Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengungkap Makna Tersembunyi Cetiya Kalyana Mitta: Analisis Semiotika
26 Desember 2024 16:50 WIB
·
waktu baca 13 menitTulisan dari Hayati Badrunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cetiya Kalyana Mitta merupakan tempat yang berfungsi sebagai pusat kegiatan spiritual dan pengembangan nilai-nilai kebajikan dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pengamatan yang saya dapatkan, kata "Cetiya" merujuk pada tempat suci untuk penghormatan, sementara "Kalyana Mitta" berarti sahabat yang mulia. Nama ini menggambarkan peran cetiya sebagai wadah untuk membangun hubungan harmonis, baik dengan sesama maupun dengan ajaran Buddha itu sendiri. Sebagai tempat ibadah, Cetiya Kalyana Mitta bukan hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan, tetapi juga sebagai pusat pembelajaran. Melalui berbagai aktivitas seperti meditasi, diskusi ajaran, dan kegiatan sosial, cetiya ini berperan dalam menanamkan nilai-nilai moral yang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, eksistensi cetiya ini juga mencerminkan perjalanan sejarah dan perkembangan ajaran Buddha di komunitas lokal yang memiliki makna spiritual dan historis bagi para pengikutnya.
ADVERTISEMENT
Kegiatan riset lapangan ini dilakukan untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Filologi, yang saya padukan dengan analisis semiotika sebagai bagian dari ujian akhir semester mata kuliah Semiotika. Lokasi riset kelompok kami berada di Cetiya Kalyana Mitta, Pekojan, Jakarta Barat. Riset dilaksanakan pada (6/12/24) pukul 12.30 WIB.
Saat tiba di lokasi, kami diizinkan masuk dan mengamati keanekaragaman tradisi yang ada di Cetiya Kalyana Mitta. Kami juga diperlihatkan berbagai urutan ibadah yang dilakukan di sana, dimulai dari kepercayaan saat memasuki tempat ibadah hingga tata cara berdoa kepada Tuhan. Doa kepada Tuhan ini menjadi langkah awal sebelum beralih kepada pemujaan para dewa, yang telah diurutkan berdasarkan tingkatan derajatnya. Para dewa ini diurutkan berdasarkan tingkatan derajatnya, menambah dimensi spiritualitas yang unik di tempat ini. Di Cetiya Kalyana Mitta, terdapat sepuluh dewa yang dihormati, serta sebuah area khusus untuk ritual Buddha yang hanya dibuka pada hari-hari tertentu untuk pelaksanaan ritual pemujaan.
ADVERTISEMENT
Pengalaman ini tidak hanya memperluas wawasan tentang tradisi keagamaan, tetapi juga memperkaya pemahaman siapa saja terkait hubungan antara simbol-simbol dalam ritual dengan analisis semiotika yang sedang dipelajari. Cetiya Kalyana Mitta menawarkan perspektif menarik tentang budaya dan spiritualitas. Keunikan tradisi dan simbolisme di tempat ini menjadikannya lokasi yang sangat berharga untuk penelitian, terutama bagi mereka yang tertarik mendalami kekayaan budaya dan praktik keagamaan di Indonesia.
Penyembahan kepada Tuhan dan dewa-dewi di Cetiya Kalyana Mitta, dilihat dari perspektif semiotika Barthes, juga menggambarkan hubungan simbolik antara kekuatan yang lebih besar (Tuhan) dan berbagai entitas yang lebih spesifik (dewa-dewi). Penyembahan Tuhan adalah langkah awal dalam menciptakan koneksi spiritual dengan kekuatan yang lebih tinggi, dan setelah itu umat mengalihkan perhatian mereka ke dewa-dewi sebagai simbol dari berbagai aspek kehidupan dan alam semesta.
ADVERTISEMENT
Melalui mitos ini, proses ibadah di Cetiya Kalyana Mitta menghubungkan umat dengan banyak lapisan makna: dari penyembahan Tuhan yang simbolis dari kesatuan dan kekuatan tertinggi, hingga pengakuan terhadap kekuatan-kekuatan lebih terfokus dalam kehidupan sehari-hari yang diwakili oleh dewa-dewi. Ini menunjukkan bagaimana struktur spiritual yang ada di Cetiya Kalyana Mitta Pekojan menciptakan jembatan komunikasi simbolik antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi melalui praktik ibadah yang kompleks dan penuh makna.
