Konten dari Pengguna

Politik Akomodatif Pasca Pilpres Hanya Untuk Mengamankan Kekuasaan dan Bisnis

Hent AjoLeda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
21 Februari 2024 5:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi dan Surya Paloh. Dok: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden. Sumber Gambar: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi dan Surya Paloh. Dok: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden. Sumber Gambar: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Buru-buru setelah memperoleh suara 58,47 % (versi hitung cepat Litbang Kompas) pada pilpres 2024, pasangan terpilih Prabowo-Gibran melakukan deklarasi kemenangannya di Istora Senayan Jakarta pada 14 Februari 2024. Dalam pidato kemenangannya itu, Prabowo Subianto berkomitmen untuk merangkul semua "potensi bangsa" ke pemerintahannya. Komintem ini kemudian diikuti dengan aksi "turun gunung" melakukan safari atau silaturahmi dengan sejumlah tokoh partai politik.
ADVERTISEMENT
Pada Sabtu, 17 Februari 2024 Prabowo Subianto, menemui Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pacitan. Meskipun Prabowo mengaku pertemuannya dengan SBY hanya silaturahmi biasa, namun pertemuan mereka bukanlah pertemuan biasa, apalagi dilakukan setelah pemungutan suara. Selain dengan SBY, Prabowo juga disinyalir akan mengunjungi tokoh politik yang selama pemilu berseberangan dengannya pada Pemilu 2024 (Kompas.id, 17 Februari 2024).
Tampaknya aksi safari atau silaturahmi dengan sejumlah tokoh partai politik juga dilakukan oleh Jokowi. Sebagaimana diberitakan media, Jokowi meminta bantuan Sultan Hamengku Buwono X untuk menjembatani pertemuan dirinya dengan pendiri PIP Perjuangan Megawati Soekarno Putri (nasional.kompas.com, 15 Februari 2024). Empat hari seusai pemungutan suara Pemilu 2024, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Istana Kepresidenan. Meski tak terbuka mengungkap apa yang mereka bicarakan, Jokowi nampaknya memberikan sinyal politik akomodatif. Setidaknya dapat dibaca dari makna dibalik frasa "saya (Jokowi) ingin menjadi jembatan untuk semuanya" yang ia ungkapkan pada Senin, 19 Februari 2024 (Kompas.id, 20 Februari 2024).
ADVERTISEMENT
Kendati posisi Jokowi dinilai lebih strategis untuk "cawe-cawe" menjinakkan lawan, sebagaimana yang ia lakukan pasca kemenangan Pilpres 2014 dan 2019, taktik politik akomodatif ala Jokowi dan Prabowo merupakan langkah untuk merangkul lawan politik agar bergabung ke koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Tujuannya, agar pemerintahan Prabowo-Gibran bisa “mengamankan kekuatan politik di parlemen dan kebijakan politiknya, selain tidak mendapat resistensi juga kekuasaan pemerintahan bisa stabil dan harmoni”.
Politik Akomodatif: Memperkecil Ruang Oposisi dan Tawar-Menawar Ekonomi-Politik
Politik akomodatif yang sedang disponsori oleh Jokowi dan juga dilakukan oleh Prabowo, menurut hemat penulis, keduanya tengah berupaya memperkecil ruang oposisi. Sebagaimana telah disinggung oleh penulis dalam tulisan terdahulu, bahwa demokrasi dapat berjalan dengan baik jika ada cheks and balance, dan hal itu bisa dilakukan jika ada kekuatan politik di luar pemerintah.
ADVERTISEMENT
Namun tampaknya, ada sinyal positif dari kubu lawan politik seperti partai PKB untuk bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Alih-alih bersembunyi dibalik kalim "kami tidak memiliki sejarah dan riwayat oposisi", PKB diprediksi bergabung bersama koalisi Prabowo-Gibran. Selain PKB, PKS juga diprediksi bakal menyusul untuk bergabung ke gerbong koalisi Prabowo-Gibran, mengingat PKS pernah berbulan madu kenikmatan politik bersama Gerindra dan Jokowi dalam Pilpres 2014 (nasional.kompas.com, 20 Februari 2024).
Jika Nasdem, PKB dan PKS legowo kedalam pemerintahan, itu berarti Prabowo-Giberan berhasil mengumpulkan setidaknya lebih dari 70 persen kekuatan politik di parlemen. Selain itu, jika hal ini terjadi maka klaim bahwa, parpol kelas tengah itu sedang menjilat ludah mereka sendiri tengah dipertontonkan dihadapan publik. Narasi perubahan dan kritik yang mereka gembar-gemborkan terhadap pemerintahan Jokowi hanyalah gimik rendahan dan "omon-omon" belaka (nasional.kompas.com, 20 Februari 2024).
ADVERTISEMENT
Partai-partai lawan itu pula yang bertubi-tubi mengkritik mekanisme pencalonan Gibran yang disesaki oleh berbagai kecurangan setelah pelanggaran etik di awal pra-kandidasi, dan kemudian mengkritik cawe-cawe Jokowi, politisasi bansos, hingga manuver-manuver Pilpres satu putaran. Kritik-kritik itu juga kemudian melahirkan polarisasi.
Jika bukan ujian dalam menegakkan konsistensi politik yang selama ini gencar mengkritik pemerintah dan menyerukan gerakan perubahan, maka menjilat ludah sendiri adalah pilihan, karena partai-parti tengah itu tidak siap untuk menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan. Mengulang kata Anies Baswedan dalam debat pertama, "karena tidak bisa berbisnis, pemimpin partai-partai politik tidak tahan menjadi oposisi" (Kompas.com, 19 Februari 2024). Pernyataan Anies mengkonfirmasi temuan Jatam bahwa terdapat keterkaitan bisnis antara pimpinan parpol dan tim pemenangan dari ketiga pasangan calon (www.jatam.org, 2024).
ADVERTISEMENT
Sebagaimana juga disinggung oleh penulis dalam tulisan terdahulu, dengan watak dan karakter dari partai-partai politik semacam ini maka implikasinya adalah sulitnya kehadiran oposisi yang konsisten dalam mengkritik dan mengawasi pemerintahan. Oposisi yang lemah dapat berdampak negatif pada stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia, karena hilangnya cheks and balance. Dan upaya melemah dan melemahkan ruang oposisi tengah kita saksikan lewat manuver-manuver politik akomodatif.
Selain memperkecil dan melemahkan ruang oposisi, menurut penulis, kemungkinan tawar-menawar jabatan dan kekuasaan bakal terjadi. Bergabung bukan asal gabung, bergabung adalah kekuasaan, kira-kira demikian penulis menafsir. Biar malu menjilat ludah sendiri asalkan dapat jatah Menteri, Wakil Menteri atau jabatan lainnya. Bergabung dengan pihak yang berkuasa bukan sekadar tindakan cawe-cawe mendukung pemerintahan, tetapi merupakan strategi untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh. Para elit mungkin bersedia mengorbankan harga diri atau prinsip-prinsip dasar asalkan mereka dapat memperoleh posisi politik yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Paradoks dan ironis perilaku elit politik, setelah "berdarah-darah" mengkritik atau mengecam pihak berkuasa, namun kemudian dengan cepat berbalik dan mendukung penguasa, demi kepentingan pribadi atau ekonomi-politik mereka sendiri. Ambisi politik dan kekuasaan sering kali mengalahkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip dasar. Dengan demikian, narasi harmoni politik pasca pilpres dengan sendirinya membongkar watak asli dari elit politik.