Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyintas Sekat Batas Antara Moral dan Etika
14 Januari 2021 14:07 WIB
Tulisan dari Hizwa Naufal Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menyintas, sebuah kalimat yang mungkin tak lazim terdengar bagi kawan-kawan semua. Tetapi itu adanya, karena ‘menyintas’ berarti kita sedang bertahan hidup dan melawan arus didalam sekat batas antara moral dan etika. Menyintas di sini, berarti meneguhkan konsep kehidupan seiring datangnya pengaruh-pengaruh baru yang tidak bisa kita hitung jumlahnya. Pengaruh tersebut mengubah kebiasaan tata laku kita dalam sehari-hari, ‘menyintas’ juga bermakna bahwa kita harus bisa menyeimbangkan antara pengaruh budaya baru yang datang ke dalam lingkungan dan budaya lama yang sudah kita anggap sebagai standar berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan saat ini, mempertahankan suatu budaya lama dianggap seorang yang kuno dan tidak mempunyai arus untuk maju ke depan. Mempertahankan budaya lama saja dianggap suatu yang kuno dan usang, karena arus tetap akan maju ke depan tanpa melihat apa yang sudah dilaluinya dibelakang sebagai pelajaran masa lalu. Adanya arus perkembangan baru, membuat beberapa hal yang biasanya menjadi tidak biasa. Hal itu, tidak dibarengi dengan adanya moral dan etika.
Sementara moral, ia lebih condong ke arah tindakan yang sedang dinilai. Bisa juga dikatakan sebagai pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, etika adalah suatu ilmu untuk mempelajari moral (nilai) yang berlaku pada manusia.
Perkembangan teknologi terus datang seiring waktu, tetapi hal tersebut tidak dibarengi dengan berkembangnya sumber daya manusia (SDM) yang menggunakan alat tersebut sebagai alat pokok dalam berkegiatan sehari-hari. Tidak ada usaha optimalisasi antara datangnya budaya baru dan penyesuaian-penyesuaian di masyarakat. Masyarakat seolah kaget dengan hadirnya teknologi-teknologi baru. Alhasil, mereka tidak bisa membaca situasi dari sisi yang positif dan tidak tahu maksud dan tujuan hadirnya jenis teknologi baru tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketidaktahuan dari masyarakat sebagai dominasi konsumen media saat ini dimanfaatkan beberapa pihak untuk ‘menggoreng’ beberapa opini yang kemudian diberikan kepada masyarakat dalam bentuk yang baku sehingga mereka dipaksa untuk membaca, meyakini, dan membagikan hal yang tidak tahu asal muasalnya tersebut. Makna ‘menggoreng’ di sini tak hanya ada pada perangkat stasiun televisi lokal, maupun internasional. Sebagai cara yang paling mudah dan paling dekat kepada masyarakat adalah melalui sosial media yang mereka sering gunakan. Alih-alih memberikan berita yang akurat dan tepercaya, tetapi mereka malah memberitakan dari sudut pandang mereka sendiri. Yang benar dibuat salah, yang salah dibuat benar. Hal itu terjadi secara terus menerus hingga mereka takut untuk mengatakan yang benar, dan memilih untuk mengikuti arus yang ada.
ADVERTISEMENT
Menurut riset yang menarik oleh The World Most Literated Nation, tentang indeks literasi dunia. Mereka menyurvei sebanyak 61 negara terkait dengan tingkat kecakapan literasi masyarakat di negara itu, lalu hasilnya negara dengan indeks literasi tertinggi di dunia adalah Finlandia, kedua Norwegia, Denmark, dan Swiss. Indonesia berada pada tingkat 60 dari 61 negara, tepat di atas negara Botswana. Ironi yang sangatlah kita rasakan, karena kita sudah 75 tahun merdeka tetapi negara kita berada di bawah daripada negara-negara lainnya. Indonesia sudah mencanangkan yaitu Gerakan Literasi Nasional (GLN), kemudian mencakup enam aspek yaitu baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, dan budaya. Keenam aspek tersebut adalah satu kesatuan utuh yang membentuk cita-cita literasi nasional, namun kesadaran secara seluruh lapisan masyarakat tidak bisa menggaungkan hal itu.
