Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Status Ketahanan Pangan Global: Indonesia Berada di Bawah Turki
14 Maret 2021 6:59 WIB
Tulisan dari Hilmy Prilliadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bulan Maret 2020 lalu di Indonesia, di saat yang sama ketika negara substropis masih dihampiri musim semi, pandemi membuat rak supermarket dikosongkan sehingga merugikan anggota masyarakat rentan. Kondisi ini terjadi di banyak negara dengan rantai pasok yang stabil dan tingkat ketahanan pangan yang tinggi. Alih-alih kekurangan pangan yang sebenarnya, masalah ini lebih banyak dikaitkan dengan permintaan yang melebihi pasokan. Meskipun kekacauan musim semi lalu sebagian besar telah mereda ketika negara-negara menangani beberapa gelombang COVID-19, ketahanan pangan tetap menjadi masalah utama di seluruh dunia menurut sebuah laporan kolaborasi terbaru oleh FAO, IFAD, UNICEF, dan WFP .
ADVERTISEMENT
Salah satu Indeks Ketahanan Pangan Global 2020 dari The Economist Intelligence Unit mengukur keterjangkauan, ketersediaan, keamanan, sumber daya alam, dan kualitas makanan di 59 indikator unik di 113 negara. Ditemukan bahwa ketahanan pangan masih memburuk di seluruh dunia karena perubahan iklim dan pertanian intensif dengan pandemi yang memperburuk masalah tersebut.
Indeks ini menyebut Finlandia, Irlandia, dan Belanda sebagai negara dengan tingkat ketahanan pangan tertinggi sedangkan Zambia, Sudan, dan Yaman memiliki tingkat terendah. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tahun 2020, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan performa menengah dalam hal ketahanan pangan. Kategori itu masih berada di bawah Turki yang mendapat predikat performa ketahanan yang baik. Indonesia menempati peringkat 65 dari 113 negara sementara Turki berada di posisi 47 dalam hal status ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Seperti disebutkan sebelumnya, untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi dalam segala bentuknya, banyak negara mungkin perlu meningkatkan jejak karbon mereka untuk memastikan bahwa makanan tertentu tersedia bagi penduduk mereka, terutama bagi kelompok yang paling rentan. Sebagian besar pola makan orang Indonesia tidak memenuhi rekomendasi diet minimum, tetapi melebihi tingkat asupan energi yang direkomendasikan karena konsumsi beras, gula, dan lemak yang tinggi. Untuk meningkatkan keragaman makanan, beberapa peningkatan emisi GRK terkait konsumsi pangan akan diperlukan. Untuk menurunkan tingkat asupan energi berlebih, pengurangan konsumsi beras secara substansial juga diperlukan, meskipun beras telah berada di garis depan kebijakan ketahanan pangan negara. Ini akan membutuhkan perubahan besar dalam praktik diet dan produksi pangan saat ini, yang dampaknya akan bergema di seluruh rantai pasokan makanan, dengan dampak juga pada perdagangan domestik dan internasional. Analisis tersebut juga menunjukkan bahwa keterjangkauan pangan sehat merupakan hambatan utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena biaya pola makan sehat lebih tinggi daripada rata-rata pengeluaran makanan. Kesimpulan serupa dapat ditarik untuk negara-negara di mana sebagian besar populasinya tidak memenuhi rekomendasi pola makan minimum.
ADVERTISEMENT
Jelas, proses transformasi sistem pangan tidak akan mudah, dan oleh karena itu negara-negara harus secara hati-hati menilai hambatan spesifik konteks mereka sendiri dan mengelola potensi trade-off dan sinergi. Misalnya, di mana sistem pangan tidak hanya menyediakan pangan, tetapi juga mendorong perekonomian pedesaan, pergeseran menuju pola makan sehat dapat berarti hilangnya mata pencaharian atau pendapatan bagi petani kecil dan masyarakat miskin pedesaan. Dalam kasus ini, perhatian harus diberikan untuk mengurangi dampak negatif pada pendapatan dan mata pencaharian seiring transformasi sistem pangan untuk memberikan pola makan sehat yang terjangkau. Banyak negara berpenghasilan rendah yang populasinya menderita kekurangan nutrisi mungkin juga perlu meningkatkan emisi GRK nasionalnya untuk memenuhi target nutrisi terlebih dahulu. Sebaliknya, di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas dan negara-negara berpenghasilan tinggi, di mana pola diet melebihi kebutuhan energi yang optimal dan orang-orang mengonsumsi lebih banyak makanan hewani daripada yang dibutuhkan, perubahan besar dalam praktik diet dan perubahan pola produksi pangan di seluruh sistem akan diperlukan untuk mengurangi dampak lingkungannya.
ADVERTISEMENT