Konten dari Pengguna

Convention on Biological Diversity dalam Perspektif Teori Rezim Internasional

Heyna Jekaisa
Mahasiswa Magister Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
19 Juni 2024 15:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heyna Jekaisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
The United Nations Summit on Biodiversity. Sumber: UN Photo/Manuel Elias
zoom-in-whitePerbesar
The United Nations Summit on Biodiversity. Sumber: UN Photo/Manuel Elias
ADVERTISEMENT
Keanekaragaman hayati adalah aset global yang sangat berharga bagi kehidupan manusia di generasi sekarang maupun di masa depan. Namun, seiring dengan bertambahnya populasi manusia di muka bumi maka kehidupan keanekaragaman hayati juga semakin terancam.
ADVERTISEMENT
Kepunahan spesies-spesies di muka bumi semakin terancam akibat aktivitas manusia yang semakin meningkat. Kondisi yang semakin buruk di setiap harinya membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Convention on Biological Diversity (CBD) sebagai respons terhadap keadaan keanekaragaman hayati yang semakin terancam.
CBD merupakan perjanjian multilateral di bawah PBB yang bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati, mendorong upaya pemanfaatan komponen-komponen secara berkelanjutan, dan memastikan pembagian keuntungan secara adil dan merata dari sumber daya genetik (Convention on Biological Diversity, n.d.).
CBD dapat dipahami melalui teori rezim internasional dengan pendekatan knowledge based karena CBD ini dibentuk atas pengetahuan terkait kondisi keanekaragaman hayati yang secara ilmiah semakin terancam kehidupannya. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba menjelaskan bagaimana pendekatan knowledge-based approach dalam memahami CBD.
ADVERTISEMENT
CBD diresmikan pada KTT Earth Summit Rio tahun 1992 dan telah diratifikasi oleh hampir 200 negara. Sebelum diresmikan pada tahun 1992, pada tahun 80-an para ilmuwan dan aktivis dunia telah memberikan peringatan akan adanya krisis keanekaragaman hayati (Castro & Ollivier, 2020).
Beberapa peneliti dan ahli lingkungan seperti Thomas van Goethem dan Jan Luiten van Zanden yang berasal dari Utrecht University memberikan data bahwa secara global, populasi spesies telah menurun sebesar 44% sejak tahun 1970 (Goethem & Zanden, 2014).
Berbagai indikator yang mencakup jangka waktu panjang menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati telah menurun selama masa Holosen, dan tren ini semakin meningkat sejak tahun 1900 (Goethem & Zanden, 2014). Setelah melihat urgensi dari data-data yang disampaikan oleh para peneliti, barulah United Nations Environment Programme (UNEP) membentuk kelompok kerja ahli teknis yang terdiri dari para ilmuwan dan ahli teknis dalam hukum ad hoc untuk mempersiapkan instrumen hukum internasional.
ADVERTISEMENT
CBD memiliki badan yang dipercaya untuk mengawasi implementasi konvensi yaitu Conference of Parties (COP). Melalui COP ini, negara-negara yang meratifikasi didorong untuk menerapkan pedoman yang ada. Negara juga memiliki kewajiban untuk mengidentifikasi komponen biologis keanekaragaman hayati yang ada di negara nya (Antonio & Izaguirre, 2008).
Pembentukan CBD dapat dilihat melalui Teori Rezim Internasional. Menurut Krasner, rezim internasional adalah seperangkat prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan implisit atau eksplisit yang menjadi landasan bagi para aktor dalam bidang hubungan internasional tertentu (Hasenclever et al., 1997). CBD dapat dikategorikan sebagai sebuah rezim internasional karena jika melihat dari definisi rezim internasional, CBD memiliki seperangkat prinsip terkait keanekaragaman hayati dan memiliki aturan bagi negara-negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah disampaikan di atas salah satu contohnya yaitu negara memiliki kewajiban untuk mengidentifikasi komponen biologi keanekaragaman hayati yang ada di negaranya. Norma dan aturan yang ada di dalam rezim CBD menjadi panduan bagi para negara-negara anggota untuk memastikan bahwa rezim tersebut selaras dengan tujuan dan keyakinan bersama yang ditetapkan dalam prinsip-prinsip yang diikuti.
