Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Indonesia Darurat Kekerasan Anak: Cegah, Laporkan, Selamatkan!
21 September 2024 11:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari dr Nisak Humairok Sp A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia kini berada di titik krisis dalam hal kekerasan dan penelantaran anak, masalah serius yang mendesak perhatian tidak hanya dari pemerintah, tapi juga seluruh masyarakat. Situasi terkini sangat mengkhawatirkan dengan maraknya kasus kekerasan baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Di tahun 2024 saja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sudah mencatatkan 13.847 kasus kekerasan pada anak. Mulai dari kasus seorang anak yang dianiaya oleh pengasuh, pelecehan seksual oleh anggota keluarga dekat, hingga kekerasan akibat perundungan oleh teman sebaya di sekolah.
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap anak merujuk pada setiap tindakan yang mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran pada anak. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Menurut Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kekerasan terhadap anak diklasifikasikan dalam lima jenis, yaitu kekerasan fisik, emosional, seksual, pengabaian/penelantaran, dan eksploitasi.
Anak-anak usia balita adalah yang paling sering menjadi sasaran kekerasan. Anak berkebutuhan khusus juga memiliki risiko tinggi terhadap kekerasan terkait disabilitas fisik, mental, maupun adanya penyakit kronis yang menyertai. Orang tua memegang peran penting dalam kejadian kekerasan pada anak, termasuk faktor pendidikan atau pengetahuan yang masih rendah mengenai tumbuh kembang anak. Selain itu, riwayat kekerasan yang dialami orang tua saat masa kanak-kanak juga meningkatkan risiko mereka melakukan hal yang sama pada anaknya di kemudian hari. Ketidakmampuan menjadi contoh yang baik juga meningkatkan risiko terjadinya kekerasan pada anak. Konsumsi alkohol, narkotika, atau adanya gangguan mental/psikiatri pada orang tua juga dapat menjadi penyebab. Karakteristik keluarga di mana usia orang tua masih terlalu muda serta status sebagai orang tua tunggal juga lebih rentan terhadap insiden kekerasan pada anak.
ADVERTISEMENT
Penggunaan jasa pengasuh tanpa ikatan darah dengan anak dapat menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan oleh pengasuh. Gangguan emosi atau pemikiran cara mendidik anak yang salah pada orang tua juga berkontribusi. Keluarga yang cenderung mengisolasi diri dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) antar pasangan juga menjadi faktor risiko. Pada komunitas yang dipenuhi dengan tindakan kekerasan, seperti di daerah perkampungan kumuh, risiko kekerasan terhadap anak semakin meningkat.
Meskipun jumlah kasus kekerasan cukup besar, seringkali tanda-tanda kekerasan sulit dideteksi. Tanda-tanda kekerasan juga sering terlewatkan ketika anak diperiksa di fasilitas kesehatan. Anak yang mengalami kekerasan biasanya menunjukkan tanda-tanda khusus yang dapat dikenali dari perubahan perilaku sehari-hari, munculnya gejala atau keluhan kesehatan tertentu, serta adanya tanda-tanda fisik yang terlihat.
ADVERTISEMENT
Pada bayi di bawah usia satu tahun yang mengalami kekerasan, umumnya terlihat perubahan perilaku seperti menangis berlebihan atau keterlambatan tumbuh kembang. Pada anak yang lebih besar, dampaknya bisa berupa ketakutan berlebihan hingga fobia, kesulitan tidur dan sering mimpi buruk, penarikan diri secara sosial, hiperaktivitas, kurang konsentrasi, penurunan prestasi di sekolah, sering membolos, hingga kecenderungan untuk melukai objek tertentu seperti hewan. Kecurigaan kekerasan seksual bisa muncul jika anak menunjukkan ketakutan saat disentuh, kesulitan saat diperiksa oleh dokter karena ketidaknyamanan saat membuka pakaian, hingga mengalami depresi atau perilaku melukai diri sendiri.
Beberapa tanda khas adanya kekerasan pada anak meliputi perlukaan atau jejas pada anak-anak usia dini yang belum bisa mobilisasi, seperti luka atau lebam pada mulut, fraktur, trauma kepala, atau area perut. Area luka akibat penganiayaan biasanya berada di daerah yang tidak dilapisi tulang seperti wajah, leher, telinga, dan torso. Indikasi kekerasan semakin jelas dengan adanya luka-luka yang bervariasi dalam fase penyembuhan yang berbeda-beda, dengan luka baru dan luka lama yang tampak bersamaan.
Beberapa tanda bahaya kekerasan pada anak perlu dikenali oleh orang terdekat, guru, dan masyarakat. Selain perubahan perilaku atau luka tidak wajar pada anak, perubahan perilaku orang tua juga penting diidentifikasi. Orang tua yang cenderung melakukan kekerasan biasanya kurang perhatian, menyalahkan anak, meminta pengasuh mendisiplinkan anak dengan keras, melihat anak sebagai beban, memaksakan kehendak berlebihan, dan mengharapkan anak memenuhi kebutuhan emosional mereka. Hal ini terlihat dari jarangnya kontak mata atau sentuhan antara anak dan orang tua.
ADVERTISEMENT
Pencegahan berbagai bentuk kekerasan harus diajarkan sejak dini kepada anak-anak untuk mencegah gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka di masa depan. Untuk mencegah kekerasan seksual pada anak, ajarkan mereka untuk mengatakan "tidak boleh" jika bagian tubuh mereka dilihat atau disentuh oleh orang lain. Bagian tubuh yang tidak boleh disentuh termasuk mulut, dada, kemaluan, dan pantat. Hal ini harus disosialisasikan secara berkala kepada anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah oleh guru. Ketidakpahaman anak terhadap situasi berbahaya dapat menyebabkan pelecehan seksual, sehingga penting untuk mengadakan sosialisasi rutin kepada murid-murid di sekolah.
Kasus kekerasan terhadap anak merupakan isu yang sangat mendesak dan membutuhkan penanganan cepat. Laporan dari korban/saksi dapat diterima di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT/P2TP2A) atau Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang akan segera menindaklanjuti berdasarkan jenis kekerasan yang dialami. Di sisi lain, fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit juga memiliki prosedur khusus untuk menangani temuan kasus kekerasan ini. Fokus utama mereka adalah memastikan keselamatan anak-anak, yang sering kali menjadi korban kekerasan dari orang-orang terdekat mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, jika seorang anak terlihat mengalami kekerasan dari pengasuhnya, langkah pertama yang bisa diambil oleh saksi adalah segera menghubungi hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di 129 atau nomor layanan khusus lainnya. Alternatif lain adalah melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi, dinas sosial, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada perlindungan anak.
Setelah laporan diterima, langkah berikutnya adalah verifikasi dan penanganan korban, yang mencakup perlindungan fisik dan dukungan psikologis. Jika pelaku kekerasan adalah anggota keluarga yang tinggal serumah, anak harus segera dipindahkan ke lokasi aman, seperti rumah aman atau safe house. Proses hukum pun akan berjalan jika terbukti ada pelanggaran, dan pelaku akan mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pemulihan anak korban kekerasan tak kalah penting dari penanganan awalnya. Lembaga-lembaga seperti KPAI dan P2TP2A memegang peranan penting dalam proses rehabilitasi, bertujuan untuk membantu anak-anak ini pulih dari trauma yang bisa berdampak pada perkembangan mereka di masa depan. Dengan dukungan yang tepat, anak-anak korban kekerasan dapat menjalani pemulihan fisik dan mental, sehingga tumbuh kembang mereka tidak terhambat oleh pengalaman buruk yang mereka alami.
ADVERTISEMENT