Konten dari Pengguna

Konoha Telanjang di Pameran Yos Suprapto

Hidayat Adhiningrat
Karyawan swasta, senang bermain-main dan menulis
21 Desember 2024 19:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kolase karya Yos Suprapto yang tidak boleh dipamerkan di Galeri Nasional
zoom-in-whitePerbesar
Kolase karya Yos Suprapto yang tidak boleh dipamerkan di Galeri Nasional
ADVERTISEMENT
Dua sosok telanjang duduk berhadapan, salah satunya menggunakan mahkota raja. Di depan istana, mereka menyantap panganan mewah dalam ketelanjangan yang kasat mata. Di sisi kiri dan kanan barisan manusia marah membawa parang, menunjuk dan mengepalkan tangan. Amarah mereka tak sampai, suara mereka tak terdengar. Terhalang barisan manusia berkulit biru: manusia-manusia penjilat pantat sang raja.
ADVERTISEMENT
Begitulah gambaran lukisan “Konoha II” karya Yos Suprapto yang seharusnya dipamerkan di Galeri Nasional pertengahan bulan Desember ini. Namun pada akhirnya –sama seperti banyak orang karena pameran dibatalkan– saya hanya bisa melihatnya di media sosial melalui layar gawai. Dari penglihatan atas gambar yang berseliweran tersebut, saya kira “Konoha II” bisa dibilang sebagai karya self explanatory, karya yang mudah ditangkap makna dan nilai kritiknya.
Siapapun yang melihatnya, baik mereka yang tidak begitu punya concern terhadap karya seni lukis maupun mereka yang sudah terpapar lama, rasa-rasanya bisa dengan lugas menangkap pesan si seniman. Apa yang ingin disampaikan si seniman sama dengan apa yang diterima oleh audiens. Klop!
Hal ini juga terkonfirmasi dari pernyataan seniman di media massa yang bilang bahwa karyanya memang bercerita tentang masyarakat yang hancur lebur karena budaya hiper individu. Budaya ini, katanya, menghasilkan sikap mental budaya jilat pantat alias Asal Bapak Senang. "Dan itu saya gambarkan secara eksplisit, ya, figur-figur yang saling menjilat," katanya.
ADVERTISEMENT
Lukisan ini jadi salah satu “biang kerok” dibatalkannya pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional. Melalui keterangan pers, sang kurator, Suwarno Wisetrotomo, menjelaskan kenapa dia meminta lima lukisan Yos untuk diturunkan. Menurutnya, ada dua lukisan yang tak sesuai dengan tema acara sehingga perlu diturunkan.
"Menurut pendapat saya, dua karya tersebut ‘terdengar’ seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya," kata Suwarno.
Ada dua pertanyaan yang muncul dari pernyataan itu –setidaknya dalam benak saya. Pertama, jika sebuah karya kehilangan metafora dan dengan begitu menjadi karya yang “mudah ditangkap maknanya” apakah dia tidak layak untuk dipamerkan? Kedua, jika ada dua lukisan yang tak sesuai dengan tema acara sehingga perlu diturunkan, kenapa kurator justru meminta lima lukisan untuk diturunkan? Ada apa dengan tiga lukisan lainnya?
ADVERTISEMENT
"Saya menyadari bahwa kompleksitas persoalan ini tidak dapat dirangkum hanya dalam satu lembar pernyataan. Namun, saya berharap klarifikasi ini dapat membantu memberi gambaran yang lebih jelas tentang situasi yang terjadi," kata Suwarno dalam keterangannya.
Tidak, tidak jelas, Pak. Tolong, Bapak Kurator, jelaskanlah lebih lanjut.
Benarkah Sedang Berlangsung Proses Pembredelan?
Pembatalan Pameran Tunggal Yos Suprapto “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” menyisakan banyak pertanyaan. Beberapa pemberitaan menyebut pangkal pembatalan ini adalah perbedaan pendapat antara seniman dan kurator yang sudah terjadi sejak proses kurasi dimulai, yakni Oktober 2024 hingga hari H pameran, 19 Desember. Bahkan ada pula niatan mundur kurator dari pameran yang disampaikan langsung kepada seniman sejak 16 Desember.
Tapi proses terus berlanjut hingga sampai pada acara konferensi pers. Beberapa media menuliskan berita ini. Pada pemberitaan tersebut dikatakan bahwa lewat karya lukisannya, Yos Suprapto akan menampilkan kebolehannya mengolah figurasi realis yang berakar pada tradisi realisme sosial ala Diego Rivera dan Taring Padi dengan simbolisme surealistik yang mengingatkan pada sapuan kuas para perupa Jogja era 1980-an. Dalam lukisan-lukisannya, komentar dan kritik sosial dihadirkan dalam bahasa simbolisme.
Lukisan Niscaya karya Yos Suprapto
Lalu permainan garis dan warna yang provokatif khas Yos juga akan diperlihatkan. Seperti warna hitam, merah, nuansa biru, aneka hijau, coklat, kuning, ungu, jingga, dan putih. Warna-warna tersebut ditampilkan dengan daya visual yang kuat dan keras sifatnya, bersanding satu sama lain yang tampil sebagai komposisi yang tidak halus atau lembut, seperti ada ketegangan. Ada tema sosial, politik, budaya, ekologi, kemanusiaan, semacam komponen-komponen utama dalam kehidupan di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Ndilalah, prosesnya mentok sampai konferensi pers. Saat jadwal pembukaan pameran tiba, tak ada satupun pengunjung yang bisa masuk ke ruang pamer. Pihak galeri mengambil langkah yang menurut saya cukup fatal dengan mengunci pintu ruang pamer dan mematikan lampu. Sementara di luar, tamu undangan sudah berkumpul.
