Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membedah Eksistensi dan Kekuatan SEMA No. 2 Tahun 2023 Terhadap Kebebasan Hakim
23 Juli 2023 16:52 WIB
Tulisan dari Hendrikus Suyatno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertentangan antara Nilai Kepastian dan Keadilan dalam Putusan Penetapan Permohonan Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Dewasa ini publik sempat dihebohkan oleh sikap Ketua Mahkamah Agung pasca dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan, untuk selanjutnya disingkat sebagai SEMA No. 2 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Alasan SEMA tersebut dikeluarkan adalah untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim berpedoman sebagai berikut :
Kehadiran SEMA tersebut tidak lain dan tidak bukan dikarenakan banyaknya kontroversi terhadap putusan hakim yang mengabulkan penetapan permohonan pencatatan perkawinan beda agama yang diajukan oleh pemohon yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Tidak hanya itu berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama juga telah ditetapkan bahwa “Perkawinan Beda Agama Adalah Haram dan Tidak Sah”.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari sudut pandang agama mayoritas di Indonesia yaitu Agama Islam, praktik perkawinan beda agama tersebut jelas dilarang, dan diharamkan. Selain itu juga dalam ajaran agama lainnya seperti agama Katolik, dan Kristen-Protestan juga turut melarang praktik tersebut, hal ini dikarenakan praktik perkawinan beda agama bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini.
Secara historis eksistensi dari praktik perkawinan beda agama sebenarnya sudah ada sejak lama di Negara Indonesia, yaitu pada zaman penjajahan Hindia Belanda, dimana pada saat itu dikenal dengan sebutan perkawinan campuran. Praktik perkawinan campuran ini dilakukan antara orang pribumi dengan warga Hindia Belanda, dimana perkawinan campuran dilakukan tidak hanya mencampurkan budaya dan kebangsaan yang berbeda, tetapi juga agama serta kepercayaan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Selain itu baru-baru ini tepatnya pada tahun 2022, Mahkamah Konstitusi (MK) juga dalam Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 secara tegas telah menolak permohonan Judicial Review (JR) mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bertolak dari adanya perdebatan (pro-kontra) menyoal adanya SEMA yang berisikan larangan berupa tidak dikabulkannya permohonan pencatatan perkawinan beda agama tersebut, penulis dalam tulisan ini berusaha membedah terlebih dahulu eksistensi dan kekuatan SEMA terhadap kebebasan hakim dari perspektif kajian ilmu hukum yang akan diuraikan pada poin pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
Apakah SEMA tersebut mengikat Hakim?
Menjawab hal ini tentunya perlu diuraikan terlebih dahulu kewenangan dari Ketua Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana teori “Trias Polica” yang dikemukakan oleh Montesquieu bahwa kekuasaan dalam negara hukum terbagi kedalam 3 (tiga) kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan kehakiman sendiri dalam hal ini berada pada tataran kekuasaan yudikatif.
ADVERTISEMENT
Secara yuridis kewenangan dari Ketua Mahkamah Agung dalam mengeluarkan produk hukum seperti SEMA dan PERMA tidak terlepas dari adanya atribusi kekuasaan khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang sudah diamandemen kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009). Adapun rumusan pada pasal ini menegaskan bahwa :
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 79 UU Mahkamah Agung tersebut berbunyi :
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ketentuan pasal 79 beserta penjelasannya tersebut diatas, dapat dipahami bahwa kewenangan mengatur (regelende functie) atau rule making power yang dimiliki Mahkamah Agung ini tidak lain dan tidak bukan yaitu dalam rangka untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum guna memperlancar penyelengaraan peradilan.
Sebagaimana dengan kewenangan tersebut, perlu diketahui bersama bahwa produk hukum SEMA tidaklah sama dengan PERMA karena SEMA bukan merupakan peraturan perundang-undangan (regeling) yang dituangkan dalam "Berita Negara". Pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan itu wajib untuk dituangkan dalam berita negara, adapun yang dimaksud dengan berita negara adalah koran atau media resmi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia untuk mengumumkan peraturan perundang-undangan dan pengumuman resmi lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, jika dilihat dari segi kekuatannya maka produk hukum Mahkamah Agung berupa PERMA memiliki kekuatan mengikat kedalam (interne regeling) bagi Hakim yang secara internal berada dibawah naungan Mahkamah Agung. Namun demikian dalam beberapa kondisi tertentu PERMA tersebut juga dapat mengikat keluar sepanjang ada aturan yang bersingungan dengan lembaga negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Apabila kita merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana perubahan pertama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan perubahan kedua yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, diketahui bahwa PERMA dan SEMA tidak termasuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun jenis dan hirarki peraturan perundangan-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :
Selanjutnya apabila dilihat dengan menggunakan teori jenjang hukum (Stufenbau Theory) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, kedudukan SEMA dan PERMA sudah jelas dan terang menandakan bahwa secara hirarkis keduanya tidak termasuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan (Vide Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Artinya bahwa SEMA dan PERMA tersebut tidak memiliki kedudukan ataupun kekuatan layaknya UU yang mengikat secara umum.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, legitimasi dari eksistensi PERMA diatur didalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi :
Kemudian lebih lanjut bunyi dari Pasal 8 ayat (2) UU tersebut menyatakan bahwa:
ADVERTISEMENT
Bertolak dari hal-hal yang sudah disampaikan, maka sudah jelas bahwa PERMA mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi hakim yang berada dibawah Mahkamah Agung, namun berbeda dengan produk hukum Mahkamah Agung yang berbentuk SEMA.
Jika dilihat dari segi kedudukan maupun kekuatan SEMA tersebut, dapat dikatakan bahwa SEMA tersebut tidaklah mengikat hakim. Hal ini dikarenakan SEMA tersebut hanya bersifat sebagai instruksi (arahan) saja. Lebih lanjut SEMA tersebut bukanlah aturan yang sifatnya memaksa hakim untuk mematuhinya dan tidak akan menimbulkan konsekuensi hukum apapun bagi Hakim yang tidak mengikutinya.
Contohnya adalah apabila ada seorang Hakim yang tidak mengikuti SEMA tersebut, Hakim tersebut tidak akan mendapatkan sanksi apapun. Oleh karena SEMA bukanlah produk hukum yang dapat dilekatkan sanksi pidana seperti halnya UU dan Peraturan Daerah (Perda). Hal ini juga sebagaimana pendapat Prof. Eddy O.S Hiariej mengenai kerbelakuan dari asas no punishment without representative yang artinya bahwa perumusan sanksi pidana harus melalui persetujuan rakyat atau melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengaturan sanksi pidana tidak boleh diatur dalam aturan turunan.
ADVERTISEMENT
Apakah Terdapat Conflict of Norm Antara UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan?
Sebelum masuk untuk menjawab perlu diuraikan terlebih dahulu bunyi dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi :
Selain itu ayat (2) UU tersebut menjelaskan bahwa :
Pada UU Perkawinan ini sebenarnya tidak ada ketentuan yang secara tegas (eksplisit) yang melarang praktik dari perkawinan beda agama, namun demikian yang menjadi persoalan adalah masih terdapatnya disharmonisasi atau ketidakselarasan dalam ketentuan pasal pada UU Perkawinan tersebut, dimana terlihat dalam konstruksi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena apabila dikembalikan kepada hukum masing-masing agamanya, niscaya berdasarkan nilai-nilai yang terkandung pada norma agama yang diakui di Indonesia, tidak ada agama yang membenarkan perkawinan beda agama. Kondisi yang berbeda apabila kita berbicara dalam konteks kepercayaan masing-masing, tentunya pencantuman kata "kepercayaan" ini membawa konsekuensi hukum tersendiri dalam penerapan hukum.