Pada tahap awal ibadah di Cetiya Kalyana Mitta, umat melakukan doa dan penghormatan kepada Tuhan sebelum berpindah kepada pemujaan dewa-dewi. Secara denotatif, tindakan ini hanya mengacu pada langkah formal dalam urutan ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, Tuhan dianggap sebagai sumber dari segala sesuatu, dan pemujaan kepada dewa-dewi yang lebih spesifik adalah bagian dari pengabdian lebih lanjut setelah penghormatan kepada Tuhan. Hal ini menunjukkan analisis denotasi.
ADVERTISEMENT
Dalam teori Barthes, penyembahan kepada Tuhan di awal ibadah dapat dilihat sebagai denotasi dasar atau simbol dari ketaatan dan pengakuan terhadap kekuatan tertinggi. Tuhan di sini adalah entitas yang tidak terbatas pada satu wujud atau nama, melainkan merupakan simbol dari kesatuan dan keberadaan mutlak yang melampaui segala sesuatu. Penyembahan kepada Tuhan menjadi langkah pertama yang memberi struktur bagi seluruh sistem ibadah yang lebih kompleks.
Namun dalam analisis konotatif, penyembahan kepada Tuhan sebelum menuju dewa-dewi lebih memiliki makna simbolis yang lebih dalam. Tuhan di sini bisa dilihat sebagai lambang dari kesatuan dan kekuatan tertinggi, yang tidak terbatas pada satu bentuk atau rupa. Penyembahan kepada Tuhan juga mengandung konotasi pemahaman bahwa segala bentuk kehidupan dan kekuatan spiritual berasal dari Tuhan yang maha esa. Ini merupakan penerapan dari teori Barthes mengenai mitos, di mana tindakan ibadah ini tidak hanya mengacu pada Tuhan dalam bentuk literal, tetapi juga sebagai simbol dari "kebenaran mutlak" atau "sumber segalanya."
ADVERTISEMENT
Menurut Barthes, mitos merupakan cara untuk membangun narasi atau cerita yang menutupi makna yang lebih dalam dengan struktur yang lebih sederhana dan mudah diterima. Dalam hal ini, penyembahan Tuhan di awal ibadah dapat dilihat sebagai mitos dalam pengertian bahwa ia memberikan kerangka atau narasi yang memandu umat dalam praktik ibadah mereka. Mitos ini mengandung pesan bahwa segala bentuk keagamaan atau spiritualitas manusia tidak lepas dari pengaruh Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta.
Mitosnya adalah bahwa Tuhan adalah awal dari segala penyembahan, dan melalui penyembahan kepada-Nya, umat menunjukkan ketundukan dan pengakuan akan kehadiran-Nya dalam kehidupan mereka. Penyembahan kepada Tuhan juga bisa dilihat sebagai simbol awal dari proses pencarian pencerahan dan kesucian dalam kepercayaan Buddha yang terintegrasi dalam sistem kepercayaan masyarakat setempat di Cetiya Kalyana Mitta.
ADVERTISEMENT
Namun, melalui konotasi dan mitos Barthes, kita dapat melihat bahwa penyembahan Tuhan bukan hanya soal pengakuan akan kekuatan tertinggi, tetapi juga merupakan bagian dari narasi besar yang menghubungkan umat dengan asal mula segala penciptaan. Penyembahan ini memberi konteks bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan dan oleh karena itu segala bentuk pemujaan lainnya (terhadap dewa-dewi) berada dalam kerangka kehendak Tuhan.
Analisis terhadap dewa-dewi di Cetiya Kalyana Mitta Pekojan, menurut teori semiotika Barthes:
1. Dewa Langit (Tian) - Simbol Kekuatan dan Keabadian
Denotasi: Dewa Langit adalah dewa tertinggi dalam hierarki spiritual yang disembah di Cetiya Kalyana Mitta. Ia melambangkan kekuasaan dan otoritas di alam semesta.
