Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Romansa Ramadhan
3 April 2022 9:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hasmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ah,
Bulan ini hadir lagi. Dimulai dengan banyaknya notifikasi whatsapp yang berisi macam ragam gaya orang menyambut Ramadhan. Berpantun, ber-flyer, berdoa, atau sekedar sebaris kata. Meriah sekali nampaknya. Hal yang tak kurasakan sama hingga enggan merespon selain mereka yang mengirimkan pesan pribadi langsung ke akunku. Tapi, tak masalah. Rasa, seperti juga takdir, antara satu manusia dengan manusia lain tak akan pernah sama persis. Bukti keEsaan Dia yang Maha Tunggal.
ADVERTISEMENT
Setiap Ramadhan, jujur saja. Rasa yang lebih kuat mencengkeramku adalah nostalgia. Ramadhan dulu saat aku masih kecil selalu terasa berat kusambut. Enggan sekali membayangkan harus makan di subuh hari (ditambah aku adalah anak yang susah makan). Menahan haus setelah penat bermain dengan kawan di padang samping surau kecil kampung kami. Pernah aku mencoba curang dengan minum air di rumah bibiku, lalu pasang mimik puasa mode on sekembalinya kerumah. Hanya berhasil dua hari, hari ketiga, paha dan betisku bilai-bilai (lebam*Malay's word.) dicubiti emak. Percayalah, bahwa jaringan informasi emak-emak itu sebenarnya adalah konspirasi sepanjang zaman.
Aku juga malas sekali dengan shalat tarawih. Ibadah tambahan itu dulu hanya kulakukan untuk mengisi buku agenda Ramadhan yang diwajibkan guru agama sekolahku. Sepanjang tarawih yang kulakukan hanya bermain-main. Melambat-lambatkan shalat, karena kalau takbiratul ikhram kulakukan di awal, alamak, kantoi (habis kisah, end of story*Malay's word.) Imam surau kami, bapak saudaraku sendiri, gemar sekali memanjang-manjangkan bacaan surat Alfatihah dan surat juz amma lainnya. Seolah-olah dendam, kami anak-anak saudaranya juga sering sekali memanjangkan aaaamiiin pada setiap akhir bacaan Fatihahnya.
ADVERTISEMENT
Ramadhan juga memberikan aku hadiah lebaran buruk. Sembilan hari menjelang lebaran di Ramadhan ke 10 dalam hidupku. Satu-satunya abangku meninggal dunia kecelakaan, dalam perjalanannya tarawih ke masjid yang lebih besar di daerah kami. Ah, bukan satu abang, tapi dua, satunya lagi adalah abang sepupuku yang baik sekali padaku. Membiarkanku mengekorinya kemana-mana tanpa risih akan jenis kelaminku. Mengajarkanku juga cara bermain yang baik agar menang dan tak lagi ditindas oleh kawan-kawanku. Malam mereka meninggal, aku benci sekali. Kenapa mereka harus pergi tarawih ?
Ramadhan menjadi bulan terakhir kenangan
kami bersama Bapak. Ramadhan terakhir Bapak diisi dengan malam-malam aku, adikku, dan Bapak untuk bercerita dan bertanya tentang hari masing-masing. 20 hari di bulan Syawal, Bapak pergi begitu saja. Jantung katanya. Sampai sekarang pun kami masih terasa gagap menyikapi kepergian Bapak.
ADVERTISEMENT
Meski demikian Ramadhan juga banyak memberikanku kenangan indah. Ah, bukankah semua pengalaman buruk setelah dilalui akan tetap dinamakan kenangan juga akhirnya ? Ramadhan memberikanku kenangan nasi kepal dengan bawang goreng buatan emak yang senantiasa disiapkan untuk sahurku. Sahur yang dulu terasa berat, jadi lebih ringan. Dipangkuan bapak, biasanya beliau akan menyuapkanku tiga kepalan nasi terakhir sambil berkata "satu kepal untuk pagi, satu kepal untuk siang, satu kepal untuk petang." Menanamkan sugesti bahwa aku kuat berpuasa dengan kepalan nasi yang disumbatkan tersebut. Aku percaya betul dengan kepalan nasi tersebut. Sampai selanjutnya di siang harinya aku baru ingat, cuma nasi saja yang disumbat, minumnya belum.
Ramadhan juga berarti aku boleh bermain lebih banyak dengan kawan-kawanku, sehabis sholat subuh kami boleh maraton, istilah kami saja. Sebenarnya maraton lebih ke alasan kami berbuat onar dengan berteriak keliling kampung dengan alasan membangunkan sahur (yang sangat wajar dimarahi. karena dilakukan sehabis sholat subuh), untunglah zaman dulu belum ada media sosial. Lalu melipir ke hutan buah kemunting (*buah hutan berwarna hitam lonjong, tumbuh bergerombol seperti pohon jeruk), untuk berburu buah kemunting yang hitam manis itu, dan kemudian dimakan diam-diam. Dan biasanya dibalas Tuhan kontan dengan ritual dikejar anjing punya om Aho, satu-satunya keluarga Tionghoa yang bermukim di kampungku, saking onarnya kelakuan kami-kami itu.
ADVERTISEMENT
Aku yakin bagi setiap orang pastilah Ramadhan sangat istimewa. Bulannya keluarga, kata orang-orang. Meski untukku Ramadhan selalu menjadi bulan yang berat. Sedari kecil, hingga dewasa. Bila kecil aku terbebani dengan aturan-aturannya, kini dewasa aku tertawan dengan pengeluaran-pengeluarannya (haha!). Dulu aku menyalahkan Ramadhan dengan segala aturannya, namun sepertinya semakin kemari aku semakin sadar, yang harus kusalah dan kalahkan adalah diriku sendiri.
Selamat menyambut Ramadhan. Semoga Ramadhan tahun ini dapat kita lalui dengan sebaik-baiknya.