Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa ILC TV One Harus Dibuat Mati Suri?
6 Mei 2019 16:58 WIB
Diperbarui 15 Desember 2020 19:07 WIB
Tulisan dari Hersubeno arief Konsultan Media dan Politik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Hersubeno Arief
6 Mei 2019
Whoever controls the media, controls the mind
ADVERTISEMENT
—Jim Morisson—
Naga-naganya rezim pemerintahan Jokowi akan menempuh kembali jalan lama. Jalan gelap yang menjadi catatan kelam dalam sejarah media di Indonesia: Pembredelan!
Sebuah langkah yang diambil para pemimpin tiran dimanapun di seluruh dunia, untuk membungkam kelompok oposisi.
“Media mana yang nyata-nyata membantu pelanggaran hukum, kalau perlu kami shutdown, kami hentikan. Kami tutup demi keamanan nasional,” kata Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Jakarta Senin (6/4).
Wiranto menyampaikan hal itu dalam rapat koordinasi terbatas terkait kondisi setelah Pemilihan Umum atau Pemilu 2019. Rapat digelar untuk menyikapi adanya pelanggaran hukum selama dan sesudah pemilu.
Pernyataan Wiranto adalah statemen resmi pertama seorang pejabat tinggi negara, tentang kemungkinan dilakukan langkah keras pemberangusan media.
ADVERTISEMENT
Langkah yang akan diambil Wiranto ini cukup mengejutkan. Mengingat sebelumnya dengan penuh percaya diri Presiden Jokowi mengaku pemerintah bisa mengontrol dan mengendalikan media massa.
“Kita bisa kendalikan media mainstream, media sosial tidak bisa dikendalikan,” kata Jokowi saat kunjungan kerja di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (8/10/2017).
Jokowi benar, media massa arus utama sejauh ini nyaris bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Pemilik kerajaan media —merangkap pemilik partai politik—sebagian besar berada di barisan pendukungnya.
Mereka yang masih coba-coba menentang, berhasil ditundukkan melalui berbagai cara. Mulai dari kasus pidana, masalah pajak, maupun tekanan hukum lainnya.
Pemerintah tampaknya meniru gaya yang pernah diterapkan Presiden George W Bush Jr “you’re either with us, or against us.” Kalian bersama kami. Atau melawan kami.
ADVERTISEMENT
Tidak perlu kaget ketika media massa tidak pernah kritis dan selalu membebek, apapun yang dikatakan pemerintah. Sebaliknya memelintir, mem-framing, dan kalau perlu tidak menayangkan (black out) berita dan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok oposisi.
Sangat sulit kita menemukan berita-berita tentang kecurangan pilpres, atau berita perlawanan rakyat. Berita semacam itu hanya bisa kita temukan bertebaran di media sosial.
Kasus perlawanan warga Limus Pratama, Cileungsi, Bogor yang mempertahankan baliho ucapan terima kasih kepada para pendukung Prabowo-Sandi, tidak muncul di media mainstream.
Dari sisi nilai berita, peristiwa itu sangat kuat. Memenuhi semua unsur kelayakan berita. Ada heroisme, unik, aktual, dan sisi human interest-nya sangat kuat. Tapi siapa yang peduli?
Ketika Relawan IT Prabowo-Sandi melaporkan temuan mereka ke Bawaslu, ada 73.000 lebih kesalahan entry data Situng KPU, hanya beberapa media yang melaporkan. Padahal puluhan wartawan media cetak, online, dan televisi meliput peristiwa tersebut.
ADVERTISEMENT
Fenomena wartawan muntaber (muncul tanpa berita) belakangan ini sangat banyak ditemukan. Bukan mereka enggan membuat berita. Tapi mereka memahami ada kebijakan redaksi untuk tidak memuat berita sejenis itu. Mungkin ada wartawan yang tetap melaporkan beritanya, tapi redaksi memutuskan tidak memuatnya.
Contoh terbaru adalah kegiatan Ijtima Ulama 3 di Hotel Lor In, Sentul, Bogor Selasa (2/5). Tidak banyak media menayangkannya. Mobil satelit (SNG) TV One sudah bersiap melakukan siaran langsung, tiba-tiba harus dibongkar dari lokasi.
