Konten dari Pengguna

Review Ma Rainey’s Black Bottom (2020)

Hatta Muarabagja
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad
30 Mei 2021 19:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hatta Muarabagja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Felix Mooneeram/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
(Felix Mooneeram/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri, salah satu daya tarik terbesar film Ma Rainey’s Black Bottom (selanjutnya disebut Black Bottom) ialah predikatnya sebagai sumbangsih terakhir Chadwick Boseman di dunia sinema yang telah berpulang pada Agustus tahun lalu. Namun, sejatinya film yang diadaptasi dari naskah teater peraih dua kali penghargaan Pulitzer, August Wilson ini punya sesuatu yang jauh lebih bernilai dari hanya sekadar penampilan final sang Raja Wakanda.
ADVERTISEMENT
Buat kalian yang berpikir akan mendapatkan sajian biopik Ma Rainey, utamanya terkait kehidupan serta karier sang Mother of the Blues lewat film ini, buang ekspektasi itu jauh-jauh karena premisnya sederhana saja, hanya berfokus pada proses rekaman album terakhir Ma di Chicago pada tahun 1927.
90% latar tempat Black Bottom hanya berorientasi di dua tempat, studio rekaman dan ruang ganti pun rentetan plotnya terjadi dalam beberapa jam saja. Walau begitu, keterbatasan ruang dan waktu tidak serta merta membuat daya dobraknya ikut terbatas pula.
Melihat hampir seluruh lakonnya adalah kulit hitam, mudah untuk menebak ke arah mana Black Bottom akan bertutur. Yes, isu rasial jadi topik utama yang diangkat dengan sedikit sisipan sentilan kepercayaan. Tidak secara subtil, tidak juga meledak-ledak. Untungnya, Black Bottom tidak membiarkan dirinya hanyut oleh hal itu yang dalam sejumlah karya sinema dengan pendekatan serupa, penyajian nilai estetika film acap kali jadi terpangkas.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana film adaptasi karya teater kebanyakan, kekuatan utama film ini adalah dialog. Memang, film yang didominasi dialog seringkali mengakibatkan efek menguap bagi sebagian penonton. Tapi tenang saja, kekhawatiran itu tidak terjadi pada karya arahan George C. Wolfe ini yang punya segudang pengalaman di industri teater.
Sepanjang durasi berjalan, kita akan disuapi dialog-dialog teatrikal yang intens namun on point serta menarik untuk diikuti. Utamanya pada sekuens interaksi antar anggota band penggiring berisi Levee, Cutler, Toledo, dan Slow Drag. Bahasannya beragam mulai dari sekadar senda gurau, berdebat mengenai aransemen lagu, adu mulut tentang ketuhanan, hingga curhat soal rasisme.
Potensi tersebut dimaksimalkan departemen teknis lewat kolaborasi sajian visual warm dan scoring yang menyatu dalam setiap adegan. Terasa pas mempresentasikan keadaan di tahun 1920an. Dengan durasi tergolong standar, yakni 90 menit lebih dikit, penuturan Black Bottom terasa padat dan berisi.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang menarik perhatian adalah penampakan nyentrik Viola Davis yang bikin geleng-geleng kepala. Maksud saya, coba bandingkan dengan peran “kalem” sang aktris di The Help (2011) ataupun Fences (2016). Penampakan “wah” itu berbanding lurus dengan performanya di sini. Sebagai satu dari sedikit aktris yang mampu memperoleh predikat Triple Crown of Acting, keberadaan Viola jadi jaminan mutu tersendiri bagi Black Bottom.
Dalam roll credit, nama cast yang pertama muncul adalah Viola, namun agaknya Chadwick punya porsi screen time yang sedikit lebih banyak. Mudah untuk langsung menaruh perhatian pada sosok Levee tatkala film memperlihatkan kelakuan narsisnya pada paruh pembuka. Levee adalah sosok ambisius dan berbakat namun besar kepala pula doyan ngeyel.
ADVERTISEMENT
Dengan segala watak menyebalkannya, penonton tetap dibuat berempati terutama setelah adegan “pidato” 5 menit dan insiden injak sepatu. Kedua adegan inti itu dibawakan dengan baik oleh Chadwick Boseman yang tampil eksplosif di sini.
Levee dan Ma punya watak yang sebelas dua belas. Bedanya, Levee adalah pemuda naif sementara Ma paham bagaimana harus berperan. Ia tahu eksistensinya hanya dilihat sebagai mesin suara. Tak mau dijadikan sapi perah semata, Ma ingin menangkis supremasi kulit putih lewat kelakuan “jual mahal” sehingga memaksa mereka mengeluarkan effort lebih untuk mendapatkan apa yang dimau.
Jika memang ingin mencari kekurangan, hal minor yang sedikit mengganggu bagi saya pribadi adalah akting gagap salah satu karakter yang masih terkesan dibuat-buat sehingga urung mencapai kata natural pun lip sync yang ada dalam sejumlah kesempatan masih bercelah. Sisanya, Ma Rainey’s Black Bottom adalah sajian impresif yang sangat sayang untuk dilewatkan.
ADVERTISEMENT