Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sepertinya Cinta dalam Semangkuk Laksa
23 Januari 2022 6:57 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Hasmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
180 menit.
Aku tau ada yang salah dengan diriku, ketika selama 180 menit waktu perawatan diri yang kuambil demi mengobati sekujur badan, yang ampun rasanya, seperti digebuk orang sekampung pasca vaksinasi booster, tak dapat kunikmati. Otakku sibuk berkecamuk dengan sejuta pertanyaan tak berkesudahan. Apa yang telah kulakukan? Puaskah aku dengan pencapaianku saat ini? Bagaimana dengan anakku kelak? Lingkungan seperti apakah yang akan ia hadapi ? Bisakah ia menghadapi itu dengan baik?
ADVERTISEMENT
Pasca menonton video Youtube yang mewawancarai seorang transpuan yang dengan blak-blakan menceritakan kisah hidupnya, aku merasa sakit. Seketika perutku mual. Bukan, bukan karena cerita hidupnya. Aku menghormati perjalanan hidup beliau itu dengan segala perjuangan yang aku yakin tak mudah. Aku lebih ke tak habis fikir, apakah begitu kejamnya dunia dengan segala dinamikanya? Sehingga manusia harus melakukan segala cara demi untuk dapat bertahan semampu mereka? Apa yang salah? Lantas, bagaimana dengan dunia kelak yang akan dihadapi anakku ketika dewasa kelak? Apakah ia akan mampu mengarungi, atau malah tenggelam terseret arus?
Kekhawatiran ini terus kupendam, dan kubocorkan sedikit-sedikit pada kolega kerjaku. Menurut mereka, aku terlalu overthinking. Aku sepatutnya yakin, bahwa selama aku menjalankan peranku sebaik-baiknya dengan ketulusan dan cinta yang penuh, maka semua juga akan baik-baik saja. Tak serta-merta menjadi mudah memang, tapi akan baik-baik saja. Aku mengamini perkataan mereka, itu bukan perkataan kosong, karena mereka memang telah melalui lika-liku hidup yang tak kalah terjal sehingga mampu menelurkan wejangan hidup seperti demikian.
ADVERTISEMENT
Namun amin itu tak bergema panjang dalam fikiranku, muncul pertanyaan berikutnya. Lah, cinta? Cinta itu sendiri bagaimana? Bagaimana aku bisa mengenal bahwa yang kulakukan saat ini adalah cinta? Aku yakin bahwa apa yang kulakukan saat ini demi anakku, adalah insting keibuan yang pasti akan melakukan yang terbaik demi anaknya. Lalu sampai kapan insting ini akan bertahan, bila aku sendiri tak mampu mengenal cinta ? Definisi cinta yang dulu kuyakini, sejujurnya kini hanya jadi bahan tertawaanku sebagai kebodohan masa muda. Apakah aku harus ke psikolog? Apakah aku sesungguhnya rusak di dalam tanpa kusadari?
Aku memutuskan menghubungi Non setelah selesai perawatan. Aku perlu teman untuk menarik dan menata satu-satu pertanyaanku, untuk kemudian dapat ku laga dengan kewarasan fikiranku. Untungnya ia telah menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat kujemput dan kami sepakat untuk makan di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Batam ini.
ADVERTISEMENT
"lu mau makan apa mak? yang berkuah panas ya? mau yang seger? atau yang bersantan-santan? ramen? laksa?" si ceriwis yang menyertai hidupku selama hampir satu dekade ini membuka pembicaraan begitu menghenyakkan bokong indahnya di kursi mobilku. Aku mengeryitkan kening.
"hmmm, makan apa ya non? ramen kayaknya mau juga, laksa kayaknya mau juga." keputusan makan senantiasa kami sikapi dengan serius, karena ini menyangkut hajat hidup.
"ah, kayaknya laksa aja deh non. Kan disana ada kaya butter toast. wih, enak tuh makan roti yang manis habis makan berlemak." sumringah aku selayaknya telah mengambil keputusan yang menyelamatkan negara. si Non mengangguk lalu mulai menimpali.
"Iya, kemarin gw ngajakin hen kesana. Padahal gw dah hepi mau nunjukin ini lo ada kedai laksa enak yang baru di Batam. Udah semangat-semangat gw, eehh...."
ADVERTISEMENT
"responnya tak seperti yang lu harapkan kan? masih kemakan iklan tu anak. Gak penting rasa, asalkan tempat itu hits di sosial media, baru katanya enak." Aku memotong ceritanya, karena seperti biasa kami senang menegaskan pada satu sama lain betapa selarasnya isi fikiran kami. Non tertawa.