Dengan mengikuti norma-norma yang ada di dalam rezim CBD, maka para negara-negara anggota rezim CBD dapat mencapai hasil kolektif yang diinginkan bersama yaitu melestarikan keanekaragaman hayati, mendorong upaya pemanfaatan komponen-komponen secara berkelanjutan, dan memastikan pembagian keuntungan secara adil dan merata dari sumber daya genetik.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan bagaimana jika dilihat menggunakan pendekatan knowledge based. Perlu kita pahami terlebih dahulu apa itu pendekatan knowledge based. Knowledge-based approach adalah pendekatan dalam rezim internasional yang menekankan pada kognitivisme.
ADVERTISEMENT
Para ahli kognitif berpendapat bahwa proses yang menghasilkan identitas dan kepentingan nasional dibentuk oleh kepercayaan normatif dan kausal yang dipegang oleh pembuat keputusan dan perubahan dalam sistem keyakinan dapat memicu perubahan dalam kebijakan (Hasenclever et al., 1997). CBD berangkat dari adanya pengetahuan terkait adanya ancaman atau krisis terhadap keanekaragaman hayati. Ada pemikiran atau kognitif yang muncul sehingga terbentuklah CBD.
Dalam pendekatan berbasis pengetahuan terdapat dua sudut pandang dalam menganalisis rezim internasional yaitu kognitif lemah dan kognitif kuat. Penulis akan menggunakan kognitif lemah yang memiliki argumentasi bahwa tuntutan akan rezim dalam hubungan internasional bergantung pada persepsi aktor terhadap permasalahan internasional yang berdasar pada keyakinan kausal dan normatif aktor. Kognitif lemah berfokus pada bentuk-bentuk alasan yang berlaku di mana para aktor mengidentifikasi preferensi mereka berdasarkan pengetahuan atas pilihan yang tersedia.
ADVERTISEMENT
Kognitif lemah memiliki asumsi bahwa: 1) antara struktur internasional dan kemauan manusia terletak interpretasi, 2) aktor negara tidak lagi mengejar kekuasaan tetapi juga "pengurangan ketidakpastian" yang membutuhkan informasi dari para ahli, dan 3) pentingnya makna yang dibagi secara subjektif untuk pembentukan rezim dan kinerja rezim (Hasenclever et al., 1997). Kognitif lemah juga menekankan pada peran komunitas epistemik yang mendukung para aktor untuk memproduksi pengetahuan dan pengetahuan apa yang ingin diberikan.
Pada rezim CBD, meskipun hanya menyebutkan “para peneliti” dan tidak ada secara spesifik menyebutkan organisasi atau komunitas namun tetap saja ini adalah peran dari komunitas epistemik yang memproduksi pengetahuan, yang memberikan peringatan terkait krisis keanekaragaman hayati. Lalu pengetahuan tersebut diproses oleh UNEP dan membuka kesempatan bagi para negara-negara untuk bergabung dalam rezim CBD atas dasar pengetahuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari pengetahuan akan krisis keanekaragaman hayati itu lah negara-negara menentukan preferensi mereka untuk meraih kepentingan masing-masing. Ada pengetahuan yang proses oleh UNEP. Dari rezim CBD ini juga lah dapat terlihat bagaimana negara tidak lagi semata-mata hanya mengejar kekuasaan, namun mengejar bagaimana perlu adanya “pengurangan ketidakpastian” akan nasib masa depan kehidupan di bumi.
Bergabungnya negara-negara dalam rezim CBD juga tidak lepas dari keyakinan kausal dan normatif para aktor. Salah satu contoh yang bisa dilihat yaitu Jamaika sebagai negara yang pertama kali meratifikasi rezim CBD, Jamaica negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, dan melalui itu maka Jamaica memiliki keyakinan kausal dan normatif bergabung dalam CBD.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa CBD adalah rezim yang dibentuk berdasarkan pengetahuan. Adanya peran para peneliti sebagai komunitas epistemik dalam memberikan pengetahuan terkait krisis keanekaragaman hayati, membantu UNEP untuk memproses pengetahuan tersebut dan membentuknya sebagai rezim. Negara-negara yang bergabung dalam rezim CBD memiliki keyakinan yang sama bahwa perlu ada langkah untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati dan dari hal itu lah kemudian negara-negara membentuk kepentingan masing-masing.
ADVERTISEMENT