Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Selain Bumi Makin Panas, Ini yang Membuat Saya Ingin Jadi seperti Greta Thunberg
30 Mei 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 6 menitSuatu waktu saya bermimpi menjadi Greta Thunberg, berdiri lalu berpidato sambil memaki-maki pemimpin dunia di KTT iklim PBB. Bukan karena hari-hari ini cuaca membara, atau mendesak petinggi dunia segera bertindak menyelamatkan bumi, tapi ingin menyuarakan kehilangan besar yang saya alami akibat krisis iklim.
Pada pidatonya, Greta merasa masa kecilnya dirampas sebab para petinggi dunia itu gagal mengatasi kerusakan bumi. Mereka dianggap diam terhadap kerusakan yang mengancam keberlanjutan penghidupan. Mengancam masa depan Greta, saya, dan mungkin juga Anda.
Bila diberi kesempatan sama, saya mungkin tak akan sebernas orasi Greta. Saya hanya ingin menyampaikan dengan pelan, sedikit berbisik, bahwa: saya buta atas usia karena perubahan iklim. Hitungan umur saya hilang dirampas panas bumi yang membuat istigfar setiap waktu.
Cuaca buruk saban tahun membuat musim panen tak menentu. Bahkan lebih sering diterpa gagal dan paceklik. Dan ini yang berdampak pada perhitungan usia saya. Membuat pranata mangsa masyarakat kampung saya kabur.
Jadi, di kampung saya, suatu desa pedalaman Sulawesi Barat, yang berjarak kurang lebih 2 ribu kilometer dari Ibu Kota ke arah tengah Indonesia, segala sesuatu ditandai berdasarkan musim panen tahunan. Panen menjadi pengganti kalender Masehi. Termasuk menjadi pedoman waktu kelahiran manusia. Hari lahir tidak ditandai dengan tanggal Masehi, tapi berdasarkan panen tahunan.
Penanda peristiwa dengan metode agraria ini digunakan setidaknya karena dua faktor: karena mayoritas buta huruf, belum mengenal penanggalan modern, dan karena pertanian sangat dekat dengan kehidupan masyarakat.
Bagi orang kampung saya, penanda kelahiran paling lekat dan mudah diingat selain bulan Ramadan adalah musim panen. Entah itu panen padi, musim buah-buahan, panen durian, atau berpedoman pada periode paceklik. Penanda terakhir ini umumnya disematkan pada peristiwa krisis moneter, masa-masa akhir sang diktator Soeharto.
Musim panen tahunan akan menjadi petunjuk usia kelahiran, atau kalau orang kota menyebutnya ulang tahun — saya pake istilah ‘orang kota’ karena diksi ‘ulang tahun’ baru saya kenal setelah berkawan dengan orang-orang modern. Usia anak manusia dihitung dengan seberapa banyak melewati panen tahunan.
Orang tua akan mengingat-ingat usia anaknya dengan menghitung periode panen mereka. Bila sang anak sudah melalui dua kali panen padi, berarti usianya genap dua tahun. Begitu seterusnya.
Kelahiran saya sendiri ditandai dengan musim panen durian. Inilah letak persoalannya. Musim durian adalah hari ulang tahun saya. Usia saya akan dihitung berdasarkan siklus panen tahunan. Untuk mengetahui seberapa tua usia saya saat ini, maka saya harus menghitung sudah berapa kali musim durian yang saya lalui.
Sialnya, siklus tahunan itu tak lagi menentu akibat krisis iklim, cuaca tak tertebak. Akibatnya, panen tahunan bolong-bolong dan justru kerap paceklik panjang.
Gagal panen membuat perhitungan usia saya kabur. Beberapa kali tidak ulang tahun karena pohon durian kering melompong dari batang hingga daun karena diterpa panas bumi. Menghitung usia berdasarkan panen tahunan pertama sampai panen kesepuluh tahunan masih belum rumit. Namun perhitungan lanjutannya membuat hitungan kabur.
Bila iklim normal, siklus musim durian akan terjadi pada rentang bulan Desember sampai Februari. Bulan lahir saya pun kemungkinan di antara akhir dan awal tahun itu. Durian sebenarnya termasuk tanaman hortikultura, bisa dibudidayakan, yang berarti musim panennya tidak selalu sekali dalam setahun. Tapi karena di kampung saya durian tumbuh dan berbuah alami maka siklusnya terhitung tahunan.
Penelitian Yeli Sarvina dan Kharmila Sari bertajuk Dampak ENSO Terhadap Produksi dan Puncak Panen Durian di Indonesia (Desember 2017) yang diterbitkan di laman Kementerian Pertanian, menunjukkan bahwa El-Nino Southern Oscillations (ENSO), anomali iklim yang dipicu pemanasan global menyebabkan penurunan produksi durian. Panen tidak menentu, siklus berubah, bahkan terjadi gagal panen.