ADVERTISEMENT
Literasi merupakan sebuah aspek penting yang layak disandingkan dengan perkembangan teknologi serba digital seperti saat ini, tanpa adanya literasi yang baik juga dibarengi dengan adanya masyarakat saat ini. Bisa kita ketahui bersama, bahwa masyarakat kini lebih banyak menghabiskan waktunya menggunakan media maya. Hal itu sejalan beriringan dengan kondisi saat ini yang mengharuskan untuk tidak melakukan kegiatan diluar rumah, menyebabkan semua kegiatan yang umumnya dilakukan di Kampus, Kantor, dan Sekolah harus diganti menggunakan media maya.
Literasi juga mendasari bahwa harus dilakukannya pembiasaan bahwa tidak semua orang yang bergabung pada dunia maya memiliki satu pandangan saja, justru itu dengan kita bertemu dengan orang lain di dalam ruang lingkup maya membuat kita semakin membuka pemikiran yang luas (open mind). Tapi hal itu sampai saat ini mungkin masih tidak diindahkan oleh beberapa orang yang juga menggunakan ruang maya sebagai tempat untuk berinteraksi satu sama lain. Harusnya hal itu menjadi pondasi dasar mereka sebelum masuk ke dalam ruang maya, karena di ruang maya kita tidak akan pernah tahu orang yang baru kita kenal memiliki visi dan tujuan yang sama dengan kita.
ADVERTISEMENT
Contohnya saja fenomena ‘Keyboard Warrior’, adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang di dalam ruang maya. Media sosial yang dulu menjadi sebuah alat interaksi antara manusia satu dengan yang lain, kini menjadi ajang persaingan kasta, dan mempertahankan eksistensi. Fenomena ini dilakukan dengan cara saling menyerang antara satu dengan yang lain, dengan makian, cacian, dan bahkan menggunakan kata-kata yang tak seharusnya digunakan. Hal itu terjadi dalam kurun waktu yang tidak lama, banyak yang menyangkut-pautkan hal tersebut dengan kejadian politik, atau konflik antara pribadi.
Keyboard Warrior adalah salah satu contoh fenomena di mana kemudahan, dan keterbukaan akses ruang maya tidak sejalan dengan bagaimana cara penyelesaian antar pribadi secara privat. Artinya, hilangnya ruang privasi di antara kedua belah pihak dan lebih memilih untuk menyelesaikannya dengan melibatkan khalayak masyarakat di ruang maya untuk juga ikut terlibat dan terlihat dalam penyelesaian konflik antar pribadi mereka masing-masing. Dalam hal ini, biasanya mereka menggunakan akun palsu untuk menyamarkan identitas, sehingga mereka bisa terus melakukannya tanpa diketahui siapa mereka sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, alhasil dari tangan-tangan jahat seorang ‘keyboard warrior’ lahir sebuah pemahaman-pemahaman baru yang tertanam kepada masyarakat dalam menilai suatu individu, dan juga sesuatu hal. Hal itu mengakibatkan sebutan-sebutan yang akhirnya akan menjadi stereotip masyarakat kepada hal yang dibenci, di sini letak kesuksesannya seorang ‘keyboard warrior’ dalam menyampaikan informasi kepada publik dengan mengubah 360 derajat informasi yang seharusnya kredibel menjadi diada-adakan atau bersifat semu.
Lalu fenomena tersebut juga menggerus etika dan moral yang harusnya berjalan seiringan dengan keterbukaan dan kebebasan mengunggah, mendapatkan, dan menulis timbal balik informasi. Seolah kedua hal yang penting itu dikesampingkan demi sebuah eksistensi diri, tanpa etika dan moral sebuah permasalahan baru muncul tanpa solusi yang pasti.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengguna ruang maya yang baik, harusnya kita juga memahami tidak dari satu sudut pandang yang kita yakini. Menjadi warga maya yang cerdas digital juga menjadi tuntutan agar kita terbebas dari sebuah ‘fanatisme buta’, tanpa harus menjatuhkan pihak lain yang tidak selaras dan senafas dengan pemikiran kita. Pencernaan informasi-informasi yang kian lama kian bervariasi antara satu dengan yang lain, membuat kita semakin luas dalam menilai, melihat, sekaligus menghakimi sesuatu hal yang baru kita lihat di ruang maya. Adanya perbedaan argumen antar kelompok juga harus kita maklumi karena sebagai warga maya kita juga memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Semakin luas membuka ruang lingkup maya, juga kita dapat membaca situasi yang berisikan banyak sekali sudut pandang yang kita temui dan pelajari.
ADVERTISEMENT