Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pilkada dan Tambang: Niat Busuk Penguasa dan Pengusaha
23 Oktober 2024 18:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hasbi Ardhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pilkada di Indonesia, khususnya NTB seharusnya menjadi panggung bagi demokrasi, tempat rakyat memilih pemimpin yang benar-benar merepresentasikan aspirasi mereka. Namun, dalam praktiknya, terutama di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Pulau Sumbawa, Pilkada sering kali berubah menjadi arena perebutan kekuasaan yang didominasi oleh kepentingan oligarki tambang. Industri tambang yang semula hanya berperan sebagai sektor ekonomi, kini telah menjadi aktor utama dalam politik lokal, bahkan mampu mempengaruhi hasil dan kebijakan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana demokrasi lokal telah tersandera oleh kepentingan kelompok elit yang menguasai tambang. Pilkada tidak lagi sepenuhnya milik rakyat, melainkan dikuasai oleh para politisi yang berafiliasi dengan pengusaha tambang atau bahkan menjadi pengusaha itu sendiri. Hal ini menyebabkan hubungan antara politik dan bisnis semakin terstruktur, menciptakan sistem patronase yang merugikan masyarakat luas. Keterlibatan cukong atau "bohir politik" dalam Pilkada tidak dapat dihindari, terutama di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Di sinilah demokrasi berbiaya tinggi membuka ruang bagi praktik oligarki untuk terus berkembang.
Mahalnya biaya kampanye, ditambah dengan lemahnya regulasi yang mengatur pembiayaan politik, membuat para kandidat Pilkada bergantung pada dukungan finansial dari kelompok bisnis tambang. Akibatnya, ketika mereka terpilih, kebijakan yang dihasilkan sering kali menguntungkan para pemodal besar, sementara masyarakat lokal dan lingkungan menjadi korban. Eksploitasi tambang yang berlebihan, kerusakan lingkungan, hingga konflik sosial merupakan dampak nyata dari penyanderaan demokrasi oleh oligarki tambang.
ADVERTISEMENT
Di Pulau Sumbawa misalnya, dominasi para bos tambang dalam Pilkada menjadi contoh nyata bagaimana demokrasi lokal telah dibajak oleh kekuatan modal. Alih-alih mempromosikan kepentingan rakyat, Pilkada di sana lebih sering beraroma bisnis tambang. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa proses demokrasi hanya menjadi formalitas belaka, sementara kekuasaan sesungguhnya dipegang oleh para oligark yang memonopoli sumber daya alam dan politik.
Apa yang terjadi di Pulau Sumbawa hanyalah satu contoh dari fenomena yang lebih luas di Indonesia. Dalam sistem politik yang berbiaya tinggi, kekuatan modal selalu memiliki peran dominan. Demokrasi tidak hanya dikendalikan oleh suara rakyat, tetapi juga oleh pasar, yang dalam hal ini diwakili oleh para oligarki tambang. Seperti yang dikatakan oleh Noreena Hertz dalam bukunya Silent Takeover: The Death of Democracy, dominasi pasar bisa mematikan demokrasi. Pasar telah mendikte kebijakan publik dan mengamputasi fungsi lembaga-lembaga demokrasi.
ADVERTISEMENT
Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi di Indonesia akan semakin terseret ke dalam arus oligarki dan kekuatan modal. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik bersama, akan terus dikuasai oleh segelintir elit yang menguasai tambang dan industri besar. Oleh karena itu, reformasi dalam sistem politik dan regulasi pembiayaan pemilu sangat mendesak dilakukan. Negara harus kembali pada semangat konstitusi, di mana Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang.
Pilkada seharusnya menjadi jalan menuju demokrasi yang lebih inklusif, di mana rakyat memiliki peran penuh dalam menentukan masa depan daerahnya. Namun, tanpa reformasi mendalam dan pengawasan ketat, Pilkada hanya akan menjadi arena pertarungan oligarki yang memperebutkan kendali atas sumber daya alam dan politik. Demikianlah wajah demokrasi kita saat ini, tersandera oleh kepentingan bisnis besar, terutama tambang, yang pada akhirnya menomorduakan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Pembahasan mengenai dinamika demokrasi lokal tidak dapat dilepaskan dari pengaruh industri tambang. Industri ini bukan hanya sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga menjadi alat persekongkolan antara aktor lokal, politisi, dan pelaku bisnis. Hubungan antara politik dan bisnis telah lama terbentuk, tidak hanya di Pulau Sumbawa, tetapi juga menjadi fenomena umum dalam politik nasional sejak era Orde Lama hingga era Reformasi. Di masa demokrasi sekarang, keterlibatan antara politisi dan kelompok bisnis semakin terstruktur, terutama dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah. Pada momen-momen pemilu seperti Pilpres, Pilkada, dan Pileg, hubungan tersebut menjadi semakin nyata, terutama di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Pulau Sumbawa, sebagai salah satu produsen tembaga dan emas terbesar, keterlibatan aktor lokal dalam demokrasi lokal, terutama Pilkada, sangat dipengaruhi oleh kekuatan oligarki tambang. Pilkada sering kali menjadi ajang penguatan jaringan politik dan bisnis, dengan sejumlah pelaku bisnis berperan sebagai penyandang dana politik. Hal ini menyebabkan Pilkada sering kali lebih mencerminkan kepentingan bisnis tambang daripada kepentingan warga negara. Kondisi ini diperparah oleh dominasi elit politik yang berlatar belakang sebagai pengusaha tambang atau memiliki hubungan erat dengan industri tambang.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sebagai "demokrasi oligarki" atau bahkan "pasar gelap demokrasi", di mana sistem politik berbiaya tinggi membuka peluang bagi praktik-praktik oligarki dan predatoris. Kekuatan modal dan oligarki lokal mendominasi politik, terutama di daerah yang kaya sumber daya alam, sehingga demokrasi terperangkap oleh kepentingan bisnis. Hal ini juga terlihat dari kebijakan yang sering kali mendukung eksploitasi sumber daya alam, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan lingkungan dan masalah sosial lainnya.
Dalam konteks ini, negara tampaknya tidak berdaya melawan kekuatan pasar dan oligarki, yang telah membajak demokrasi dan ekonomi. Pasal 33 UUD yang seharusnya melindungi sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, hanya menjadi ilusi. Negara semakin terjepit oleh kekuatan pasar, dan Pilkada sering kali hanya melahirkan penguasa lokal yang dikendalikan oleh oligarki.
ADVERTISEMENT