Ada kekuatan besar yang menekan para pemilik media agar tidak memberitakan apapun yang bersumber dari oposisi, dan merugikan penguasa.
Para pemilik media tidak punya pilihan lain, selain menekan awak redaksi. Semua itu menyangkut kelangsungan bisnis media, maupun kepentingan bisnis mereka yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
TV One jadi sasaran utama
Sesuai dengan slogannya, TV One sering tampil sedikit berbeda. Sebagai televisi berita, mereka tetap mencoba menyelam di antara dua karang.
Ketika sejumlah media memutuskan mem-black out Reuni Akbar Alumni 212 (2/12/2018), stasiun TV milik keluarga Bakrie ini malah membuat siaran langsung. Begitu juga beberapa Aksi Bela Islam sebelumnya.
Melalui talkshow Indonesia Lawyers Club, TV One juga sering menampilkan tokoh-tokoh yang sangat kritis terhadap pemerintah. Sebutlah sejumlah nama seperti Said Didu, Haikal Hasan, Fahri Hamzah, dan tentu saja sang ikon akal sehat Rocky Gerung. Mereka secara rutin tampil di ILC.
Pilihan sikap redaksi TV One ini membuat mereka diposisikan berada dalam kelompok oposisi. Berhadapan dengan penguasa. Padahal sesungguhnya bila mengikuti pakem media yang tidak memihak (imparsial) meliput kedua belah pihak secara seimbang (cover both side), TV One sudah berada di jalur yang benar.
ADVERTISEMENT
Di luar para tokoh oposisi, sejumlah tokoh pendukung pemerintah seperti Akbar Faizal, Ali Mochtar Ngabalin, Adian Napitulu, Irma Suryani, dan Budiman Sujatmiko selalu mendapat porsi yang sama besarnya.
Mereka juga tak kalah cerdasnya. Bedanya karena mendukung rezim, mereka harus sering kehilangan, atau menghilangkan akal sehatnya. Sehingga mereka sering tampak kedodoran dalam adu argumentasi.
Jadilah terkesan ILC sering menjadi ajang pembantaian pendukung pemerintah.
Sebagai program talkshow, ILC sangat populer. Jumlah penontonnya (share audience) sangat tinggi. Dalam beberapa episode, jumlah pemirsanya bisa mengimbangi sinetron kejar tayang di sejumlah stasiun televisi hiburan.
Popularitas dan jumlah penonton yang sangat besar, pilihan topik yang sensitif, membuat program ini menjadi momok dan mimpi buruk pemerintah.
Dengan jangkauan pemirsa yang sangat luas, televisi menjadi media yang harus sepenuhnya dikontrol pemerintah. Seperti dikatakan Jim Morrison vokalis group band legendaris The Doors, siapa yang mengontrol media, akan mengontrol pikiran publik.
ADVERTISEMENT
Melalui siaran televisi, Jokowi bisa tetap mempertahankan loyalitas pendukungnya, terutama di kawasan pedesaan. Berbeda dengan penduduk di perkotaan yang terpaan medsosnya sangat besar.
Beberapa kali ILC menjadi korban tarik ulur antara pemerintah dengan pemilik TV One. Selama hiruk pikuk Aksi Bela Islam (ABI) dan Pilkada DKI 2017, ILC beberapa kali tidak tayang.
Cuti panjang ILC kali ini adalah puncak tawar menawar dan kompromi politik antara pemerintah, pemilik, dan Karni Ilyas sebagai pembawa acara sekaligus Pemimpin Redaksi TV One.
Di tengah meluasnya pengungkapan kecurangan pilpres, tak ada pilihan lain bagi keluarga Bakrie dan Karni Ilyas selain mengistirahatkan ILC.
Semoga benar seperti dikatakan Karni, ini cuti panjang, tapi bukan mati suri.
ADVERTISEMENT
https://www.hersubenoarief.com/artikel/mengapa-ilc-tv-one-harus-dibuat-mati-suri/