Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mahkamah Telah Kehilangan Arah
18 Oktober 2023 9:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik batas usia capres dan cawapres telah menjadi perhatian dan perbincangan hangat di ruang publik beberapa bulan belakangan. Ramainya perbincangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari iklim politik Indonesia yang semakin memanas mendekati momentum pendaftaran pasangan Capres dan Cawapres pada tanggal 19 sampai dengan 24 Oktober tahun ini.
ADVERTISEMENT
Polemik tersebut semestinya telah berakhir setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berikut adalah petikan putusan dimaksud:
Putusan Mahkamah tersebut ternyata tidak dapat meredam polemik yang berkembang di masyarakat, sebaliknya polemik justru semakin ramai. Banyak pakar dan analis menyoroti hasil putusan ini, tetapi lebih kepada pandangan sosiologi-politik semata di mana persoalan ini dikaitkan dengan sosok Gibran Rakabuming putra Presiden yang digadang-gadang sebagai salah satu kandidat Calon Wakil Presiden. Argumentasi tersebut sangat beralasan mengingat bahwa nama Gibran juga masuk dalam argumentasi kerugian konstitusional pemohon.
Sejak didirikan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memiliki kapasitas untuk mengeluarkan tiga bentuk putusan konstitusional bersyarat. Salah satu bentuknya adalah ketika MK menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut konstitusional tetapi hanya jika ditafsirkan sesuai dengan penafsiran MK.
ADVERTISEMENT
Konstitusional bersyarat berarti Undang-Undang tersebut konstitusional selama ditafsirkan dengan cara yang ditafsirkan oleh pengadilan. Adapun tidak konstitusional bersyarat berarti Undang-Undang tersebut tidak konstitusional jika tidak ditafsirkan sesuai dengan interpretasi pengadilan.
Bentuk kedua dari keputusan bersyarat terjadi ketika pengadilan mengeluarkan putusan konstitusional bersyarat atau tidak konstitusional bersyarat kecuali jika ada kata-kata baru yang dimasukkan. Dengan demikian, pengadilan bertindak sebagai semacam parlemen kedua yang menulis ulang undang-undang.
Bentuk ketiga dari putusan bersyarat menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional tetapi memberikan masa penangguhan di mana undang-undang yang digugat masih dapat diberlakukan, sehingga presiden dan parlemen diberi waktu untuk mengubah undang-undang yang ada sesuai dengan interpretasi pengadilan.
Nama lain dari bentuk putusan ini adalah penangguhan ketidakabsahan atau penangguhan perintah konstitusional atau perintah konstitusional terbatas. Pengadilan memberikan jenis keputusan ini untuk mencegah kekosongan hukum dan ketidakpastian yang mungkin timbul dengan pembatalan undang-undang secara langsung.
ADVERTISEMENT
Putusan MK pada perkara No.90/PUU-XXI/2023 pengajuan pengujian 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilu jika dilihat dari amar putusannya termasuk dalam kategori putusan MK yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Namun dalam pandangan penulis hal itu telah melebihi tafsir inkonstitusional bersyarat di mana hal itu semestinya menjadi wewenang dari legislatif dan pemerintah.
Hans Kelsen menyatakan bahwa berkaitan dengan kewenangannya untuk membatalkan suatu Undang-Undang atau kewenangan untuk menyatakan suatu Undang-Undang tidak mengikat secara hukum, pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator. Adapun fungsi legislasi yang diperankan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat di semua tingkatan atau parlemen disebut dengan positif legislator.
Berangkat dari argumen tersebut, maka Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator semestinya tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma. Posisi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator yang pada hakekatnya hanya dapat memutus suatu norma dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi tanpa dapat memasukkan norma baru dalam Undang-Undang yang diuji.
ADVERTISEMENT
Penambahan norma sejatinya bukan suatu pengujian tetapi hal tersebut semacam bayangan atau harapan pemohon yang semestinya tidak dapat diujikan. Kasus ini merupakan open legal policy pembentuk Undang-Undang yang seharusnya ditolak oleh Mahkamah. Dengan adanya putusan ini maka dapat dikatakan bahwa MK sebagai cabang lembaga kekuasaan Yudikatif telah mengalami pergeseran fungsi.
Kedua adalah bahwa pergeseran fungsi ini tidak hanya terjadi pada saat ini, tetapi sudah terjadi berulang kali. Yang paling dekat adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6/PUU-XIX/2021 tentang Undang-Undang Cipta Kerja. Tak ubahnya seperti putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, pada kasus Cipta Kerja.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyatakan tentang kesesuaian Undang-Undang Cipta Kerja terhadap konstitusi, tetapi secara bersamaan juga mengeluarkan norma, yaitu rekomendasi agar pemerintah mengubah Undang-Undang terkait dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun dengan menambahkan beberapa prasyarat.
ADVERTISEMENT
Terakhir yang paling penting adalah bahwa objektivitas sangat diperlukan dalam upaya penegakan hukum. Hal ini perlu disampaikan karena banyak pakar dan politisi bersuara lantang ketika putusan merugikan kepentingan mereka, tetapi diam Ketika putusan Mahkamah menguntungkan kepentingan mereka meskipun esensinya sama-sama melebihi kewenangan.
Maka dengan melihat berbagai fenomena dan dinamika yang terjadi di Mahkamah Konstitusi tersebut sudah seharusnya dilakukan pengkajian ulang terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Sangat perlu dilakukan tindakan konkret apakah dilakukan revisi Undang-Undang MK, atau bisa juga dibubarkan.