Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Oligarki, Relevansi AMDAL, dan Masa Depan Ekologi
16 Agustus 2020 13:04 WIB
Tulisan dari Holy Wahyuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kerusakan lingkungan telah menjadi permasalahan kompleks dalam kehidupan. Sebuah PR panjang yang membutuhkan perbaikan sendi-sendi dari banyak lini. Permasalahan lingkungan bukan hanya melulu soal dampak terhadap manusia, tetapi kehidupan penghuni semesta lainpun dipertaruhkan, tak lantas diabaikan. Semesta juga memiliki hak asasi untuk terpelihara.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah lingkungan adalah pencemaran. Khususnya pencemaran yang terjadi di area pesisir atau estuari sebagai muara pertemuan darat dan laut. Mindset yang selama ini terbangun, apabila suatu limpasan limbah dilepas ke laut, maka perkara akan beres. Sebab volume air laut dianggap dapat mereduksi dengan sendirinya dampak dari limbah tersebut.
Anggapan tersebut keliru, pesatnya aktivitas antropogenik yang secara intens memaparkan kontaminan ke ekosistem perairan tetap memberikan dampak ekologis. Baik itu menurunnya kualitas ekosistem sebagai habitat dari banyaknya organisme, juga kerusakan sel organisme yang terpapar bahan toksik limbah. Serta tentu saja, jika organisme yang telah mengakumulasi bahan toksik dimakan oleh manusia, akan berdampak juga bagi kesehatan.
Salah satu penelitian yang saya lakukan bersama teman saya di beberapa kawasan pesisir utara Jawa Timur, membuktikan, adanya beberapa kandungan bahan toksik logam berat yang terakumulasi pada biota laut kepiting, serta di habitat yang dalam hal ini adalah sedimen atau lumpur. Beberapa bahan tersebut diantaranya adalah merkuri, tembaga, kadmium, timbal, kromium, dan seng. Tentu saja bahan tersebut bersifat toksik dan memberikan dampak buruk.
ADVERTISEMENT
Hasil pemantauan Ecoton (2019) telah terjadi kegiatan pembuangan dan penimbunan sampah impor dan limbah industri oleh pabrik kertas. Tercatat ada 12 pabrik kertas yang membuang sampahnya di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Brantas. Fakta ini hanyalah satu dari banyaknya pelanggaran pengolahan limbah yang masih tidak memperhatikan aspek lingkungan.
Padahal kehadiran AMDAL seharusnya menjadi instrumen yang berupaya dalam pengendalian dampak lingkungan oleh kegiatan pembangunan. Tetapi mengapa kasus pencemaran seolah menjadi catatan panjang yang tak pernah usai?
Relevansi AMDAL
AMDAL menurut Munn merupakan suatu aktivitas dalam mengidentifikasi dan menduga dampak lingkungan. Sementara Jain mendefinisikan AMDAL sebagai suatu studi terhadap kemungkinan-kemungkinan akan perubahan yang terjadi baik dalam aspek sosial ekonomi, maupun karakteristik fisik lingkungan akibat dari suatu rencana kegiatan.
ADVERTISEMENT
Tujuan AMDAL sendiri antara lain adalah untuk menghindari dan meminimalisir dampak lingkungan sehingga terwujud pembangunan berkelanjutan; untuk memperkirakan dampak yang terjadi pada lingkungan; serta untuk mengevaluasi dampak lingkungan seperti pencemaran, gangguan keanekaragaman makhluk hidup, serta hubungan antara manusia dan alam.
Dilihat dari tujuan AMDAL, sebenarnya AMDAL merupakan instrumen monitoring lingkungan yang masih relevan digunakan. Apalagi dalam AMDAL ada pelibatan pakar, LSM yang tergabung dalam komisi AMDAL. Tentu saja dalam hal ini seharusnya penilaian bersifat objektif dalam mengeluarkan rekomendasi terhadap kebijakan perijinan suatu kegiatan yang berdampak kepada lingkungan.
