Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Saksi Nikah Rizky Febian-Mahalini Bilang Sah, Hakim PA Sebut Tidak, Gimana Sih?
30 November 2024 11:31 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Humas Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan membenarkan Majelis Hakim menolak permohonan isbat nikah yang diajukan Rizky Febian-Mahalini melalui Putusan Majelis Hakim (27/11/2024). Majelis Hakim setelah melakukan pemeriksaan dan berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan ke hadapan persidangan, memutus bahwa pernikahan Rizky Febian dengan Mahalini yang dilaksanakan di Bali tanggal 10 Mei 2024 lalu tidak sah secara agama Islam.
ADVERTISEMENT
Menariknya, 2 (dua) orang saksi nikah Rizky Febian-Mahalini saat ijab qobul menyatakan pernikahan tersebut sah secara agama Islam.
Kalau begini keadaannya, mana yang benar, saksi nikah atau Majelis Hakim PA? Apakah semenjak 10 Mei 2024 kedua pasangan tersebut secara tidak sadar telah melakukan perzinahan menurut agama Islam? Bagaimana tanggung jawab saksi yang menyatakan ijab qobul tersebut sah?
Isbat Nikah
Pertanyaan yang pertama perlu dijawab adalah apakah isbat nikah itu dan di mana isbat nikah itu diproses?
Sederhananya, isbat nikah adalah proses untuk mendapat Akta Nikah dari negara sebagai bukti hukum yang merupakan Akta Otentik yang memiliki kekuatan pembuktian bahwa telah terjadi pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya beragama Islam yang terjadi di masa lampau.
ADVERTISEMENT
Permohonan isbat nikah bisa dilakukan karena alasan memang belum mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) namun pernikahan tersebut sah secara agama Islam, memenuhi syarat dan rukun nikah sesuai ketentuan syariat.
Alasan pengajuan permohonan isbat nikah lainnya adalah karena Akta Nikah pasangan suami istri hilang dan pada saat bersamaan arsip pernikahan keduanya sudah tidak ada di KUA karena suatu alasan, seperti pernah kebakaran, banjir, dan lain sebagainya yang mengakibatkan musnahnya arsip KUA.
Penetapan isbat nikah tersebut bukan oleh KUA lagi yang merupakan cabang kekuasaan eksekutif dan berada di bawah Presiden. Namun oleh Pengadilan Agama yang merupakan cabang kekuasaan yudikatif dan berada di bawah Mahkamah Agung.
Majelis Hakim Pengadilan Agama sesuai hukum acaranya memeriksa di hadapan persidangan bukti-bukti yang diajukan permohonan isbat nikah bahwa benar sudah terjadi pernikahan yang sah sesuai syariat Islam di masa lampau antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya beragama Islam, lalu Majelis Hakim membuat putusan berdasarkan bukti persidangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Majelis Hakim akan memutus mengabulkan permohonan isbat nikah jika bukti-bukti yang dihadirkan ke hadapan persidangan memiliki kekuatan pembuktian bahwa benar sudah terjadi pernikahan yang sah, memenuhi syarat dan rukun nikah, menurut syariat agama Islam, di masa lalu, antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya beragama Islam.
Sebaliknya, Majelis Hakim akan memutus menolak permohonan isbat nikah jika bukti-bukti yang dihadirkan ke hadapan persidangan tidak memiliki kekuatan pembuktian bahwa benar sudah terjadi pernikahan yang sah, memenuhi syarat dan rukun nikah, menurut syariat agama Islam, di masa lalu, antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya beragama Islam.
Penolakan Majelis Hakim tentu saja berarti bahwa pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan di masa lalu tersebut tidak sah menurut syariat agama Islam. Majelis Hakim memiliki kewajiban hukum untuk menerima isbat nikah jika dan hanya jika pernikahan tersebut sah menurut syariat.
ADVERTISEMENT
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap haruslah dipandang sebagai sebuah kebenaran sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat baik secara negara maupun secara syariat agama Islam. Perbedaan pendapat hanya ada pada wilayah sebelum putusan Majelis Hakim dibacakan di depan persidangan.
Maka semenjak putusan inkrah diucapkan Majelis Hakim dalam persidangan yang diadakan untuk itu, maka itulah hukum status pernikahan antara laki-laki dan perempuan tersebut. Secara negara memiliki implikasi hukum negara dan secara agama memiliki implikasi hukum syariat, sebagai bukan pasangan suami istri yang sah.