Isu ini menyeruak dengan cepat, menjadi kehebohan yang berkembang hingga keluar jauh menembus tembok galeri. Narasi itu berkata: pameran Yos Suprapto dibredel! (Bredel, satu kata yang pernah menjadi momok di masa orde baru, kembali muncul ke permukaan di penghujung 2024)
Publik geger, karya-karya yang diminta untuk tidak ditampilkan di Galeri Nasional itu kemudian dipajang di media sosial. Teranglah disana, publik melihat benang merah dari kelima karya yang dilarang itu: sosok yang ditampilkan dalam lukisan mirip dengan figur Presiden ke-7 Joko Widodo.
Lukisan 2019 karya Yos Suprapto
Awalnya saya merasa kata “bredel” yang disematkan dalam narasi ini cukup berlebihan. Saya berpikir, kejadian ini hanya muncul akibat rasa ketakutan si kurator bahwa pameran yang dia kuratori akan menimbulkan polemik. Namun, saya rasanya harus memeriksa kembali asumsi ini. Apalagi setelah saya membaca informasi: kurator, setelah menilai lukisan “Konoha II” ini mengandung unsur pornografi, lalu melaporkannya ke Wamen Kebudayaan Giring Ganesha.
ADVERTISEMENT
Mengutip keterangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, permasalahan mengenai pembredelan pameran tunggal Yos Suprapto telah melibatkan struktur pemerintahan hingga tingkat kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan. Dalam komunikasi yang dilakukan oleh Wamenbud kepada pihak penyelenggara acara, Wamenbud seakan-akan resisten terhadap berjalannya pameran dan menganggap salah satu karya dalam lukisan adalah bentuk tindakan asusila yang ditafsirkan sebagai sosok Joko Widodo, sehingga mewajarkan pameran tunggal tersebut tidak jadi diadakan.
Agak sulit untuk berasumsi tidak ada upaya pembredelan dalam masalah ini.
Efek Streisand dan Pameran yang Bergeser ke Galeri Media Sosial
Pada tahun 2003, seorang kaya bernama Barbra Streisand berusaha melarang publikasi foto rumahnya di Malibu, California. Streisand menggugat seorang fotografer bernama Kenneth Adelman dan Pctopia.com atas pelanggaran privasi. Selain menggugat, dia juga melakukan upaya lewat surat cabut-dan-hentikan (cease and desist) untuk menghapus angka, berkas, dan situs web yang berkaitan dengan gambar rumahnya.
ADVERTISEMENT
Hakim menolak gugatan Streisand. Alasannya, Kenneth memotret garis pantai untuk mendokumentasikan erosi pantai sebagai bagian dari proyek yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan pemerintah. Bagian menariknya, sebelum gugatan dilayangkan, foto rumah Streisand hanya diunduh oleh enam pengunjung, dua di antaranya diunduh oleh pengacara. Setelah kasus mencuat, lebih dari 420.000 orang mengunjungi situs yang memuat foto rumahnya tersebut.
Belakangan, fenomena semacam ini dikenal dengan istilah Efek Streisand. Ketika upaya untuk mengendalikan informasi, berita, pendapat malah meningkatkan dampak penyebarannya. Makin keras upaya penutupan, makin tinggi pula minat masyarakat untuk mengungkapnya. Kejadian ini menjadi semakin mencolok di era media sosial, di mana penyebaran informasi berpotensi terjadi secara eksponensial dan tidak terkendali.
Pembatalan pameran tunggal Yos Suprapto bisa dilihat melalui kacamata ini. Efek Streisand berjalan dengan nyata. Saat Galeri Nasional memutuskan untuk membatalkan pameran dengan mengunci pintu sehingga publik tidak bisa melihat lima karya “kontroversial” Yos, pamerannya bergeser ke media sosial. Publik membagikan kelima foto lukisan yang dimaksud dan penyebarannya berlangsung dengan cepat.
Lukisan Konoha I karya Yos Suprapto
Setelah itu, siapapun yang memiliki akses ke media sosial (jumlahnya sudah pasti banyak) bisa melihat kelima lukisan tersebut. Termasuk, mereka-mereka yang mungkin sebelumnya belum pernah menginjakan kaki ke dalam galeri. Padahal, kalau dipikir-dipikir, belum tentu jumlah orang yang melihat karya ini akan sebanyak sekarang jika pameran tetap berlangsung. Orang yang mengomentari dan ikut berdiskusi soal karya lebih sedikit lagi.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari buku Bank Soal Seni Budaya dan Prakarya SD/MI Kelas 4,5,6 (2022) oleh Uly Amalia dan teman-teman (boleh dong kalau saya mengutipnya dari buku anak SD), tujuan diadakannya pameran adalah sebagai sarana untuk melatih keberanian dalam memamerkan hasil karya kepada umum. Di mana salah satu tujuannya adalah dapat menjadi pembangkit apresiasi seni pada masyarakat umum.
Pameran Tunggal Yos Suprapto “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” memang batal dilaksanakan di Galeri Nasional. Tapi, karya-karyanya tetap dipamerkan di banyak platform media sosial. Maka dari itu saya ucapkan: Selamat berpameran, Mas Yos. Pembredelan itu sementara, karya abadi. Tabik!