Konten dari Pengguna

Molek, Kereta Kuno yang Masih Merayap di Hutan Sumatera

Harry Siswoyo
Menulis, pecandu kopi hitam dan penyuka gunung, pantai dan hutan
10 Mei 2019 0:03 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harry Siswoyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah Molek sedang melintas di jembatan tua sisa Belanda di Desa Lebong Tandai, Kabupaten Bengkulu Utara/Harry Siswoyo
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah Molek sedang melintas di jembatan tua sisa Belanda di Desa Lebong Tandai, Kabupaten Bengkulu Utara/Harry Siswoyo
ADVERTISEMENT
"Ini fungsinya sebagai rem. Bentuknya memang seperti stir, tapi bukan untuk kemudi," ujar Pedi, sembari memegangi stir mobil berlogo Suzuki yang berbalut kain kulit hitam yang sudah berkarat di hampir seluruh tepinya.
ADVERTISEMENT
Lelaki berusia 37 tahun ini adalah sopir Molek atau Motor Lori Ekspress, satu-satunya angkutan umum untuk menuju Desa Lebong Tandai dari Desa Air Tenang, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, begitu juga sebaliknya.
Molek tak seelok namanya. Bentuknya mirip dengan kotak peti kemas. Namun lebih kecil, sekira 3x1 meter. Seluruh rangka dan atapnya dari kayu yang menyelubungi besi bekas lori kereta beroda empat.
Bagi warga, Molek bisa dipergunakan untuk apa pun. Mulai dari mengangkut orang, hewan, dan barang bahkan sampai gelondongan kayu panjang yang berdiameter sampai setengah meter.
Penumpang Molek membantu sopir memasukkan roda lori ke lintasan rel di stasiun transit Ronggeng di Desa Lebong Tandai, Bengkulu Utara/Harry Siswoyo
Tak diketahui persis siapa yang memberi nama Molek. Namun, kendaraan yang mengandalkan rel atau tram sebagai lintasannya ini telah berumur lebih dari seabad untuk rangka lori dan relnya yang mengular sepanjang 33 kilometer menembus pedalaman hutan Lebong Tandai.
ADVERTISEMENT
"Suku cadangnya sudah tidak ada lagi sekarang," ujar Pedi.
Jangan berharap kenyamanan lebih ketika menumpang Molek. Sebab dengan ukurannya yang mini, membuat semuanya mesti dibuat nge-pas. Penumpang misalnya, hanya mampu membawa maksimal 12 orang. Sepuluh untuk penumpang dan sisanya buat sopir dan kernet.
Kursi duduknya terbuat dari papan panjang yang dibungkus kulit dan busa seadanya. Malah kadang-kadang cuma papan saja dengan penumpang saling membelakangi. Molek tidak memiliki kaca jendela pelindung di samping kiri dan kanannya. Kecuali bagian depan.
Itu pun gunanya untuk melindungi penumpang di bagian depan sopir ketika Molek menerobos lintasan rel yang kini banyak tertutup duri dan semak menjuntai. "Ini hebatnya Molek. Sopirnya tidak di depan, jadi di tengah. Mungkin cuma molek yang begini," ujar Pedi seraya tertawa.
Proses transit penumpang Molek di stasiun Ronggeng di Desa Lebong Tandai, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara/Harry Siswoyo
Selain itu, karena jarak kursi yang begitu dekat, jadi tidak ada cukup ruang untuk merenggangkan kaki. Apalagi buat penumpang yang berbadan jangkung akan jadi hal yang lebih merepotkan.
ADVERTISEMENT
Sebab dengan atap molek yang rendah. Maka suka tidak suka sepanjang perjalanan, kepala terpaksa agak membungkuk hingga tiba di tujuan.
Belum lagi soal kebisingan. Mesin Molek yang merupakan modifikasi mesin mobil berbahan bakar solar posisinya persis berada di tengah Molek atau tepatnya di bawah kaki penumpang. Karena itu bisa dipastikan suaranya sangat berisik dan membuat panas kaki mereka yang duduk berdekatan.
Namun demikian. Apa pun itu, Molek tetaplah menjadi kendaraan termewah di Lebong Tandai. Kebisingan dan kecemasan ketika Molek melintas rel yang rusak sementara jurang-jurang dalam di bawahnya, menjadi pengalaman tak terlupa siapa pun yang berkunjung ke desa yang dijuluki sebagai Batavia Kecil ini.
Molek ketika melintasi jembatan peninggalan Belanda yang telah berusia seabad dan dalam kondisi memprihatinkan/Harry Siswoyo

