Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bumerang Paten: Riyantori, Korban Birokrasi & Ketidakadilan
23 September 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Paten dalam Sistem Hukum Indonesia: Korban Birokrasi yang Menghambat Inovasi
ADVERTISEMENT
Paten merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang sangat penting dalam dunia inovasi. Paten memberikan hak eksklusif kepada penemu untuk memanfaatkan hasil karyanya, mendorong perkembangan teknologi, dan memastikan bahwa hasil jerih payah intelektual mereka tidak disalahgunakan oleh pihak lain. Sistem paten yang kuat dan adil sangat penting agar inovasi terus berkembang di lingkungan yang kondusif. Tanpa sistem paten yang solid, inovator akan kehilangan insentif untuk menciptakan hal-hal baru, dan inovasi yang dihasilkan bisa dengan mudah diambil alih atau dijiplak. Oleh karena itu, perlindungan paten bukan hanya soal penghargaan atas hak kekayaan intelektual, tetapi juga soal memastikan inovasi terus berkembang dalam lingkungan yang adil dan kondusif.
Namun, perlindungan paten yang semestinya menjamin keamanan hak penemu sering kali menjadi bumerang, terutama jika regulasi tidak berjalan dengan baik. Di Indonesia, sistem paten yang seharusnya melindungi penemu justru terkadang menjerat mereka dalam birokrasi yang rumit dan merugikan. Salah satu contoh nyata dari kelemahan sistem paten di Indonesia adalah kasus yang menimpa Ir. Riyantori, penemu teknologi konstruksi jaring laba-laba. Sebagai penemu, Riyantori bukan hanya tidak mendapatkan hak eksklusif atas karyanya, tetapi justru dituduh menjiplak inovasinya sendiri—sebuah ironi yang mencerminkan permasalahan mendalam dalam regulasi kekayaan intelektual di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Sistem Paten Indonesia: Birokrasi yang Memerangkap Inovator
Sistem paten Indonesia, meskipun sudah memiliki dasar hukum, masih memiliki banyak kekurangan dalam implementasinya. Salah satu contoh nyata adalah ketidakmampuan sistem untuk memastikan kepemilikan paten secara jelas dan melindungi penemu dari sengketa yang tidak perlu. Riyantori, misalnya, mendaftarkan paten baru dengan nomor IDP000043873 setelah melakukan perbaikan pada inovasinya, yang secara resmi dinyatakan berbeda dari paten sebelumnya (IDP0018808). Namun, hal ini tidak menghentikan pihak lain untuk melayangkan tuduhan terhadapnya, yang menunjukkan lemahnya pengawasan dan proses verifikasi dalam sistem paten Indonesia.
Menurut Teori Hukum Alam yang dikemukakan oleh John Locke, setiap orang yang mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menciptakan sesuatu berhak untuk menikmati hasilnya. Sayangnya, prinsip ini sering kali tidak terwujud dalam sistem paten Indonesia. Lemahnya proses verifikasi dan kurangnya dukungan bagi penemu lokal menyebabkan kasus-kasus seperti yang dialami Riyantori terus terjadi. Oleh karena itu, sistem paten Indonesia perlu segera diperbaiki dengan memperketat verifikasi paten, melindungi penemu, dan menyediakan jalur penyelesaian sengketa yang cepat dan adil. Jika tidak, penemu lokal akan terus menjadi korban dari birokrasi yang tidak efisien.
ADVERTISEMENT
Profesionalisme Aparat Hukum dalam Sengketa Paten
Selain kelemahan dalam sistem paten, profesionalisme Kepolisian juga dipertanyakan dalam kasus ini. Laporan terhadap Riyantori yang berujung pada penyidikan bahkan setelah kematiannya adalah tindakan yang tidak manusiawi dan melanggar prinsip keadilan. Kini, anak Riyantori menghadapi tuntutan atas kasus yang seharusnya sudah selesai, yang menunjukkan ketidakjelasan prosedur hukum di tingkat Kepolisian.
Dalam menangani sengketa paten, Kepolisian harus mengedepankan profesionalisme dengan memeriksa dasar laporan secara cermat, termasuk memastikan validitas dokumen yang digunakan sebagai dasar tuntutan. Teori Prosedural Keadilan yang dikemukakan oleh Thibaut dan Walker menekankan pentingnya transparansi dan akurasi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kasus Riyantori, terdapat banyak kejanggalan dalam dokumen dan laporan yang tidak diselidiki secara mendalam, termasuk surat dari Direktur Paten DTLST dan RD yang dipertanyakan keasliannya. Oleh karena itu, Kepolisian harus segera mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) untuk mencegah ketidakadilan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Urgensi Reformasi Sistem Paten Indonesia
Kasus ini menunjukkan urgensi reformasi dalam sistem paten Indonesia. Pemerintah harus segera memperbaiki regulasi yang ada, mulai dari tahap pendaftaran hingga penyelesaian sengketa, agar tidak lagi ada penemu lokal yang menjadi korban dari ketidakjelasan hukum. Sebagai negara dengan potensi inovasi yang besar, Indonesia membutuhkan sistem paten yang kuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi. Melalui reformasi, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi inovator untuk berkarya tanpa khawatir tergilas oleh sengketa hukum yang tidak adil.
Kasus Riyantori menggarisbawahi perlunya perubahan besar dalam sistem paten dan profesionalisme aparat hukum di Indonesia. Keluarga Riyantori harus segera dibebaskan dari tuntutan yang tidak berdasar, dan pemerintah perlu melindungi inovator lokal yang telah berjasa bagi bangsa ini. Semoga kasus ini menjadi momentum untuk reformasi menyeluruh di bidang paten dan perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia.
ADVERTISEMENT