Konten dari Pengguna

Kudeta di Myanmar dan Pengungsi Rohingya

Alexander Axel Pradana
Halo! Para generasi pintar di Kumparan! Perkenalkan, nama saya Alexander Axel Pradana. Saya adalah mahasiswa UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), Salatiga. Saya senang bisa membuat artikel di Kumparan!
29 September 2024 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alexander Axel Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kudeta Myanmar dimulai dari tahun 1962. Ketidakstabilan politik dan tantangan ekonomi Myanmar membuat Ne Win dan militer menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis yang dipimpin oleh Perdana Menteri U Nu. Ne Win kemudian mendirikan negara sosialis satu partai, yaitu Partai Program Sosialis Burma. Ne Win membuat beberapa kebijakan, di antaranya nasionalisasi industri dan memusatkan ekonomi. Kebijakan ini mengakibatkan penurunan ekonomi dan kemiskinan yang meluas. Rezim ini dikenal dengan penindasan terhadap perbedaan pendapat politik, sensor, dan pelanggaran hak asasi manusia. Sejak peristiwa tersebut, Myanmar menjadi negara yang didominasi oleh kekuatan militer. Warisan kudeta tahun 1962 memberi dampak pada pemerintahan di Myanmar hingga sejarah berikutnya (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/1962_Burmese_coup_d%27%C3%A9tat).
Jenderal Ne Win , Buatan AI , Sumber : https://getimg.ai/text-to-image
zoom-in-whitePerbesar
Jenderal Ne Win , Buatan AI , Sumber : https://getimg.ai/text-to-image
Pada saat yang hampir bersamaan dengan kudeta tersebut, pada tahun 1978 terjadi ketegangan etnis di wilayah Rakhine. Ketegangan ini disebabkan oleh etnis Rohingya yang mayoritas Muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas Buddha. Militer merespons dengan menganggap ini sebagai ancaman gerakan separatis dan gangguan keamanan yang harus ditangani. Operasi "King Dragon" diluncurkan dengan misi pengusiran etnis Rohingya ke Bangladesh. Pada tahun 1982, undang-undang kewarganegaraan Myanmar secara resmi menghapus status kewarganegaraan Rohingya (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Dragon_King).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1988, akibat kemerosotan ekonomi, kemiskinan yang meluas, dan pelanggaran hak asasi manusia, aksi protes pun pecah. Dimulai dari mahasiswa hingga puncaknya pada tanggal 8 Agustus 1988. Semua lapisan masyarakat ikut turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran. Respon militer yang sangat keras dengan menembaki para demonstran membuat ribuan orang tidak bersalah gugur. Setelah aksi tersebut, akhirnya junta militer secara terpaksa mengumumkan pembentukan Dewan Pemulihan Ketenteraman dan Hukum (SLORC). Junta mengklaim akan melakukan reformasi, tetapi tindakan keras terhadap oposisi terus berlanjut. Pada tahun 1990, junta mengadakan pemilu yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Namun, junta militer menolak untuk mengakui hasil pemilu tersebut sehingga militer tetap menjadi pemegang kekuasaan yang dominan (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/8888_Uprising#:~:text=The%208888%20Uprising%2C%20also%20known,as%20the%20%228888%20Uprising%22.).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2010, militer mulai melepaskan kendali negara sedikit demi sedikit. Ini adalah langkah awal menuju demokrasi liberal di Myanmar. Pemilu yang diadakan pada November 2010 dimenangkan oleh Partai Union Solidarity and Development Party (USDP) yang didukung militer. Selain itu, militer juga mulai membebaskan tahanan politik sebagai bentuk awal komitmen terhadap reformasi. Pemerintah mulai membuka pintu bagi investasi asing dan mengurangi kontrol negara. Langkah ini berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Beberapa amandemen diberlakukan, meskipun militer tetap mempertahankan kekuasaan melalui ketentuan yang memberi mereka kursi di parlemen. Hal ini berdampak pada hubungan internasional dengan negara-negara Barat dan media yang mulai dibebaskan. Meskipun ada kebebasan tersebut, militer tetap berpengaruh terhadap ekonomi dan pemerintahan (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/2010_Myanmar_general_election).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pada tahun 2012, konflik antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine memanas. Rohingya memiliki kelompok militan bernama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), dan mereka melakukan serangan terhadap etnis Rakhine. Respon pemerintah semakin keras, dan militer melakukan pembakaran desa serta pengusiran paksa terhadap etnis Rohingya (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/2012_Rakhine_State_riots).
Kemenangan NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi) pada pemilu tahun 2015 menjadi salah satu peristiwa penting di Myanmar. Aung San Suu Kyi menjadi pemimpin de facto pemerintahan sipil, meskipun jabatan presiden dipegang oleh Win Myint. Meskipun demikian, militer tetap mendapatkan 25% kursi di parlemen dan masih berpengaruh di pemerintahan. NLD memiliki misi untuk melanjutkan reformasi, berusaha menarik investasi asing demi keberlangsungan ekonomi, serta memperbaiki infrastruktur. Pada tahun 2016 dan 2017, terjadi krisis Rohingya. Serangan militer terhadap Rohingya sangat besar, dan Aung San Suu Kyi dinilai gagal dalam menjaga hak asasi manusia bagi etnis Rohingya (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/2015_Myanmar_general_election).
ADVERTISEMENT
NLD memenangkan pemilu tahun 2020 dan mendapatkan lebih dari 80% kursi yang diperebutkan. Militer menuduh adanya kecurangan dalam pemilu tersebut. Tuduhan ini ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum Myanmar dengan alasan bukti yang tidak signifikan. Dari sinilah awal mula munculnya kudeta militer pada 1 Februari 2021 yang dipimpin oleh panglima militer Min Aung Hlaing. Militer menangkap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan sejumlah pemimpin politik lainnya. Militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun dan membentuk Dewan Administrasi Negara (State Administration Council/SAC) untuk mengambil alih kendali pemerintahan (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/2020_Myanmar_general_election).
Gambar di banner : Aung San Suu Kyi, Dibelakang: demo karena penangkapan Aung San Suu Sumber : https://unsplash.com/photos/people-holding-red-and-white-banner-ZIxGS0Bak_Q
Krisis di Myanmar masih berlangsung hingga kini. Banyak pemberontakan terjadi di berbagai daerah, dan etnis minoritas, terutama Rohingya, harus mengungsi akibat dampak konflik ini. Kudeta dan penindasan militer mendapat kecaman dari komunitas internasional. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, menjatuhkan sanksi ekonomi dan diplomatik terhadap para pemimpin militer Myanmar.
ADVERTISEMENT