Hikayat Si Molek

Molek bukanlah yang pertama ada di Lebong Tandai. Sejatinya, molek lahir dari keterbatasan warga di pelosok hutan sepeninggal Belanda dan sebuah perusahaan milik Australia yang mengeruk habis emas di tanah mereka.
ADVERTISEMENT
Dahulunya, ketika Belanda masuk ke perut hutan di Kecamatan Napal Putih Bengkulu Utara untuk berburu urat emas pada tahun 1901. Akses jalan yang paling memungkinkan untuk menyesuaikan topografi daerah hanyalah kereta api.
"Fungsinya untuk mengangkut emas dan orang," ujar Supandi (77), tokoh masyarakat di Desa Lebong Tandai.
Karena itu, ribuan kuli dari Jawa dipaksa membuat rel kereta yang melipir bukit, menyeberang sungai bahkan menembus batu hingga sepanjang 33 kilometer dari Desa Air Tenang hingga ke Desa Lebong Tandai.
Roda Molek yang merupakan sisa lori pengangkut emas Belanda pada tahun 1900-an/Harry Siswoyo
Kala itu, mengutip dari dokumen internationalsteam.co.uk, pada masa Belanda atau tepatnya pada tahun 1910, usai pembangunan rel, setidaknya ada lebih dari 12 kereta api yang dipergunakan mereka sebagai alat transportasi barang dan orang.
ADVERTISEMENT
Namun sayang, semuanya hilang tanpa bekas lantaran dijarah penduduk ketika Belanda diusir Jepang pada tahun 1949. Sampai kemudian di tahun 1980, masuklah kembali perusahaan milik Australia yang bernama PT Lusang Mining.
Oleh mereka, transportasi kemudian dihidupkan kembali. Tak ada laporan rinci berapa banyak kereta yang dimiliki perusahaan yang juga berelasi dengan Presiden Soeharto kala itu.
"Saya kurang ingat persis. Tapi ada banyak. Untuk orang, emas dan barang berbeda. Cuma yang jelas Lusang Mining pakai mesin Diesel atau Lodis (Lokomotif Diesel) bukan uap seperti Belanda dulu," ujar Supandi.
Tapi sekali lagi disayangkan. Ketika Lusang Mining bangkrut pada tahun 1995, sejumlah kereta itu pun juga ikut hilang dijarah oleh penduduk.
Dokumen foto terakhir mengenai bentuk kereta itu hanya ada pada tahun 2012, yang diambil oleh seorang warga Belanda Gerard de Graaf. Foto itu jugalah yang kini tersimpan dalam laman internationalsteam.co.uk.
Molek di Lebong Tandai juga dipergunakan warga untuk mengangkut kayu gelondongan dari dalam hutan/Harry Siswoyo
Menurut pengakuan Mukhlisin, Kepala Dusun Lebong Tandai, sejak hilangnya PT Lusang Mining memang muncul praktik vandalisme warga dengan menjarah sebagian besar besi kereta untuk dijual kembali.
ADVERTISEMENT
Yang tersisa, akhirnya cuma segelintir rangka lori beserta rodanya. Dari situlah kemudian ada beberapa warga mencoba memodifikasinya dengan menanamkan mesin mobil di bagian tengahnya.
Lalu untuk memutar roda besi kereta dipergunakanlah dua rantai besar yang terhubung dengan gear. Dari situlah kemudian muncul istilah Molek.
"Mungkin sekitar 8 atau 10 tahunlah ada molek. Awalnya cuma iseng mungkin, tapi bisa jalan. Akhirnya jadilah seperti sekarang (molek)" ujar Mukhlisin.
Sejauh ini, Molek dengan segala keterbatasannya akhirnya menjadi satu-satunya andalan warga untuk bepergian ke Napal Putih. Dengan lintasan rel sepanjang 33 kilometer yang sudah memprihatinkan, Molek pun tertatih-tatih.
Setidaknya butuh waktu antara 4-6 jam hanya untuk bisa mencapai Desa Lebong Tandai dari Napal Putih. Itu pun bergantung dengan kondisi cuaca. Sebab jika hari hujan, sering terjadi longsor atau pohon tumbang. Sehingga membuat waktu perjalanan makin lama.
Seorang warga Lebong Tandai sedang melintas di antara rel dan Molek/Harry Siswoyo
Besar harapan warga setempat agar ada jalan alternatif ke Lebong Tandai. Dengan itu, maka keterisoliran desa lumbung emas ini akan terbuka. Molek yang selama ini menjadi andalan, bagi mereka sudah tidak memungkinkan lagi.
ADVERTISEMENT
Besi-besi roda dan rel kereta itu kini makin uzur dan sudah mengarah ke celaka. Namun karena belum ada pilihan akhirnya duduk di Molek yang berdekatan dengan maut itu pun jadi pilihan.
"Kami senang sekali kalau ada jalan alternatif yang bisa masuk mobil ke Lebong Tandai. Tapi kalau bisa Molek jangan dilupakan. Biar jadi kendaraan wisata saja," ujar sopir Molek Pedi.