Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Stigma Penampilan di Dunia Pendidikan
13 Desember 2021 22:01 WIB
Tulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sewaktu masih mahasiswa, saya pernah mengikuti progam magang III di sekolah dasar. Kalau istilah zaman dulunya PPL, atau Praktik Pengalaman Lapangan. Praktik mengajar saya lalui dengan rasa campur aduk, antara cemas dan bahagia. Cemas karena baru pertama kali mengajar di hadapan siswa, ditambah diawasi oleh guru pamong dan dosen penguji.
ADVERTISEMENT
Bahagia karena bisa mengajar secara lepas, dan improvisasi yang saya lakukan sekiranya berhasil. Tak henti-hentinya anak-anak ikut tertawa, karena terbawa suasana. Beberapa kali guru pamong dan dosen penguji tampak menahan tawa, hingga menyisakan senyum tipis mereka. Saya berpikir, mungkin beliau berdua harus tetap terlihat berwibawa.
Usai praktik, lembar penilaian dari beliau berdua saya terima. Guru pamong tersenyum hangat sembari mengatakan, “Keren, Mas!”. Karena dosen penguji terburu-buru, saya tak sempat mengobrol banyak dengan beliau. Nilai dari dosen menunjukkan kriteria baik. Mungkin karena belum terbiasa saja, dan jam terbang yang masih terbatas, membuat cara mengajar saya tak luput dari kekeliruan.
Pandangan saya kemudian tertuju lembar penilaian dosen, “Lengan kemeja dilipat”. Pernyataan tersebut secara eksplisit dimaksudkan jika seorang guru yang memakai kemeja lengan panjang, tak boleh melipat lengan bajunya. Guru pamong yang menyadari rasa keheranan saya kemudian berujar, “Tak apa, Mas. Untuk pembelajaran saja ke depan. Untuk saya, tidak masalah kok”. Sontak dalam hati saya bertanya, “Loh, yang benar yang mana?”.
ADVERTISEMENT
Pada peristiwa lain, ketika saya hendak meminta tanda tangan pengesahan skripsi untuk mendaftar sidang, dosen PPL saya lewat, sambil tersenyum beliau berkata kepada dosen pembimbing, “Kalau jadi saya, tak akan mau tanda tangan sebelum mahasiswa bimbingan saya mau potong rambut. Mau sidang kok rambutnya gondrong”. Perlu pembaca ketahui, saat itu rambut saya memang menutupi bagian atas telinga, namun panjangnya tak sampai pundak. Paling-paling hanya sampai setengah leher. Karena sudah telanjur demikian, pun dosen pembimbing saya juga ikut tak enak hati, esok paginya saya memutuskan untuk memangkasnya.
Kelulusan sarjana telah lewat. Sekarang waktu saya untuk menjadi guru di salah satu sekolah dasar swasta di Semarang. Lagi-lagi rasa heran muncul. Justru di sekolah tersebut, seorang guru dituntut untuk berpenampilan rapi, namun tetap fashionable. Banyak guru yang memakai jas, blazer, sweater rompi, dan kemeja yang nyentrik ala anak muda masa kini. Memang dalam seminggu ada beberapa seragam guru yang harus dikenakan dari yayasan seperti batik. Tetapi di luar hari seragam yang telah ditentukan, guru diminta berpenampilan semenarik mungkin, asal masih dalam koridor “sopan” dan “etis” layaknya guru.
ADVERTISEMENT
Dan tak jarang teman-teman guru lain melipat lengan bajunya, entah sebagai fashion atau memang sedang gerah saja. Untuk menuntaskan rasa penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk bertanya kepada kepala sekolah, alasan di balik fenomena tersebut. Kepala sekolah menjawab dengan tegas, “Guru adalah role models bagi siswa. Artinya seorang guru juga tak hanya mengajar, tapi menjadi panutan siswa. Perihal tampilan yang menarik, sebenarnya bertujuan untuk membuat siswa merasa nyaman saat melihat gurunya. Dan pakaian yang fashionable mampu menarik perhatian siswa saat gurunya mengajar”.
Beberapa tahun selanjutnya, rutinitas mengajar tiba-tiba terusik oleh covid-19 yang mewabah. Kesibukan guru, orang tua, dan siswa pun semakin bertambah. Khususnya bagi guru, harus memutar otak untuk tetap menyampaikan ilmu di tengah keterbatasan pandemi. Keniscayaan teknologi akhirnya diakui.
ADVERTISEMENT
Berbagai platform digital menjadi pilihan untuk belajar. Dalam riuh kesibukan itu, saya tak menyadari jika rambut saya telah memanjang hingga separuh leher. Teguran memang tak pernah ada. Namun nasihat untuk memangkasnya kembali datang, meski dengan ujaran perlahan.
Rambut saya lagi-lagi harus menemui nasibnya: dipotong. Hari-hari selanjutnya, saya mendapati beberapa teman dan siswa menertawakan. Mereka mempertanyakan alasan pemotongan rambut. Tak bisa berdalih, saya menjawab singkat, “Dunia Pendidikan yang meminta”. Siswa-siswa memberikan pertanyaan yang mengagetkan, “Padahal cocok loh dengan gaya bapak. Kenapa harus dipotong?”.