Konotasi: Dewa Langit tidak hanya sebagai simbol kekuasaan spiritual, tetapi juga sebagai representasi dari ide-ide keabadian dan keterhubungan segala sesuatu dengan kekuatan yang lebih tinggi. Dalam semiotika Barthes, Dewa Langit bisa dilihat sebagai simbol yang menghubungkan umat manusia dengan konsep kekuatan ilahi yang tidak tampak namun sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Ini juga mencerminkan ide bahwa segala sesuatu di dunia ini berasal dari dan kembali kepada kekuatan yang lebih besar, yang memberi makna lebih dalam bagi kehidupan spiritual dan sosial.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Langit, sebagai simbol penguasa alam semesta dan hukum kosmik, menjadi mitos pertama yang menghubungkan Tuhan dengan pengaturan alam semesta yang lebih luas. Dalam mitologi Cina, Dewa Langit (Tian) adalah kekuatan yang mengatur segala aspek kehidupan dan menciptakan keseimbangan antara langit dan bumi. Mitos ini mengimplikasikan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berada di bawah pengawasan Dewa Langit, dan penyembahan kepada dewa ini merupakan bentuk penghormatan terhadap keteraturan alam yang ditetapkan Tuhan.
2. Dewa Bumi (Di) - Simbol Keseimbangan dan Keterhubungan dengan Alam
Denotasi: Dewa Bumi adalah dewa yang dianggap menguasai bumi, menjaga keseimbangan alam dan kehidupan.
Konotasi: Dewa Bumi melambangkan hubungan antara manusia dan alam semesta. Dalam analisis semiotika Barthes, Dewa Bumi bisa dipandang sebagai simbol dari interaksi antara manusia dengan lingkungan dan alam. Ia juga mencerminkan ideologi bahwa alam dan manusia tidak terpisahkan; keduanya saling membutuhkan dan menjaga keseimbangan. Secara lebih luas, Dewa Bumi menggambarkan konsep harmoni yang harus dijaga dalam kehidupan bersama di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Bumi atau Di merupakan simbol dari kesuburan dan penjaga bumi. Dalam banyak mitos, Dewa Bumi dianggap sebagai pelindung alam dan pengatur kehidupan manusia. Dalam tradisi Cina, Dewa Bumi juga dianggap sebagai penguasa kekuatan yang menjaga keseimbangan alam. Mitos ini menghubungkan kekuatan Tuhan dengan aspek kehidupan yang sangat konkret dan material—yakni bumi dan segala isinya. Penyembahan terhadap Dewa Bumi merupakan pengakuan terhadap peran penting bumi sebagai sumber kehidupan, yang diatur oleh Tuhan.
3. Dewa Air - Simbol Kehidupan dan Kesuburan
Denotasi: Dewa Air melambangkan unsur air yang menjadi sumber kehidupan dan kelimpahan.
Konotasi: Air dalam budaya ini lebih dari sekadar elemen fisik; ia menjadi simbol dari kesuburan, kelimpahan, dan pembersihan. Dalam perspektif semiotika Barthes, Dewa Air mewakili ide bahwa kehidupan berasal dari air, dan dengan demikian, manusia harus menjaga dan memelihara elemen alam ini. Air juga dapat dilihat sebagai simbol perubahan, karena air dapat mengalir, berubah bentuk, dan menyuburkan kehidupan yang ada.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Air melambangkan elemen penting dalam kehidupan manusia dan alam semesta. Air dalam mitologi sering kali dikaitkan dengan penyucian dan kelimpahan. Dewa Air, dalam berbagai tradisi, dianggap sebagai pengatur sumber air yang sangat vital bagi kelangsungan hidup. Mitos yang muncul dari penyembahan terhadap Dewa Air berfungsi sebagai simbol kedamaian dan keseimbangan alam yang lebih besar, dengan konotasi bahwa segala sesuatu yang berasal dari Tuhan akan saling terhubung dan membawa kehidupan.
4. Dewa Api - Simbol Transformasi dan Energi
Denotasi: Dewa Api melambangkan energi dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasi.
Konotasi: Api adalah simbol pembersihan dan transformasi. Dalam analisis semiotika, Dewa Api dapat dipandang sebagai representasi dari perubahan yang tidak terelakkan dalam kehidupan. Api mengubah segala sesuatu yang disentuhnya, yang menjadikannya simbol penting dalam kebudayaan manusia sebagai alat untuk penciptaan dan penghancuran, yang memiliki nilai ganda: kehancuran dan pembaruan.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Api adalah simbol dari perubahan dan pembersihan. Dalam banyak mitologi, api dianggap sebagai elemen yang mampu mengubah dan membersihkan segala sesuatu. Dewa Api membawa perubahan melalui api yang membakar dan membentuk ulang. Mitos ini menghubungkan kekuatan api dengan penciptaan yang berasal dari Tuhan, di mana api, meskipun bisa menghancurkan, juga memiliki peran penting dalam pembaharuan dan pertumbuhan.
