Konten dari Pengguna

Momentum dan Modalitas China Mendamaikan Hamas-Fatah

Hidayat Doe
Alumnus Hubungan Internasional (S1) dan Ilmu Politik (S2) Unhas. Pernah jadi Guru Anak-Anak Indonesia di Sabah-Malaysia. Co-Founder Rumah Produktif Indonesia (RPI)
2 Agustus 2024 6:12 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Doe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menjamu Mahmoud al-Aloul serta Mussa Abu Marzuk di Wisma Negara Diaoy, Beijing, China, Selasa (23/7/2024). Foto: PEDRO PARDO/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menjamu Mahmoud al-Aloul serta Mussa Abu Marzuk di Wisma Negara Diaoy, Beijing, China, Selasa (23/7/2024). Foto: PEDRO PARDO/AFP
ADVERTISEMENT
Di negeri Tirai Bambu, Selasa lalu (23/07/2024), adalah hari yang bersejarah bagi Palestina. Hari itu, dua Faksi bebuyutan, Hamas dan Fatah, berangkulan dan membuat kesepakatan rekonsiliasi terbaru di Beijing, China. Setelah sekitar 18 tahun berkonflik, pasca pemilu legislatif pada 25 Januari 2006, keduanya kembali bersepakat untuk mengakhiri perpecahan internal yang membelah Palestina jadi dua wilayah; Jalur Gaza yang dikuasai Hamas, dan Tepi Barat yang dipimpin faksi Fatah. Perpecahan itu telah menyulitkan Palestina sendiri meraih kemerdekaan penuh dari pendudukan Israel.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan rekonsiliasi yang dimediasi oleh China tersebut tidak saja mendamaikan faksi Hamas dan Fatah, tetapi menyatukan 12 faksi lainnya yang bersengkarut. Konflik Palestina ibarat benang kusut yang tak terurai. Di dalam wilayah, sesamanya berseteru, dari luar diduduki dan dibombardir oleh Israel. Sesekali dan berkali, Hamas ataupun kelompok perlawanan di Palestina membalas. Seperti spiral kekerasan, serangan demi serangan terus berulang bagaikan lingkaran setan. Kita hampir tak pernah menyaksikan kedamaian di negeri para Nabi tersebut. Ledakan bom dan dentuman senjata di negeri itu hampir setiap saat. Darah tumpah dan nyawa melayang sudah tak terkira jumlahnya.
Hari-hari ini, sejak 7 Oktober 2023 lalu, situasi dan kondisi di Palestina terus membara. Di tengah keadaan yang mengerikan dan memilukan itu, pihak-pihak internal dan domestik Palestina terdorong untuk saling bertemu. Ada kehendak untuk bersatu. Mungkin juga perasaan senasib dan sepenanggungan. Upaya rekonsiliasi pun digagas dari negeri Beruang di awal tahun 2024. Hamas dan Fatah berjumpa di Moskow, Rusia, untuk memulai pembicaraan pembentukan pemerintahan persatuan. Pihak Kremlin menjadi tuan rumah dari upaya rekonsiliasi itu. Namun proses negosiasi tersebut belum menghasilkan kesepakatan yang signifikan. Negosiasi itu sejatinya dijadwalkan lagi.
ADVERTISEMENT
Di bulan April 2024, Fatah dan Hamas kembali bertemu di Beijing. Kali ini, perundingan dimediasi oleh China, negara yang selama ini menyokong Rusia dari boikot Amerika Serikat dan sekutunya. Pertemuan tersebut jadi pintu masuk untuk mencapai kesepakatan rekonsiliasi. Tepatnya pada Sabtu-Selasa (20-23/07/2024), perundingan digelar lagi di Beijing yang kemudian membuahkan kesepakatan rekonsiliasi dengan penandatanganan perjanjian. Kesepakatan tersebut dikenal dengan istilah Beijing Declaration.