Artinya, dalam kasus perhitungan umur, usia saya semakin sulit dihitung. Gagal panen berkepanjangan sama dengan umur saya semakin sumir. Tidak ada hitungan sudah berapa kali saya melalui musim panen durian. Tahun pertama masih panen, kedua hingga kesepuluh juga masih sesuai siklus, tapi hari ini dan beberapa tahun lainnya gagal. Hilanglah pedoman penghitungan usia saya.
Gagal panen berkepanjangan itu, menjadikan saya menghindari pertanyaan “usia kamu berapa?”, “lahir tanggal berapa”, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya. Apalagi ditanya zodiak.
Saya tidak percaya zodiak, selain karena orang yang mempercayainya dianggap kurang cerdas — berdasarkan penelitian Lund University Swedia yang diterbitkan Maret 2022 — juga karena saya tidak bisa menunjukkan secara pasti tanggal lahir saya kapan. Jangankan bintangnya, tahun lahir saja masih kira-kira, antara kelahiran 1996 atau lebih tua dari itu.
Tahun lahir juga masih bisa saya raba-raba dengan berpedoman pada masa krisis moneter. Saya masih ingat terang fenomena garam dan gula pasir, sebagai bahan pokok makanan, seperti emas. Langka dan mahal. Orang kampung kala itu dihadapkan pada ancaman kelaparan. Periode paceklik berkepanjangan ini disematkan pada krismon tahun 1997-98. Dari situ saya menyimpulkan, tahun lahir saya tidak jauh-jauh dari turunnya sang diktator.
Kembali ke zodiak, saya sulit menyesuaikan atau mencoba percaya metode membaca kepribadian lewat hitungan bintang lahir itu. Terkecuali ada pranata mangsa yang mampu menggambarkan kepribadian orang yang pada musim durian. Terkecuali ada yang mampu menjelaskan bahwa karakter orang yang lahir di musim durian akan lebih tangguh, gigih, kuat, dan tajam seperti duri durian. Atau misalnya kalau dia lahir di musim panen bayam berarti orangnya lembut dan memberi kesegaran untuk sekitar. Bila ada, saya akan percaya zodiak, tarot, dan serupanya.
Saya bukan tidak punya tanggal lahir. Sebagai warga negara Indonesia, saya wajib memiliki kartu tanda penduduk, tapi yang tertera di kartu-kartu itu tidak valid. 6 Februari 1996 yang tercantum pada surat-surat identitas adalah karangan kepala sekolah SD saat memenuhi administrasi sekolah dan tercetak pada ijazah. Yang belakangan menjadi dasar pencatatan sipil berikutnya. Semua surat-surat mengikut ijazah.
Akta kelahiran dibuat setelah ijazah SD terbit. Pembuatan tanda kelahiran itu dibuat bukan karena dianggap penting oleh orang-orang kampung. Tapi karena pemerintah mewajibkan setiap anak memiliki surat keterangan lahir. Imbauan pemerintah untuk mendaftarkan anak-anaknya mendapatkan akta dilakukan lewat sebaran pamflet. Ditempel di setiap pintu rumah warga kampung.
Pamflet itu menghujani kampung pada rentang tahun 2007 sampai 2010 yang diikuti imbaun lain. Seperti proses lahiran ibu-ibu harus dilakukan di rumah sakit atau puskesmas terdekat. Sebelum tahun itu, ibu-ibu kampung melahirkan menggunakan ‘dukun melahirkan’.
Saya termasuk yang lahir dari tangan dukun beranak. Ini juga yang menjadi penyebab minimnya pencatatan tanggal lahir. Biasanya, tanggal lahir hanya diukir di papan dinding rumah. Upaya pencatatan bagi orang tua yang melek angka ini pun hanya sekadarnya. Sebab dia akan lenyap bersama rumah-rumah semi permanen itu.
Orang kampung akan meninggalkan rumah kayu mereka setelah musim tanam selesai. Lalu mencari lahan tanam baru. Mereka tinggal dengan berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan lain. Dalam pertanian, siklus ini disebut peladang berpindah.
Perpindahan mencari penghidupan baru ikut melenyapkan dinding papan ukiran tanggal lahir dan kenang-kenangannya. Jadilah kami buta usia. Untuk kesekian kalinya saya menuai kesialan: sudahlah tanggal lahir tak tentu, diperparah pula dengan krisis iklim.
Sebagai orang yang tak tahu tanggal lahir, saya hanya menyiapkan jawaban bila ditanya umur. Saya meminjam kalimat Antonio Jose Bolivar, karakter orang tua dalam novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda: “Enam puluh menurut akte, tapi kalau kita perhitungan fakta bahwa aku sudah bisa jalan saat mereka mendaftarkanku, anggap saja aku tidak jauh-jauh dari tujuh puluh,”.