Konten dari Pengguna

Mengapa Kita Masih Belum Ramah Disabilitas

Harry Siswoyo
Menulis, pecandu kopi hitam dan penyuka gunung, pantai dan hutan
3 Desember 2019 15:15 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harry Siswoyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penyandang Disabilitas Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penyandang Disabilitas Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
"Kami ditilang (karena) tak punya SIM. (Sementara) Kami tidak bisa buat SIM," ujar Netti dalam tulisannya di secarik kertas. Perempuan berusia 36 tahun ini adalah penyandang disabilitas rungu. Ia memang mengandalkan bahasa isyarat sebagai bentuk komunikasinya. Kalau menulis, paling cuma beberapa kata.
ADVERTISEMENT
Pekan lalu, ia mengaku ditilang polisi di sebuah tepian jalan karena tidak mengindahkan larangan "Belok Kiri Ikuti Isyarat Lampu" yang biasanya ada di beberapa titik traffic light. Ibu dua anak ini mengaku memang tak paham soal tanda larangan itu. Lagi pula, bukan dia sendiri yang menerobos larangan itu.
Namun memang hari itu sedang nasib sialnya. Netti dan motornya pun terpaksa dihentikan polisi. Di dianggap melanggar lalu lintas. Ceritanya, polisi tak mengerti penjelasannya kalau dirinya memang tak bisa membuat SIM, karena beberapa kali mau mengajukan selalu terkendala persyaratan.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Netti ditilang tanpa bisa berargumentasi. Bahasa isyaratnya tetap tak mempan membuat iba polisi yang menilangnya.

Data yang Simpang Siur

Organisasi Kesehatan Dunia pernah merilis ada 10 persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Tak lama itu, muncul lagi data dari Pusdatin pada tahun 2010, bahwa ada 11 juta orang disabilitas di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dua tahun berjalan ada data yang dirilis dari Program Perlindungan dan Layanan Sosial (PPLS); katanya ada 3,8 juta penyandang disabilitas yang tinggal di Indonesia.
Penyandang disabilitas di Bengkulu sedang mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan AJI Bengkulu/Harry Siswoyo
Sampailah ke data terbaru yang diterbitkan pada tahun 2018, yang dirilis data.go.id, mereka menyebut ada 2,45 persen atau sebanyak 6 juta lebih orang Indonesia adalah penyandang disabilitas.
Simpang siurnya data para penyandang disabilitas di Indonesia, menjadi salah satu indikasi belum adanya perhatian serius kepada kelompok marginal ini. Kalau pun ada, pendataan ini hanya muncul sesekali ketika ada pemilihan umum di suatu daerah.
Di Bengkulu misalnya, sampai hari ini tidak ada data yang bisa dikutip dari Badan Pusat Statistik soal penyandang disabilitas. Yang ada hanyalah data dari Komisi Pemilihan Umum, itu pun hanya untuk penyandang disabilitas yang telah memiliki hak pilih.
ADVERTISEMENT
Tercatat hingga Februari 2019, setidaknya ada 3.274 pemilih penyandang disabilitas. Dari data itu, dilaporkan bahwa ada 908 pemilih sebagai penyandang tunadaksa, lalu 675 pemilih tunarungu, tunanetra 577 pemilih, tunagrahita 546 pemilih, dan 568 lainnya tak teridentifikasi disabilitasnya.
Jumlah itu, jelas belum menyasar kepada mereka yang belum memiliki hak pilih. Mereka akhirnya tetap tersembunyi di bawah permukaan dan kemudian tenggelam dari perhatian. "Karena itu kami mendesak pemerintah untuk melakukan pemutakhiran data dan penyusunan profil disabilitas," ujar pemerhati kelompok disabilitas Irna Riza Yuliastuti.

Usulan Keringanan

Di bagian lain, Kapolda Bengkulu, Irjen Pol Supratman, dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional di Bengkulu mengaku memang memberi perhatian lebih kepada kelompok disabilitas.
ADVERTISEMENT
Kepeduliannya itu juga terinspirasi dari putrinya yang juga menjadi penyandang disabilitas. "Orang tua jangan mengucilkan anaknya yang disabilitas. Keluarkan mereka, bimbing sesuai kemauan mereka," ujar Supratman, Selasa, 3 Desember 2019.
Ia juga berharap, terkait dengan tugas kepolisian. Supratman meminta agar kelompok penyandang disabilitas juga bisa mendorong DPR agar bisa membuat rumusan undang-undang yang bisa memberi ruang khusus kepada disabilitas.
"Ajukan ke DPR agar rekan-rekan disabilitas dapat ruang keringanan," kata Supratman.
Misalnya, dalam proses pembuatan SIM. Sebab menurut Supratman, ketentuan itu kekuatannya ada di undang-undang yang hanya bisa dirumuskan oleh DPR. "Tentunya dengan syarat-syarat tertentu," ujar Supratman.