5. Dewa Angin - Simbol Kebebasan dan Gerakan
Denotasi: Dewa Angin melambangkan gerakan dan kekuatan tak terlihat yang menggerakkan dunia.
Konotasi: Angin, dalam semiotika Barthes, bisa dipahami sebagai simbol dari kebebasan, ketidakpastian, dan kekuatan yang tidak tampak namun mempengaruhi kehidupan manusia. Dewa Angin menunjukkan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dan tak terlihat yang menggerakkan kehidupan manusia, menggambarkan perubahan dan kekuatan alam yang tidak bisa dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Angin adalah simbol kebebasan dan gerakan tak terlihat yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini. Angin, dalam banyak tradisi, dianggap sebagai pembawa perubahan, pesan dari dunia gaib, atau bahkan wahyu dari Tuhan. Dewa Angin dalam mitologi sering kali dikaitkan dengan penyampaian pesan atau komunikasi ilahi yang melampaui batas ruang dan waktu.
6. Dewa Kekayaan - Simbol Materialisme dan Keberlimpahan
Denotasi: Dewa Kekayaan dihormati karena dianggap membawa berkat materi dan kelimpahan dalam kehidupan duniawi.
Konotasi: Dewa Kekayaan melambangkan hubungan manusia dengan dunia material dan kebutuhan akan kesejahteraan fisik. Dalam semiotika Barthes, Dewa Kekayaan bisa dilihat sebagai simbol dari obsesi manusia terhadap kemakmuran dan kelimpahan. Namun, lebih dalam lagi, ia menggambarkan keinginan manusia untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Kekayaan merupakan simbol dari kemakmuran dan kelimpahan dalam kehidupan material. Dalam berbagai tradisi, Dewa Kekayaan dianggap membawa berkat dalam bentuk rezeki dan kesuksesan. Mitos terkait Dewa Kekayaan mengimplikasikan bahwa segala keberlimpahan berasal dari kekuatan ilahi yang lebih besar (Tuhan), yang mengatur nasib setiap individu. Penyembahan kepada Dewa Kekayaan adalah pengakuan terhadap pentingnya rezeki dan kelimpahan sebagai bagian dari kehendak Tuhan.
7. Dewa Kehidupan - Simbol Kelahiran dan Eksistensi
Denotasi: Dewa Kehidupan melambangkan pengatur kehidupan dan kelahiran.
Konotasi: Dewa Kehidupan adalah simbol dari awal kehidupan, penciptaan, dan keberlanjutan. Dalam analisis semiotika Barthes, Dewa Kehidupan adalah representasi dari dimensi eksistensial manusia—kebutuhan untuk memahami dan merayakan kelahiran serta tujuan hidup. Ia juga melambangkan kesinambungan kehidupan dan peran penting yang dimainkan oleh individu dalam menjaga keberlangsungan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Kehidupan melambangkan penciptaan dan berkelanjutan. Dalam mitologi, Dewa Kehidupan dianggap sebagai pembawa kehidupan dan pengatur kelahiran. Dewa ini menghubungkan umat dengan penciptaan yang lebih besar yang berasal dari Tuhan, di mana kehidupan adalah anugerah yang harus dihargai dan dilindungi. Mitos tentang Dewa Kehidupan adalah simbol dari pemeliharaan Tuhan atas kehidupan manusia dan alam.
8. Dewa Kematian - Simbol Takdir dan Peralihan
Denotasi: Dewa Kematian dianggap sebagai pengatur transisi dari kehidupan menuju kematian.
Konotasi: Dewa Kematian menggambarkan aspek takdir dan keberlanjutan siklus kehidupan. Dalam semiotika Barthes, Dewa Kematian dapat dilihat sebagai simbol dari ketidakpastian dan keterbatasan manusia—mengingat bahwa setiap kehidupan pasti akan berakhir. Dewa ini mengingatkan umat untuk merenungkan siklus kehidupan dan menerima kenyataan bahwa setiap awal pasti ada akhirnya.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Kematian mengatur transisi antara kehidupan dan dunia setelah mati. Dalam banyak mitos, Dewa Kematian adalah pengatur takdir akhir dan penjaga gerbang antara dunia fisik dan spiritual. Dalam tradisi Buddhis, kematian dipandang sebagai bagian dari siklus kelahiran dan reinkarnasi yang ditentukan oleh karma, yang pada akhirnya tetap berada dalam kekuasaan Tuhan yang mengatur segala kehidupan.
