Konten dari Pengguna

Janji Kampanye vs. Realitas Lokal: Tantangan Kebijakan Pilkada 2024

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021
27 September 2024 12:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi program driven design, Dikumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi program driven design, Dikumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Pilkada 2024 di Indonesia menjadi ajang kontestasi politik yang sarat dengan janji-janji program dari calon kepala daerah. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mengenai relevansi pendekatan yang digunakan dalam perumusan kebijakan oleh mayoritas pasangan calon. Mayoritas calon cenderung menggunakan pendekatan program driven design, di mana kebijakan yang ditawarkan lebih berorientasi pada program-program kampanye yang bersifat generik, tanpa memperhatikan potensi dan ruang unik yang dimiliki oleh daerah tersebut. Akibatnya, pendekatan ini sering kali mengabaikan kebutuhan spesifik masyarakat lokal serta aspek penting dalam tata kelola ruang wilayah yang berkelanjutan dan responsif terhadap permasalahan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, calon kepala daerah yang mengusung program pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti kampus, hunian atau mal tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial bagi masyarakat setempat. Program seperti ini mungkin terlihat menarik dalam kampanye, tetapi kenyataannya sering kali merusak ekosistem, meminggirkan masyarakat lokal, dan tidak menyelesaikan masalah mendasar.
Sebaliknya, pendekatan space driven design, yang mengutamakan potensi ruang dan sumber daya lokal sebagai landasan utama dalam perencanaan kebijakan, jarang diterapkan. Padahal, pendekatan ini berpotensi memberikan solusi yang lebih konkret dan berkelanjutan bagi permasalahan masyarakat setempat. Tidak mengherankan jika pola kebijakan yang didominasi oleh program driven design ini menimbulkan masalah struktural dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Salah satu implikasi negatif dari program driven design adalah ketidakcocokan antara kebijakan yang diterapkan dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Kebijakan yang dihasilkan sering kali sekadar memenuhi janji kampanye tanpa mempertimbangkan kondisi dan realitas lokal, sehingga tidak memberikan solusi yang substansial dan bahkan merusak tatanan ruang yang ada. Di sisi lain, space driven design, yang berfokus pada perencanaan berkelanjutan, lebih mampu menyelaraskan kebijakan dengan potensi dan karakteristik unik suatu wilayah. Pendekatan ini mencakup aspek ekologi, sosial, dan ekonomi, yang diintegrasikan untuk merancang kebijakan yang adaptif dan kontekstual.
ADVERTISEMENT
Fenomena dominasi program driven design ini juga mengindikasikan bahwa banyak calon kepala daerah tidak mampu mengidentifikasi dan memahami masalah lokal secara mendalam. Alih-alih melakukan analisis kontekstual, banyak kandidat lebih berfokus pada retorika politik dan pencitraan untuk memenangkan kontestasi politik. Sejak era reformasi, terutama dalam pemerintahan Joko Widodo, pencitraan politik semakin marak. Jeffrey Alexander dalam teorinya mengenai performativitas politik menjelaskan bahwa pencitraan politik lebih mengedepankan simbol dan narasi daripada substansi kebijakan yang solutif.
Masalah ini diperparah dengan adanya calon-calon kepala daerah yang tidak berasal dari daerah setempat, atau sering disebut sebagai imported candidates. Kandidat semacam ini tidak memiliki keterikatan emosional maupun pengetahuan mendalam mengenai permasalahan lokal, sehingga kebijakan yang mereka tawarkan cenderung tidak relevan dan kurang solutif. Dalam hal ini, space driven design yang mengutamakan keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan kebijakan seharusnya menjadi model kepemimpinan yang ideal.
ADVERTISEMENT
Solusi dan Pendekatan Alternatif
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif dan berbasis lokal, seperti place-based policy. Pendekatan ini berfokus pada pengembangan kebijakan yang disesuaikan dengan karakteristik dan potensi unik setiap daerah, serta melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahapan perencanaan. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih relevan dan solutif. Pendekatan ini didukung oleh teori perencanaan tata ruang yang menekankan pentingnya adaptasi kebijakan terhadap konteks lokal (Healey, 1997).
Selain itu, pendidikan dan pelatihan bagi calon kepala daerah mengenai pengelolaan ruang dan isu-isu lokal dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat kapasitas mereka. Calon kepala daerah perlu dilatih untuk memahami pentingnya pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada dampak jangka panjang, baik terhadap tata kelola ruang maupun masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Reformasi sistem rekrutmen politik juga diperlukan, dengan memberikan prioritas kepada calon kepala daerah yang memiliki keterikatan dengan daerah pemilihan dan pemahaman mendalam tentang permasalahan lokal. Partai politik diharapkan lebih mengutamakan kader lokal yang memiliki rekam jejak kuat dalam memahami potensi dan tantangan di daerah mereka.
Dengan demikian, transisi dari program driven design menuju space driven design yang lebih berkelanjutan dan inklusif menjadi solusi utama dalam menciptakan kebijakan publik yang relevan dan efektif. Ini akan diperkuat dengan peningkatan kapasitas kepemimpinan dan reformasi dalam rekrutmen politik yang lebih fokus pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal.