Konten dari Pengguna

Sumbu Filosofi Yogyakarta Sebagai Warisan Budaya Dunia

Herdien Hari Meidianti
Mahasiswa S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada
12 Desember 2023 18:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Herdien Hari Meidianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumbu Filosofi Yogyakarta (Gambar diambil dari laman resmi Pemda DIY).
zoom-in-whitePerbesar
Sumbu Filosofi Yogyakarta (Gambar diambil dari laman resmi Pemda DIY).
ADVERTISEMENT
Penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia telah dilakukan pada Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia di Riyadh, Arab Saudi. Perlu diketahui, Sumbu Filosofi Yogyakarta menjadi keenam warisan budaya dunia di Indonesia yang diakui UNESCO. Sumbu Filosofi Yogyakarta memiliki nilai universal dan budaya. Hal tersebut tertuang pada konsepsi dasar pembangunan Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Konsepsi tersebut berbunyi Hamemayu Hayuning Bawono membuat alam menjadi indah, selamat, dan lestari. Berdasarkan The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historical Landmarks yang diterbitkan pada laman UNESCO, terdapat nilai-nilai yang terkandung hingga menyebar dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Keaslian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta juga dapat dilihat dari bentuk bangunan. Meskipun ada beberapa bangunan yang dibangun ulang atau dibenahi. Hal tersebut akibat dari gempa bumi tahun 1867 dan 2006 yang menimpa Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam benak khalayak umum terdapat tiga lokasi yang berada dalam satu garis lurus dan menjadi khas dari Sumbu Filosofi Yogyakarta. Ketiga lokasi tersebut adalah Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Namun hal tersebut terdapat sedikit kesalahpahaman. Sebenarnya ketiga lokasi berada pada satu sumbu imajiner, bukan persis terletak di satu garis lurus yang sama. Sedangkan, jalan yang menghubungkan Tugu Golong Gilig, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak adalah sumbu nyata dalam satu garis lurus. Terdapat nilai makna yang mendalam dalam sumbu nyata tersebut, Sangkan Paraning Dumadi. Panggung Krapyak menuju Keraton Yogyakarta memuat makna asal (sangkan) dan proses pendewasaan manusia. Panggung Krapyak tersebut sebagai makna kelahiran atau rahim. Terdapat kampung dan pepohonan di sekitarnya yang mendukung nilai tersebut. Adanya Kampung Mijen yang berarti benih. Pohon asam dan tanjung yang melambangkan pemuda. Kemudian, terdapat Alun-Alun Selatan yang di dalamnya ditanami pohon pakel dan kweni. Keduanya bermakna pemuda yang sudah dewasa dan berani meminang perempuan. Nilai kehidupan tidak berhenti sampai di situ. Bangunan dan pohon yang ada di lingkungan dan jalanan menuju Keraton juga memiliki makna terkait dengan nilai sangkan.
ADVERTISEMENT
Gambar diambil dari laman Keraton Yogyakarta
Lalu, Tugu Golong Gilig ke Keraton Yogyakarta berarti perjalanan manusia menuju (paran) penciptanya. Tugu tersebut memuat makna golonging cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik atau bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta. Tugu ini diapit dua desa yang mendukung makna kehadiran tugu tersebut, Desa Pingit (menyimpan) berada di sebelah barat dan Desa Gondolayu (bau mayat) berada di sebelah timur. Kedua arti dan desa tersebut dapat dikatakan bahwa manusia saat akan menuju perjalanan menuju Sang Pencipta perlu meninggalkan hal-hal buruk. Setelah dari Tugu Golong Gilig dapat ditemukan sebuah jalan bernama Jalan Margatama yang berarti menuju keutamaan. Berikutnya, terdapat jalan khas Kota Yogyakarta, Jalan Malioboro, berarti ajaran para wali. Tak hanya itu, terdapat Jalan Margamulya lalu dilanjutkan Jalan Pangarukan. Kedua jalan tersebut bermakna manusia harus mengusir nafsu buruk untuk menuju kemuliaan. Sama seperti Panggung Krapyak ke Keraton Yogyakarta akan melalui Alun-Alun Selatan. Namun, apabila dari Tugu Golong Gilig akan melalui Alun-Alun Utara yang memiliki makna gelombang kehidupan sebelum ke Sang Pencipta. Makna tersebut bukan berwujud pada pohon, tetapi bentuk pasir yang mengelilingi Alun-Alun Utara. Nilai dari paran tidak hanya berhenti di sini, masih berlanjut hingga area Keraton. Penanda akhirnya yaitu ada pada beberapa pohon di halaman Kedhaton (bagian area Keraton Yogyakarta).
ADVERTISEMENT
Sumbu Filosofi Yogyakarta bukti nyata dari peradaban kehidupan Jawa setelah abad ke-16. Bahkan, hingga kini pun mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat sekitar. Mulai dari festival, adat, dan kebudayaan yang berkembang. Dapat dikatakan, sumbu ini bukanlah sekadar garis imajiner warisan budaya dunia. Akan tetapi nilai budaya dalam kehidupan yang seharusnya dilestarikan dan diperhatikan lebih dalam.