Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Cerpen: Masing-Masing
30 Oktober 2024 8:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hilmy Aqila Sukmono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Es teh manis ya, Kak?"
"Eh iya Kak, terima kasih."
ADVERTISEMENT
"Silakan."
Aku memesan es teh manis, dengan kata manis, bukan tanpa sebab. Aku pernah disuguhi es teh tawar, ketika aku hanya bilang “es teh”. Ya begitulah cerita es teh lalu. Mungkin untuk orang yang gemar minum teh tawar, tidak akan menjadi masalah.
Kalau kalian bertanya, bagaimana denganku?
Kan ku jawab “Teh tawar tuh pahit, tidak sedap”. Beda halnya jika sudah dicampur dengan gula. Rasanya nikmat sekali
Sejenak mengalihkan perhatianku dari ponsel. Setengah menit setelah pegawai kantin pergi, aku kembali membaca komentar orang di postingan instagram Rena, sahabatku. Seperti biasa, like-nya ada seribu lebih, dan komentarnya mencapai ratusan. Meskipun mataku terus memindai layar ponsel, tetapi pikiranku masih saja berkutat dengan kejadian semalam.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul sebelas malam, aku baru saja ingin menutup laptopku, usai mengerjakan tugas kuliah. Ponselku berdering. "Rena" nama sahabatku, tertera di layar ponsel.
Jujur, aku tidak tahu menahu, mengapa sahabatku satu ini menelpon tengah malam begini.
“Mel, Amel, Aku boleh cerita gak?”
"Eh, iya Ren, aman aja."
Suara gemetar Rena di ujung telepon mengaduk-ngaduk perasaanku
Rena bercerita tentang orang tuanya yang sering bertengkar. Makian ibunya, bentakan ayahnya kerap terdengar dari kamarnya ketika malam. Malam yang biasanya dimanfaatkan untuk bercengkrama, atau sekedar makan malam bersama keluarga, malah digunakan untuk mendengarkan orang tuanya yang saling memaki.
Suaranya semakin bergetar.
“Belum cukup sampai disitu Mel. Adikku, dia cuma butuh perhatian, bukan malah dikeluarkan oleh sekolahnya. Secara tidak langsung ini imbas dari pertikaian orang tuaku”
ADVERTISEMENT
Aku hanya bisa mendengarkan, tak tahu harus berkata apa. Beban yang dipikul Rena begitu berat, entah apa yang akan kulakukan jika aku ada di posisi Rena. Sebelum Rena bercerita kepadaku, Aku selalu mengira hidupnya sempurna."
"Kenapa ya... dunia jahat banget, Mel. Semuanya terasa begitu berat." kata Rena, suaranya semakin lirih. Setiap kata yang keluar darinya menggambarkan perasaan terpendam yang selama ini tidak kutahu.
Selama ini, aku selalu mengagumi Rena. Mulai dari prestasinya di kampus, gimana dia bisa ikut internship, hingga kepopulerannya di media sosial. Seolah dia memiliki segalanya.
"Aku?"
Jangan ditanya, aku cuma mahasiswi biasa yang duduk di bangku belakang, mencatat pelajaran dalam diam. Di kelas, aku merasa tidak cukup pintar untuk sekedar nimbrung pembicaraan. Jangankan menghidupkan diskusi di kelas, mengangkat tangan saat dosen bertanya pun aku tak sanggup. Rasanya berat sekali untuk bisa mengungkapkan apa yang ada di pikiranku.
ADVERTISEMENT
Setiap kali Rena berbicara, dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya di kelas, aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Bagaimana mungkin orang seperti dia bisa memiliki masalah?
Aku yang dulunya berpikir “enak ya jadi Rena” Ikut event sana-sini, disenangi dosen, menjadi populer... Tapi sekarang, setelah mendengar curhatan Rena, aku bertanya pada diriku sendiri:
"Emang aku mau tukeran hidup 100% sama Rena? Bukan cuma masalah prestasi, tapi juga keluarga,, semua yang dia alami, mungkin juga masa kecilku?"
Jawabannya, JELAS TIDAK.
Mana mungkin aku mau tuker masa kecilku, keluargaku yang penuh cinta, dan semua hal baik yang pernah kualami.
Pikiranku mulai melayang entah ke mana. Aku tidak tahu apakah aku sanggup menjalani apa yang dia jalani. Melihat Rena terlihat kuat dan sukses dari luar, aku hampir lupa bahwa di balik itu semua, ada perjuangan yang tidak terlihat. Satu per satu kenangan indah saat kami bersama terlintas di pikiranku. Rena pernah berjuang keras untuk mendapatkan nilai yang baik, dan ketika kami tertawa bersama, tak ada yang bisa melihat kesedihannya.
ADVERTISEMENT
Di tengah lamunanku, tanpa disengaja, aku menguping sekelompok mahasiswa berdiskusi dengan antusias. Beberapa di antara mereka adalah teman sekelas Rena, berbicara tentang magang dan proyek yang berhasil mereka jalani. Bersamaan dengan itu, hatiku terasa berat. Aku menyadari bagaimana perjuangan Rena harus membagi waktu antara kuliah dan beban emosional yang tak terlihat oleh orang lain. Dia bukan hanya sahabatku, tapi juga cerminan keteguhan hatinya.
Dia mungkin tidak akan pernah tahu betapa banyak aku belajar dari kisahnya, dan bagaimana dia membantuku menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Kami semua memiliki perjuangan masing-masing, meskipun tidak semuanya terlihat jelas.
Kecemburuanku yang dulu menggebu-gebu, kini terasa tidak berarti. Hidup ini tidak pernah sesederhana penampilan luar. Terkadang, orang yang terlihat paling kuat sekalipun menyimpan masalah yang tak terbayangkan oleh orang lain. Kita semua punya beban, masalah, dan perjuangan sendiri-sendiri, meskipun bagi orang lain itu mungkin tidak kentara.
ADVERTISEMENT
Setiap orang, seperti Rena, membawa cerita dan tantangan yang unik. Aku juga punya jalanku sendiri, dengan kesulitan dan kebahagiaan yang hanya aku yang tahu.
Kini aku paham, bahwa tidak ada hidup yang sempurna. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Terkadang kita hanya melihat bungkusnya saja, seperti kilau di permukaan lautan yang menyembunyikan kedalaman gelap di bawahnya.
Selama ini aku berpikir hidupku tak seindah Rena, tetapi sekarang aku menyadari, aku memiliki kebahagiaanku sendiri. Aku juga punya masa-masa sulit, tapi di balik semua itu, ada cinta dari keluarga dan teman-temanku. Hidup bukan tentang siapa yang punya segalanya, melainkan tentang bagaimana kita bertahan dan terus berjalan dengan apa yang kita punya."
Tanpa keraguan, aku meraih ponselku dan mengirim pesan kepada Rena, “Ren, ke kantin gak?, ku traktir bakso”
ADVERTISEMENT