Deklarasi Beijing mengandung beberapa poin penting yang menjadi kesepakatan para pihak yang berseteru di internal Palestina. Beberapa poin penting dari hasil perundingan Deklarasi Beijing tersebut adalah, pertama, perlunya persatuan Palestina untuk mengakhiri perpecahan di pemerintahan dengan menjadikan Otoritas Palestina sebagai satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina. Poin ini penting disepakati untuk menyatukan kembali pembelahan wilayah Gaza dan Tepi Barat dengan pemerintahan masing-masing. Sehingga, bergabungnya sejumlah kekuatan politik, khususnya Hamas dan Fatah, dalam satu naungan Otoritas Palestina, akan memudahkan jalan pendirian negara Palestina yang berdaulat di masa akan datang.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam kesepakatan persatuan Palestina tersebut, China bersedia membantu mengakhiri pendudukan Israel dan mendirikan negara Palestina sesuai perbatasan wilayah tahun 1967 dengan Yerussalem Timur sebagai ibu kota. Pendirian negara Palestina itu sejalan dengan seruan internasional mengenai Solusi Dua Negara. Dukungan China atas perjuangan kemerdekaan Palestina ini bukan hal baru, sebab sejak masa kepemimpinan Mao Zedong, China sudah mendukung perjuangan Palestina dengan mengirimkan bantuan senjata untuk mendukung apa yang disebutnya sebagai gerakan pembebasan nasional.
Ketiga, Deklarasi Beijing juga mendorong pembentukan pemerintahan nasional Palestina yang bersifat sementara untuk mengatasi agresi Israel yang terus berlangsung, memastikan bantuan kemanusiaan, membangun kembali atau rekonstruksi Jalur Gaza, dan mempersiapkan pemilihan umum di Palestina. Poin kesepakatan ini merupakan langkah yang strategis sebagai jalan dan konsolidasi awal menuju pencapaian kemerdekaan Palestina.
ADVERTISEMENT
Hasil kesepakatan tersebut memang masih perlu diuji, apakah akan mengalami jalan buntu atau sukses mengantarkan Palestina mencapai persatuan nasional dan kemerdekaannya lewat mediasi dan peran China. Mengingat, sebelumnya pada tahun 2011 Mesir pernah memediasi perundingan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan persatuan dan pelaksanaan pemilu, namun hasil kesepakatan tersebut gagal direalisasikan.
Akan tetapi, paling tidak, untuk sementara waktu, China telah sukses menengahi dan memediasi para pihak yang berseteru di Palestina untuk melakukan rekonsiliasi serta membuat sejumlah kesepakatan penting yang bisa membawa Palestina meraih kemerdekaannya. Karena itu, yang menjadi pertanyaan menarik di sini, bagaimana China bisa berhasil memediasi Hamas, Fatah, dan 12 faksi lainnya di Palestina untuk duduk berunding dan mencapai kesepakatan signifikan tersebut?
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, salah satu penyebab utama keberhasilan China dalam menengahi para pihak yang berkonflik di internal Palestina adalah faktor adanya momentum, situasi dan kondisi yang sangat berat dan menekan para pihak, khususnya Hamas dan Fatah. Situasi dan keadaan di Gaza saat ini memang sangat mengerikan. Jumlah korban tewas akibat agresi Israel per detik ini sudah mencapai 39.480 jiwa. Mayoritas korbannya adalah kalangan warga sipil dari anak-anak dan perempuan. Belum lagi jumlah korban luka-luka yang sudah mencapai 91.128 orang, dan ribuan pengungsi akibat serangan Israel yang memporak-porandakan wilayah Gaza dan sekitarnya. Dampak kerusakan fasilitas dan infrastruktur publik juga tak terkira yang membuat roda ekonomi dan kehidupan masyarakat setempat ambruk. Semua kenyataan tersebut seolah memaksa Hamas dan kelompok lainnya untuk melunak dan berunding dengan pihak mediator yang hendak terlibat dalam penyelesaian persoalan kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
ADVERTISEMENT
Indikasi melunaknya Hamas sudah terungkap sejak bulan April 2024 lalu ketika anggota Biro Politik dan Juru Runding Hamas, Khalil al-Hayya, menyampaiakan pandangannya bahwa Hamas siap meletakkan senjata bila kemerdekaan Palestina terwujud sesuai dengan wilayah perbatasan tahun 1967, yang maksudnya bersedia menerima keberadaan Israel. Padahal, selama ini Hamas menolak mengakui keberadaan Israel dan menginginkan negara Israel itu dihilangkan. Intinya, di tengah situasi dan momentum saat ini sikap Hamas mengalami perubahan yang cukup signifikan, sehingga mau berdialog dan berdamai dengan jalan negosiasi atau kompromi, pendekatan diplomasi yang jarang ditempuh Hamas.
