Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Republik Investasi
23 Oktober 2023 9:37 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Herdiansyah Hamzah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah korban proyek strategis nasional membentang dari Desa Wadas Jawa Tengah, Poco Leok Nusa Tenggara Timur, hingga Air Bangis di Sumatera Barat, kini tragedi Pulau Rempang kian memperlihatkan bagaimana wajah negara yang sesungguhnya. Wajah yang garang terhadap rakyatnya sendiri, namun sebaliknya justru ramah bagi para investor.
ADVERTISEMENT
Konon, proyek yang disebut sebagai Rempang Eco City ini menelan nilai investasi mencapai Rp 381 triliun dan ditargetkan menyerap lebih dari 300.000 tenaga kerja. Namun warga Pulau Rempang, menolak rencana tersebut.
Bagi warga, proyek “prestisius” ini dianggap mengancam ruang hidup mereka. Tempat mereka bermukim secara turun temurun selama ratusan tahun. Warga Pulang Rempang tidak hanya terancam kehilangan tanah dan lahannya, namun juga penghidupannya, serta masa depan anak cucu mereka.
Namun Negara bergeming. Bahkan Presiden Jokowi sendiri seolah menyepelekan persoalan Pulau Rempang dengan mengatakan ini semata-mata akibat buruknya komunikasi. Padahal ini soal yang substansial. Soal bagaimana hak-hak dasar rakyat Pulau Rempang terhadap tanah yang mereka pijak.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD bahkan menyebut bahwa lahan yang ditempat warga adalah lahan yang tidak tergarap . Padahal warga telah mendiami pulau tersebut secara turun temurun. Lebih parahnya lagi, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, menuding jika warga yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat . Apakah karena ketidaan sertifikat bermakna negara bebas megambil alih tanah-tanah rakyat untuk diobral kepada entitas bisnis? Cara pandang seperti ini jelas sangat berbahaya. Mengingatkan kita dengan doktrin “domein verklaring” yang notabene warisan kolonial. Suatu doktrin politik hukum yang beranggapan bahwa tanah yang tidak dilekati hak milik secara perseorangan, sepenuhnya akan diklaim sebagai “hak milik negara”.
ADVERTISEMENT
Pro Investasi
Sikap negara yang cenderung pro investasi dibanding rakyatnya sendiri, bukanlah hal yang mengherankan. Jika kita melihat genealogi politiknya, baik bagi para penghuni senayan maupun orang-orang disekeliling kekuasaan, mereka memiliki “gen pebisnis”. Menurut data Maripus Corner , 55 persen atau sebanyak 318 orang anggota DPR periode 2019-2024 adalah pebisnis. Artinya, sekitar 5-6 dari 10 orang anggota DPR adalah seorang pebisnis . Dari angka tersebut, mayoritas diataranya merupakan pemilik perusahaan, sisanya menjabat sebagai direktur, wakil direktur, hingga komisaris . Lebih menariknya lagi, aktivitas bisnis yang berafiliasi dengan anggota DPR didominasi oleh sektor energi dan migas, disusul teknologi, manufaktur, kontraktor, hingga perkebunan . Ini belum termasuk para pengusaha yang berada dikabinet Presiden Jokowi, sebut saja Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi/Kepala BKPM), Sakti Wahyu Trenggono (Menteri Kelautan dan Perikanan), Airlanggan Hartarto (Menko Perekonomian), Erick Thohir (Menteri BUMN), Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Eknonomi Kreatif), hingga Nadiem Makariem (Menteri Pendidikan). Jadi jika kebijakan negara cenderung pro investasi, itu bukan hal aneh.
ADVERTISEMENT
Keberpihakan negara terhadap investasi dibanding rakyatnya sendiri, makin terlihat jelas dalam berbagai pernyataan-pernyataan para elit politik disekeliling kekuasaan. Presiden Jokowi misalnya pernah menyampaikan akan mencopot Kapolda dan Kapolres yang tak bisa mengawal agenda pemerintah, khususnya dalam menjaga iklim investasi di Indonesia . Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menegaskan akan mem-buldozer oknum yang menghambat investasi di Indonesia. Luhut memperingatkan semua pihak untuk tidak mempersulit investasi yang masuk ke Indonesia. “Saya terus terang, saya nggak rela kalau ada yang mempersulit. Dengan segala kemampuan yang ada, saya pasti bulldozer”, ujar Luhut . Pernyataan-pernyataan ini pada akhirnya menjelaskan mengapa aparat gabungan, baik kepolisian, TNI, maupun Satpol PP di daerah, cenderung bertindak di luar batas kemanusiaan terhadap warganya sendiri. Semua demi kepentingan investasi!! Bahkan Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono, dalam sebuah tayangan yang viral, memerintahkan anggotanya untuk mengatasi kerusuhan di Pulau Rempang dengan cara memiting rakyat yang mencoba melawan .
ADVERTISEMENT
Amnesia Konstitusi
Negara tidak boleh “amnesia” dengan mandat konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memerintahkan agar penguasaan negara terhadap sumber daya alam (SDA) dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk para investor, apalagi asing. Menurut Bagir Manan, kaidah “hak menguasai negara” dan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam ketentuan Pasal a quo, tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya merupakan satu kesatuan sistemik. “Hak menguasai negara” merupakan instrument (bersifat instrumental), sedangkan “dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”, merupakan tujuan (objectives) . Oleh karena itu, keterkaitan antara kedua kaidah tersebut, menimbulkan kewajiban negara atas tiga hal yakni : Pertama, segala bentuk pemanfaatan SDA, harus secara nyata dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kedua, melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam SDA tersebut, dapat dihasilkan secara langsung dan dinikmati langsung oleh rakyat. Dan Ketiga, mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan askes terhadap SDA .
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Mahkamah Konsitusi dalam putusan perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut MK, terdapat 4 (empat) unsur yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menguji makna penguasaan negara, yakni : Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Dan Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam . Oleh karena itu, negara tidak boleh mengabaikan hak rakyat secara turun temurun hanya demi menggelar karpet merah bagi investasi. Negara harus berdiri tegak membela kepentingan rakyat-nya, bukan justru menjadi pelayan bagi para investor. Meminjam istilah Notonagoro dan Iman Soetiknjo , dalam relasi antara negara, tanah, dan SDA lainnya, negara harus menjadi personifikasi rakyat seluruhnya. Sebab Negara tidak bisa dipisahkan dari rakyatnya. Dan jika negara menjauh, bahkan memisahkan diri dari kepentingan rakyat-nya hanya untuk kepentingan para investor, artinya negara telah berkhianat terhadap konstitusi sekaligus terhadap rakyat-nya sendiri!
ADVERTISEMENT