Namun demikian, mengapa masih banyak industri yang memiliki kontrol pengolahan limbah yang buruk. Kenyataan ini yang menyebabkan munculnya dugaan-dugaan dan tanda tanya besar dalam proses penerbitan laporan AMDAL untuk sebuah ijin kegiatan.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari ilmu pengelolaan lingkungan hidup (PLH), pelaksanaan AMDAL memang memiliki berbagai keterbatasan. Beberapa di antaranya adalah; proses birokrasi yang panjang, metode yang bersifat kaku, bersifat statis dan tidak mengakomodasi kompleksitas serta dinamika, pengawasan penyelenggaraan yang lemah, mitigasi cenderung berorientasi kepada end of pipe approach (strategi ini dinilai kurang efektif, bersifat reaktif setelah terbentuknya limbah yang mencemari, bukan tindakan preventif).
AMDAL dan Bayang-Bayang Oligarki
Ketika kita berbicara tentang masa depan lingkungan dan AMDAL maka kita tidak akan terlepas dari cita-cita founding fathers yang tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dimana secara garis besar berisikan sumber daya alam dan kekayaan alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Tentu saja makna dimanfaatkan dan dipergunakan adalah termasuk aspek pemeliharaan sehingga lingkungan tidak berada pada kondisi kehabisan daya dukung lingkungan yang berarti pada suatu titik grafik akan terjadi penurunan kualitas lingkungan, akibatnya rakyat kelimpungan.
ADVERTISEMENT
Mengutip pemaparan Hendra Kasim seorang aktivis dan praktisi hukum dalam kesempatan diskusi akhir tahun tentang eksploitasi SDA dan HAM di JMG Koffie maluku Utara, ada miss persepsi yang mana pemerintah sering menafsirkan kesejahteraan hanya melulu persoalan ekonomi dan relate dengan kepentingan investasi.
Lanjut, dalam diskusi tersebut juga disinggung terkait perijinan, semisal IUP yang bermunculan menjelang Pilkada, sebab usai pelaksanaan Pilkada acap digunakan sebagai momentum balas budi. Menurut pembicara, fenomena ini mengindikasi adanya politik oligarki sehingga semacam ada perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Hal senada juga diungkap oleh seorang analis politik Northwestern University, Jeffrey Winters yang menilai bahwa demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki.
Masyarakat Aktif dan Monitoring Lingkungan
ADVERTISEMENT
Menilik segala kompleksitas permasalahan lingkungan hidup, yang dibarengi dengan adanya penyimpangan terhadap monitoring pelaksanaan kegiatan antropogenik yang tidak memperhatikan aspek ekologi, maka mau tidak mau, the power of civil society harus benar-benar digalahkan. Peran masyarakat secara aktif dalam monitoring pelaksanaan kegiatan yang dapat memicu dampak terhadap lingkungan harus benar-benar dilibatkan.
Mengingat, dampak buruk lingkungan tersebut, pada gilirannya akan berdampak juga pada hajat hidup masyarakat. Ketika keberadaan lahan hijau semakin sulit, masyarakat petani menjerit. Ketika laut tercemar, ikan dan kekayan laut amblas, nelayan yang akan memelas. Tetapi- lebih dari itu, ada value lain juga yang jika diresapi dalam-dalam seharusnya akan menggerakkan hati kita untuk memasang badan demi keberlanjutan masa depan lingkungan-yakni hak asasi alam. Betapa ironisnya binatang darat dan laut yang kehilangan habitat, kematian ikan secara masal akibat keracunan limbah toksik, dan hal miris lainnya yang dialami oleh semesta kita.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya adalah, dewasa ini, masih relevankah istilah vox populi vox dei? Masihkah suara rakyat yang disebut sebagai suara Tuhan hadir menyelamatkan lingkungan dari kebijakan yang pro pemodal? Sementara kita hidup di zaman penguasaan suara buzzer. Sebagai seorang akademisi, kiranya penulis masih menaruh harapan besar, bahwa niscaya, masih banyak masyarakat yang turut memikirkan masa depan lingkungan, masa depan semesta, tempat kita berpijak dan melakoni kehidupan.