasan konservasi ini.
ADVERTISEMENT
“Saya sih ingin menatanya, mas. Tetapi, tentu pelan-pelan dan bertahap. Jadi, nantinya, tidak lagi menggunakan tenda-tenda biru begitu dan mereka semua mempunyai izin. Sehingga mudah mengawasi dan mengaturnya,” kata Sapto.
Menurutnya, akan dilakukan sosialisasi lebih dulu. Secara bertahap kepada masyarakat yang akan dibantu. “Bukan model-model penggusuran atau penertiban gitu,” lanjutnya.
Selain itu, perlu juga adanya pengaturan atau penataan areal camp atau perkemahan, agar tidak terkesan semrawut dan merusak ekosistem yang rentan. Salah satunya di Alun-alun Suyakencana. Kalau saat ini, para pendaki masih bebas mendirikan tenda di mana pun di kawasan ini. Di mana pada akhirnya merusak ekosistem lainnya di sana. Seperti padang rumput, lumut, edelweiss dan lainnya yang memang rentan dari kerusakan.
ADVERTISEMENT
Pada momen peringatan HKAN tahun ini, yuk sama-sama jaga kelestarian dan keberlanjutan kawasan konservasi dan alam lainnya dengan melakukan aktivitas luar ruang serta wisata alam secara cerdas, baik, bijak dan bertanggung jawab.
Mematuhi aturan yang ditetapkan pengelola, serta mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama beraktivitas di dalam kawasan. Dua di antaranya: bawa keluar sampah sekecil apa pun yang dihasilkan saat beraktivitas ke luar kawasan dan buang pada tempat semestinya serta jangan pernah memberi makan satwa liar yang kamu temui, baik langsung maupun tidak langsung. Selamat Hari Konservasi Alam Nasional.