Konten dari Pengguna

Fenomena Aneh Memotret Wilayah Makam Kuno di Desa dengan Drone

Humam Zarodi
Alumni S1 Fakultas Geografi UGM dan Alumnni S2 pada Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana UGM. Saat ini bekerja sebagai konsultan dan training center pemetaan pada lembaga SinauGIS Yogyakarta.
17 November 2021 15:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Humam Zarodi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kalau sampai pemotretan ketiga ini gagal lagi, mau ga mau kami harus meminta orang “pintar” untuk mendampingi pemotretan udara, Mas”, jelas Mas Dedi saat cerita kepada saya dan tim. Ia ceritakan saat saya dan tim berkunjung ke Desa Jatimalang, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan.
ADVERTISEMENT
Ya, beberapa waktu yang lalu, saya bersama dengan tim melakukan asistensi teknis kepada tim pemetaan Pemerintah Desa Jatimalang dalam rangka pembuatan peta foto udara dengan menggunakan drone. Beberapa waktu sebelumnya tim pemetaan desa sudah melakukan pemotretan udara.
Ketika sesi diskusi dan sharing terkait dengan kendala selama pemotretan wilayah dengan drone, salah satu yang menjadi perbincangan hangat adalah kendala non-teknis. Kalau kendala teknis hanya berkutat masalah susahnya mencari lokasi take off drone karena terkendala kemiringan lereng yang curam, vegetasi yang lebat, atau kendala cuaca.
Nah, yang menarik adalah kendala non-teknis. Mas Dedi dan tim cerita kalau saat memotret salah satu blok wilayah di desanya, harus mengulang pemotretan sampai tiga kali (udah kayak dosis minum obat saja, hehehe). Ternyata di blok wilayah pemotretan tersebut ada salah satu makan tua yang bernama Makam Segawe.
ADVERTISEMENT
Lokasi makan tersebut berlokasi di Dusun Sinoman, Desa Jatimalang. Kata Pak Lurah, Makam Segawe sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, kurang lebih dibangun tahun 1940. “Memang makam tersebut termasuk salah satu makam tua di desa ini, Mas,” tambah Pak Lurah.
Saat pertama kali motret di blok wilayah termasuk Makam Segawe, Mas Dedi dan tim setelah selesai motret langsung pulang. Saat tiba di rumah, ia segera mengecek hasil pemotretan dengan memindahkan memory card yang ada di drone ke laptop. Ternyata, hanya sebagian dari blok wilayah yang dipotret ada fotonya. Sebagian lagi tidak ada fotonya, termasuk Makam Segawe.
Tim pemetaan desa sedang bersiap memotret wilayah desa dengan drone. (dokumentasi pribadi)
Ia mengira hilangnya sebagian foto karena ada kesalahan teknis dalam melakukan pemotretan, misalnya hilangnya sinyal drone atau memory cardnya ada yang rusak. Keesokan harinya Mas Dedi dan tim kembali melakukan pemotretan ulang untuk lokasi take off yang sama. Dan lagi-lagi, setelah di cek memory cardnya, hanya sebagian foto yang berhasil dipotret dan Makam Segawe pun tidak ada fotonya.
ADVERTISEMENT
Ia dan tim memutuskan untuk kembali melakukan pemotretan ulang di lokasi yang sama. Keesokan harinya, sembari menyiapkan drone dan peralatan pendukung lainnya, ia sempat ngomong kepada timnya bahwa kalau pemotretan yang ketiga ini kembali gagal, ia akan meminta ‘orang pintar’ untuk mendampingi pemotretan. ‘Orang pintar’ ini diasosiasikan dengan dukun ya, bukan orang yang bergelar akademik berderet-deret. Hehehe.
Setelah selesai melakukan pemotretan yang ketiga, ia tak sabar segera melihat hasilnya. Dan, hasilnya pun membuat ia dan timnya lega dan tersenyum puas. Semua blok wilayah termasuk Makam Segawe berhasil dipotret. Ia tidak perlu lagi memotret yang keempat dengan membawa ‘orang pintar’.
Mendengar ceritanya selama melakukan pemotretan wilayah dengan drone, saya harus menjelaskan dengan pendekatan teknis. Ya, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemotretan udara dengan drone adalah interferensi sinyal atau gangguan sinyal dari drone ke remote, antara lain adanya sumber magnet, sumber listrik, sumber sinyal (BTS, Wi-Fi, HT, dan lain-lain), kabut, angin, sinar matahari yang terlalu terik, dan cuaca.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi Mas Dedi cerita kalau saat melakukan pemotretan tidak ada SUTET, BTS ataupun Wi-Fi di wilayah pemotretan. Dan cuaca saat itu juga cerah tidak hujan. Mendengar ceritanya saya hanya berkata, “Nganu Mas, mungkin makamnya punya sumber magnet atau dia punya gelombang HT yang kuat untuk berkomunikasi dengan sesamanya.”
Nah, apakah ada hubungan antara gagal memotret dengan adanya makam atau gangguan ghaib, ini perlu diulas lebih jauh. Komentar saya pada Mas Dedi dan tim yang paling masuk akal adalah gangguan sinyal saat melakukan pemotretan. Itu saja sih. Hehehe.