9. Dewa Kebijaksanaan - Simbol Pencerahan dan Pengetahuan
Denotasi: Dewa Kebijaksanaan melambangkan pencapaian pengetahuan dan pencerahan spiritual.
Konotasi: Dewa Kebijaksanaan menggambarkan pencarian tanpa henti untuk pengetahuan dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan alam semesta. Dalam semiotika Barthes, Dewa Kebijaksanaan adalah simbol dari upaya manusia untuk melampaui batasan-batasan duniawi menuju pemahaman yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Kebijaksanaan adalah simbol dari pencapaian pengetahuan dan pencerahan spiritual. Dalam banyak mitologi, Dewa Kebijaksanaan berfungsi sebagai pembawa pencerahan yang menuntun umat manusia menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang dunia dan alam semesta. Mitos ini mengimplikasikan bahwa kebijaksanaan, seperti yang diajarkan oleh berbagai dewa, adalah cara untuk memahami kehendak Tuhan yang lebih besar.
10. Dewa Pelindung - Simbol Perlindungan dan Keharmonisan
Denotasi: Dewa Pelindung dianggap menjaga umat dari bahaya dan memberikan kedamaian.
Konotasi: Dewa Pelindung melambangkan kebutuhan manusia akan rasa aman dan perlindungan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam semiotika Barthes, Dewa Pelindung dapat dipandang sebagai simbol dari harapan umat akan perlindungan dari kekuatan luar yang dapat mengancam kedamaian dan keharmonisan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Mitos dan Sejarah: Dewa Pelindung dianggap sebagai penjaga umat dan tempat ibadah, memberikan perlindungan terhadap segala bentuk ancaman. Dalam mitologi lokal, dewa pelindung sering kali dikaitkan dengan perlindungan terhadap kekuatan jahat dan menjaga keamanan masyarakat. Ia juga sering dipercaya memiliki kemampuan untuk menjaga kesejahteraan sosial dan spiritual dari umat yang beribadah di tempat tersebut.
Setiap dewa dalam urutan pemujaan di Cetiya Kalyana Mitta Pekojan memiliki makna simbolis yang tidak hanya mewakili kekuatan alam tetapi juga memperkaya narasi mitologis yang menghubungkan umat dengan Tuhan. Dalam teori Barthes, penyembahan terhadap dewa-dewi ini bukan hanya soal perwujudan literal kekuatan alam, tetapi lebih merupakan konstruksi simbolik yang membawa umat mendekatkan diri pada pemahaman yang lebih tinggi tentang penciptaan, kehidupan, dan takdir yang dikehendaki oleh Tuhan.
ADVERTISEMENT
Mitos dari setiap dewa mencerminkan hubungan yang lebih kompleks antara manusia dan alam semesta, menghubungkan tindakan spiritual yang tampaknya sederhana dengan narasi yang lebih besar yang membentuk makna dari kehidupan dan keberadaan. Proses penyembahan ini, dari Tuhan hingga dewa-dewi, menggambarkan perjalanan manusia dalam memahami kekuatan ilahi yang lebih besar, serta pencarian makna dalam kehidupan yang lebih mendalam.
Cetiya Kalyana Mitta Pekojan tidak hanya menjadi pusat spiritual, tetapi juga menjadi simbol kerukunan budaya dan agama yang unik. Melalui tradisi dan simbolismenya, cetiya ini menghadirkan pesan tentang pentingnya harmoni, inklusivitas, dan penghormatan terhadap keberagaman dalam praktik keagamaan dan kehidupan bermasyarakat.
Dalam analisis semiotika ini disimpulkan bahwa Cetiya Kalyana Mitta Pekojan, melalui simbol-simbol dan praktik ibadahnya, menyajikan suatu sistem tanda yang kaya akan makna. Teori semiotika Roland Barthes membantu mengungkap bagaimana setiap elemen, dari penyembahan Tuhan hingga dewa-dewi yang disembah, membangun komunikasi simbolik yang mendalam antara umat dan kekuatan ilahi. Setiap urutan ibadah, mitos, dan sejarah yang terkait dengan dewa-dewi di cetiya ini tidak hanya merefleksikan nilai spiritual, tetapi juga menghubungkan tradisi, budaya, dan keyakinan yang lebih besar. Melalui pendekatan semiotika, kita dapat memahami bahwa Cetiya Kalyana Mitta bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ruang simbolik yang menggambarkan interaksi kompleks antara manusia, agama, dan budaya.
ADVERTISEMENT