Jika diputus tidak sah, bagaimana status hubungan sebelumnya dan status anak, apakah dihukum zina?
Penulis hanya tahu bahwa Allah SWT Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat, tidak menghukum hamba-Nya atas sesuatu yang tidak diketabuinya dan tidak berniat melakukan dosa. Wallahu a'lam bishawab.
ADVERTISEMENT
"Saksi Nikah Bilang Sah, Kok"
Suatu waktu penulis pernah diminta secara mendadak menjadi saksi nikah sepasang calon suami-istri yang beragama Islam dan dinikahkan di hadapan petugas KUA di rumah calon mempelai perempuan beberapa hari sebelum walimahan.
Penulis meminta ada forum antara kedua mempelai, kedua orang tua kedua mempelai, kedua saksi nikah, dan petugas KUA sebelum ijab qabul dilaksanakan.
Pada forum tertutup itu penulis menanyakan apakah calon mempelai perempuan ini anak kandung biologis dan agama dari bapak yang akan menikahkan? Tentu saja beliau-beliau menanyakan tujuan pertanyaan tersebut dari seorang saksi nikah.
Penulis jelaskan kalau menurut pandangan penulis, saksi nikah itu bukan sekadar menyaksikan adanya pernikahan. Namun tanggung jawabnya jauh lebih tinggi dari itu, yaitu memastikan pernikahan tersebut sah menurut syariat agama Islam. Sehingga penulis sebagai saksi perlu melakukan verifikasi beberapa hal sebelum menjatuhkan putusan sah tidaknya pernikahan tersebut setelah ijab qabul diucapkan nanti.
ADVERTISEMENT
Petugas KUA membenarkan penulis dan menjelaskan kalau petugas KUA bukan pihak yang berwenang menyatakan suatu pernikahan sah atau tidak. Hanya mencatatkan dan menerbitkan Akta Nikah. Sah dan tidaknya pernikahan kewenangan saksi nikah. Tentu saja petugas KUA akan mengecek secara administrasi keterpenuhan syarat dan rukun pernikahan menurut agama Islam dalam sebuah pernikahan.
Setelah mendapat penjelasan, kedua orang tua mempelai perempuan menjelaskan kalau calon mempelai perempuan benar anak biologis mereka namun, mohon maaf, bukan lahir dalam pernikahan yang sah.
Penulis menanyakan kepada petugas KUA apakah syarat dan rukun lain sudah terpenuhi selain Wali Nikah? Petugas KUA menyatakan sudah.
Setelah itu penulis dan petugas KUA menjelaskan kepada ayah biologis calon mempelai perempuan kalau beliau tidak bisa menjadi wali nikah. Kalau dipaksakan, penulis akan mundur sebagai saksi nikah dan petugas KUA saat itu juga tidak mau menerbitkan Akta Nikah.
ADVERTISEMENT
Kenapa? Karena walaupun beliau Ayah biologis namun karena calon mempelai perempuan lahir bukan dalam pernikahan yang sah maka nasabnya bukan ke ayah biologisnya namun kepada ibunya sehingga ayah biologisnya tidak sah sebagai wali nikah. Pada ujung diskusi disepakati, ibu kandung calon mempelai perempuan menyerahkan kepada wali hakim yaitu petugas KUA untuk menikahkan anaknya.
Selanjutnya terjadilah ijab qabul dan penulis selaku saksi nikah mengeluarkan putusan hukum yang akan penulis pertanggungjawabkan dunia akhirat, yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut sah menurut syariat agama Islam tepat setelah ijab qabul diucapkan.
Seandainya pernikahan di mana penulis sebagai saksi kikah di atas tidak dihadiri petugas KUA dan tidak dicatatkan juga di KUA, namun calon mempelai perempuan lahir dalam sebuah pernikahan yang sah menurut syariat, dan ayah kandung calon mempelai perempuan memutuskan untuk menikahkan langsung anak perempuannya dengan menjadi wali nikah, maka pernikahan seperti itu, menurut penulis, yang dapat dimohonkan isbat nikah ke Pengadilan Agama di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Penulis yakin seyakin-yakinnya kalau Majelis Hakim Pengadilan Agama akan mengabulkannya.
Bagaimana dengan yang permohonan isbat nikahnya ditolak? Solusinya seharusnya ada dalam Putusan PA itu sendiri, ijab qabul ulang alias nikah ulang.
Terima kasih, wallahu a'lam bishawab, semoga bermanfaat, aamiin