Lebih lanjut, apabila kita melihat dengan seksama terkhusus pada Pasal 2 ayat (2) UU tersebut, secara eksplisit menandakan bahwa pasal tersebut merupakan jembatan (bridge) bagi keberlakuan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada bunyi ketentuan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa :
ADVERTISEMENT
Hal ini tentunya menjadi celah atau pintu gerbang dari keberlangsungan praktik perkawinan beda agama untuk dapat di legalisasikan di Indonesia. Adapun solusi dari disharmonisasi antara UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan tersebut, tentu nantinya akan menjadi tugas dan kewenangan dari anggota legislatif (DPR) selaku pembentuk Undang-Undang.
Menurut hemat penulis apabila tujuan awalnya adalah untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum terhadap permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan, maka kondisi yang sangat ideal adalah aturan tersebut harus dituangkan dalam ranah kebijakan legislatif berupa pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU) dan bukan melalui SEMA. Namun demikian, penulis tetap mengapresiasi sikap dari Ketua Mahkamah Agung tersebut dengan semangat dan misi untuk memberikan keseragaman terhadap penerapan hukum.
ADVERTISEMENT
Manakah yang Harus Diutamakan antara Kepastian Hukum dan Keadilan?
Sebagaimana pendapat dari Gustav Radbruch bahwa tujuan hukum yaitu adalah untuk mencapai kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Namun pada praktiknya seringkali kepastian hukum tidak bisa berdampingan dengan rasa keadilan. Lantas dalam memutus suatu perkara Hakim harus mengutamakan apa?.
Tentunya dalam hal ini kita harus merujuk terlebih dahulu kepada konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), terkhusus pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Berdasarkan hal tersebut dapat kita ketahui bahwa kepastian hukum disini tidak bisa dilepaskan oleh esensi keadilan. Hakim dalam memutus suatu perkara sudah selayaknya untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan diatas kepastian hukum. Apabila kita merujuk pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), maka diketahui bahwa :
ADVERTISEMENT
Konsekuensi logis dari pencantuman ketentuan pasal tersebut, dimana Hakim dapat melakukan 2 (dua) hal dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat dan rasa keadilan berdasarkan nurani hakim itu sendiri yaitu dengan cara sebagai berikut :
1. Penerobosan hukum (rule breaking)
2. Penemuan hukum (recht finding)
ADVERTISEMENT
Apakah Pasca Hadirnya SEMA No. 2 Tahun 2023 Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara Menjadi Terbatasi?
Hakim adalah individu yang dalam menjalankan jabatan dan kewenangan secara bebas dan tidak terikat, adapun bebas dan tidak terikat yang dimaksud disini adalah bebas dalam artian merdeka dari pengaruh kekuasaan internal maupun kekuasaan eksternal. Kebebasan hakim sendiri diatur di dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara konstitusional disebutkan bahwa :
Ketentuan Pasal ini kemudian dituangkan kembali dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mana menyatakan bahwa :
ADVERTISEMENT
Hal menarik dan perlu untuk disampaikan bahwa seorang Hakim memang memiliki suatu kebebasan, namun kebebasannya itu bukanlah kebebasan yang tanpa batas (mutlak) melainkan sebuah kebebasan yang terbatas. Lantas apa yang dapat membatasi kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara?.
Sebagaimana yang telah disebutkan dan diuraikan sebelumnya bahwa SEMA bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan (regeling), kenapa bisa demikian?
ADVERTISEMENT
Menurut sudut pandang penulis, adanya eksistensi dari SEMA No. 2 Tahun 2023 tersebut, kebebasan Hakim tidak menjadi terbelenggu atau terbatasi karena pada dasarnya Hakim adalah pribadi yang bebas dan imparsial dari kekuasaan internal (kekuasaan yudikatif) ditubuh MA itu sendiri ataupun dari pihak eksternal (kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif). Namun demikian, yang perlu menjadi catatan bahwa dalam melaksanakan kebebasannya itu, Hakim haruslah menjalankannya secara bertanggungjawab.
Setiap putusan yang dibuat haruslah dapat dipertanggungjawabkan melalui kontruksi argumentasi hukum yang jelas dan berdasar pada pertimbangan hukum dalam putusan Hakim yang dibuat. Hal ini tentunya agar putusan tersebut tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat pencari keadilan (Justitiabelen) tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.