Melunaknya Hamas tersebut mengingatkan kita dengan situasi perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 1976, GAM konsisten menolak untuk berkompromi dengan pemerintah Indonesia. GAM kukuh mau memisahkan Aceh dari Indonesia untuk merdeka. Namun, keadaan berubah ketika Aceh dihantam oleh bencana Tsunami yang menelan korban jiwa tewas sekitar 170 ribu orang. Aceh pun rata dengan tanah, yang tersisa tinggal puing-puing bangunan. Momentum bencana itu seakan memaksa GAM untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia, ketimbang terus melawan dan menuntut kemerdekaan penuh dari Indonesia di tengah situasi yang tak memungkinkan untuk terus bergerilya. Momentum tsunami Aceh memang bukan penyebab tunggal atas kesediaan GAM berdamai, tetapi menjadi penentu penting bagaimana momentum merubah signifikan sikap resistensi GAM terhadap pemerintah Indonesia saat itu.
ADVERTISEMENT
Sekalipun konteks dan jenis konflik antara Palestina dan Aceh tidak sama persis, tetapi keduanya memiliki kemiripan yang bisa dijadikan sebagai bahan pelajaran bahwa gerakan perlawanan pada akhirnya, di momentum tertentu, memaksa aktornya untuk melunak dan berdamai. Pembacaan terhadap momentum tersebut yang diperlukan untuk coba memerankan diri sebagai mediator yang menengahi sebuah konflik. Momentum itu yang dibaca dan dimanfaatkan China untuk menampilkan diri sebagai juru penengah Palestina. Namun, momentum saja tidak cukup hanya dimiliki oleh penengah konflik sepelik di Palestina, tetapi dibutuhkan kapasitas atau modalitas yang besar untuk mendamaikan para pihak yang berseteru di Palestina. Modalitas semacam itu yang ternyata juga dimiliki oleh China sehingga mampu memerankan diri sebagai mediator yang tepat guna merukunkan faksi-faksi yang bersitegang di Palestina.
ADVERTISEMENT
Pierre Bourdieu adalah ilmuwan sosial yang pernah mempopulerkan konsep modal yang cukup komprehensif. Dia membagi modal menjadi 4 jenis, yakni modal ekonomi, sosial, kultural, dan modal simbolik. Dari keempat modal itu, China memiliki keempatnya. Dari sisi sumber daya ekonomi, misalnya, China mempunyai cadangan devisa terbesar di dunia dengan nilai 3,2 triliun USD pada Juni 2024. Sepanjang tahun 2023 lalu, nilai eksportir China adalah yang terbesar di dunia dengan nilai 3,4 triliun USD. Total PDB China mencapai 18, 566 milyar USD, kedua terbesar setelah Amerika Serikat (AS) dengan nilai 27, 974 USD.
Indikator ekonomi China tersebut menunjukkan besarnya sumber daya ekonomi yang memungkinkan China untuk bermanuver dengan berbagai negara (struktur internasional ala Bourdieu), tak terkecuali dengan negara-negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran, dan Palestina. Negara-negara tersebut telah berhasil diundang ke Beijing untuk dimediasi dan didamaikan dalam konflik yang panjang.
ADVERTISEMENT
Dari sisi modal sosial, China masih memiliki reputasi yang cukup baik di hadapan negara-negara seperti Palestina. China dinilai masih sangat netral, ketimbang AS yang selalu berpihak dan berstandar ganda pada Israel. Kegagalan Amerika memainkan perannya sebagai mediator di arena konflik Palestina-Israel mampu diisi dan dimanfaatkan oleh China. China memiliki kepiawaian untuk mengisi kekosongan tersebut. Kemampuan diplomasi dan strategi geopolitik di Timur Tengah yang dimiliki China tersebut menjadi modal kultural yang ada pada China, tidak dimiliki dan dimainkan oleh Amerika Serikat.
Akumulasi dari modalitas China tersebut menjadi simbol kekuatan dan kebesaran China di panggung internasional. Modal simbolik China sudah tidak diragukan sebagai negara adikuasa yang sisa menunggu waktu akan menggusur posisi AS. kekuatan dan kebesaran China di arena internasional sebagai modal simbolik itulah yang memungkinkan bisa diterima oleh pihak-pihak yang diajak bernegosiasi. Demikian yang terjadi pada pekan lalu ketika China berhasil mendudukkan 14 faksi pada meja yang sama untuk duduk berunding dan berdamai dengan menandatangani sejumlah kesepakatan yang dituangkan dalam Deklarasi Beijing. Kesuksesan mediasi itu tak lepas dari adanya modal simbolik China yang beroperasi di balik upaya negosiasi tersebut. Akhirnya, kita tinggal menunggu kiprah dan strategi China selanjutnya, apakah China bisa mengawal dan memediasi para faksi di Palestina untuk membuat kesepakatan damai dengan Israel. Sehingga, perang di Palestina bisa diakhiri, dan solusi dua negara yang digaungkan oleh komunitas internasional bisa terwujud.
ADVERTISEMENT