Pertanyaan teman dan siswa yang hampir serupa, kembali mengingatkan cerita yang pernah disampaikan oleh dosen linguistik semasa kuliah. Ia bercerita, di sebuah desa terpencil (ia tak ingin menyebutkan nama), dengan jumlah siswanya tak terlalu banyak. Di sekolah tersebut terdapat guru laki-laki berambut gondrong sepunggung. Bertahun-tahun tak ada yang memprotesnya. Hingga suatu ketika terjadilah pergantian kepala sekolah. Guru gondrong tersebut dipanggil kepala sekolah dan diminta untuk memangkas rambutnya.
ADVERTISEMENT
Kepala sekolah khawatir, jika para siswa akan menirunya. Keesokan paginya, guru tersebut tampil dengan gaya rambut baru. Belum sempat membuka pelajaran, para siswa kompak tertawa. Sang guru yang heran atas reaksi itu kemudian menceritakan alasannya memotong rambut. “Nanti Pak Guru dikira memberikan contoh buruk pada kalian”. Para siswa bersahutan menjawab, “Itu kan Pak Guru. Belum tentu kami cocok dengan gaya rambut gondrong semacam itu. Lagipula, tak semua anak laki-laki suka dengan rambut gondrong. Sekarang zamannya rambut seperti artis-artis Korea, Pak”.
Persoalan rambut gondrong memang terkesan pelik dan rumit, khususnya di dunia pendidikan. Dalam buku sejarah yang ditulis oleh Aria Wiratma Yudhistira (2020) yang berjudul “Dilarang Gondrong” menceritakan, dalam perjalanannya rambut gondrong dipengaruhi oleh unsur-unsur politis. Dari masuknya budaya Hippies yang berasal dari negara-negara barat, hingga identitas kaum kiri yang katanya gemar berambut gondrong. Fenomena tersebut memunculkan kekhawatiran pemerintahan orde baru.
ADVERTISEMENT
Awal tahun 1970, dimulainya kebijakan penertiban orang berambut gondrong oleh Pangkopkamtib di perempatan jalan raya. Seluruh aparat digerakkan untuk ikut merazia anak-anak muda yang berambut gondrong. Bahkan Soemitro yang saat itu menjabat sebagai Pangkopkamtib mengatakan, jika orang yang berambut gondrong akan bersifat acuh tak acuh akan masa depan. Berbagai media cetak dan visual ikut memberitakan stereotip negatif orang yang berambut gondrong.
Opini publik digiring menuju pemahaman bahwa rambut gondrong terkesan nakal dan urakan. Bahkan koran-koran berulangkali memberitakan pelaku kriminal yang berambut gondrong. Gelombang protes akhirnya meledak. Para mahasiswa tak terima dengan pemerintahan orde baru yang telah mencampuri urusan hak privasi warganya, apalagi ditambah dengan tuduhan-tuduhan yang bersifat subjektif.
Akhirnya pada tahun 1973, Soemitro mulai menemui mahasiswa di berbagai universitas di Jawa untuk meredam gelombang protes tersebut. Kepada mahasiswa di Surabaya, Soemitro mengatakan alasan menolak rambut gondrong karena menganggap rambut gondrong kurang sedap dipandang. Meski di sisi lain, beliau mengakui jika anaknya sendiri berambut gondrong. Namun selaku orang tua, beliau berupaya selalu mengajak khalayak merenungkan tentang rambut gondrong.
ADVERTISEMENT
Doktrin yang masuk ke berbagai elemen masyarakat selama bertahun-tahun di zaman orde baru, akhirnya membuahkan budaya massa baru, yaitu orang yang berambut gondrong dianggap tabu. Bahkan diberikan identitas “nakal dan acuh tak acuh dengan masa depan”.
Pasca reformasi, stigma tersebut masih melekat di masyarakat. Khalayak akan memandang aneh orang yang berambut gondrong. Hingga sekarang saya belum mendapatkan jawaban filosofis dan urgensi, terkait alasan pelarangan rambut gondrong di dunia pendidikan. Pada kasus lain, seperti anak SMK/Teknik Mesin yang dilarang berambut gondrong memang wajar. Karena akan membahayakan keselamatan apabila sedang magang di pabrik, dikhawatirkan rambutnya akan tergulung mesin. Nah, kewajaran itu atas dasar keselamatan.
Lagi-lagi alasan pelarangan rambut gondrong di dunia pendidikan hanya bersifat “stigma”, yaitu cap anak nakal, tidak rapi, dan terkesan urakan. Padahal kata rapi dan gondrong sebenarnya bersifat subjektif. Ukurannya tak jelas. Dalih yang menghubungkan rambut gondrong dengan moral tentu saja tuduhan tak berdasar. Bagaimana bisa rambut gondrong mempresentasikan karakter seseorang? Apabila berbicara tentang esensi ilmu, yang terpenting adalah ilmu yang disampaikan oleh seorang guru, ataukah tampilan rambutnya? Toh budaya populer memperlihatkan jika banyak sekali influencer berambut gondrong. Padahal, anak-anak generasi Z, setiap harinya mengkonsumsi budaya pop, menonton para influencer atau vlogger di Youtube. Dari anak-anak sebagai konsumen medsos, berapa jumlah mereka yang terpengaruh dengan rambut gondrong?
ADVERTISEMENT
Mungkin kita perlu merenungkan kembali indikator dan ukuran dari konsep “rapi” . Agar tak seenaknya memvonis orang dengan cap nakal atau urakan, hanya melalui tampilan.
Don’t judge pople from the cover bukan?