"Naah itu Non, yang sebenarnya jadi bahan fikiran gw belakangan ini. Anak-anak sekarang kan, sepertinya sangat memperhatikan citra. Bagi mereka penampilan adalah segalanya, jarang sih, paling segelintir lah yang mau susah payah mengeluarkan usaha untuk mengenal sesuatu lebih dalam. Gak bisa disalahin juga sih, karena kalau kita amati juga, begitulah lingkungan menggiring mereka. Gw worry, kayak mana tar kalau pas zaman anak gw gede yak? dia bisa gak ya, gak sekedar ikut-ikutan? Gw takut, sumpah, anak gw tar melulu menganggap sumber dia mendapatkan bahagianya itu, ya dari duit doang." Panjang lebar kuutarakan fikiranku, sampai kami duduk di kedai laksa pilihan kami.
ADVERTISEMENT
Kami tak pernah menenangkan kekalutan diantara kami dengan jawaban. Kami bercerita dan mendengarkan. Biasanya kami menemukan sendiri jawaban kami dalam proses itu. Dan sore itu pun, si Non banyak bercerita demi kebutuhanku akan jawaban pertanyaanku. Bagaimana ia berkisah dengan sumuknya gaya kehidupan Ibukota yang sempat beberapa lama ia jalani. Bagaimana selayaknya pengejar kesehatan jiwa, istilah kami, ia lantas memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan kemudian entah bagaimana datang ke Batam dan jatuh cinta dengan kota ini. "Gw tau sih mak, kalau gw bertahan dengan gaya hidup kota besar itu, gw pasti bisa memiliki materi lebih dari yang gw miliki saat ini. Tapi jauh di dalam gw akan merasa kosong." Non menegaskan sambil menatapku di sela-sela kesibukannya menyeruput mie siamnya. Gipsi sekali fikiran anak ini. Aku suka.
ADVERTISEMENT
"Lantas cinta Non, bagaimana dengan cinta? gimana lu tau kalau yang lu jabanin saat ini itu cinta?" Aku mencecarnya kembali. Non terkekeh geli. Cinta baginya saat ini adalah konsep ideal yang hanya indah di lagu-lagu, isi buku, atau kisah di film-film. Hidup tak seroman itu, banyak situasi yang menuntut kita mengambil sikap agar sebuah hubungan berjalan dengan baik. Komitmen. Kata itu dipilihnya untuk menggambarkan relasi yang ia jalani saat ini. Baginya kata itu jauh lebih mantap ketimbang kata cinta yang sangat abstrak penerapannya.
ADVERTISEMENT
Aku tersenyum meski sedikit patah, "kampret!" dalam hatiku memaki diri sendiri. Tampaknya keinginan si emak paruh baya ini menemukan pasangan hidupnya masih akan menemui rintangan curam, mendaki gunung, lewati lembah.
"Makasih cerita lu non, iya sih. Sebenarnya apa yang lu ceritain gw udah banyak denger meski gak gw alamin sebelumnya. Bagaimana perjuangan hidup di kota besar. Dari dulu juga udah ada cerita yang begini ini. Dan buktinya ada kan beberapa orang yang gw kenal yang berasal dari kota-kota besar itu tetap tidak hilang jati dirinya sebagai manusia? lebih baik daripada gw sendiri malah, yang katanya menjunjung tinggi kemanusiaan. Semua memang sumbernya dari pendidikan keluarga sih ya? Barangkali sebenarnya kerisauan gw ini, akumulasi rindu gw sama anomalinya gw. Gw gak mau ganggu dia tapi malah frustasi sendiri. Kampreeet! gw mah ribet sendiri, kusut sendiri, hahaha!" Aku berhasil mengunci suara bising dalam otakku pada akhirnya. Non turut tertawa bersamaku "yess mak." ujarnya puas.
ADVERTISEMENT
"jadi gw gak perlu ke psikolog nih?" aku menegaskan kesimpulanku.
"kayaknya masih belum perlu deh mak." si Non menegaskan. Kemudian ia sibuk berceloteh kembali soal produk perawatan wajahnya. Urutan pemakaiannya, kebutuhan kulit, dan lain sebagainya.
Aku menatapnya, dalam hati tak berhenti bersyukur. Tuhan baik sekali mengirimkan dia dalam hidupku. Sehingga dalam ketidak sempurnaanku saat ini, aku merasa lengkap.
Dan mungkin sebenarnya inilah salah satu perwujudan cinta.