Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cacat Nalar Darwis Triadi
31 Agustus 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Deri Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
25 Agustus 2024, satu minggu setelah peringatan hari kemerdekaan, ketika pelajar, mahasiswa, buruh, seniman, aktivis perempuan, pecinta lingkungan, wibu, gamers, dll. turun ke jalan menentang rezim, di beranda Instagramku melintas konten yang bunyinya seperti tokek di malam hari dan membuatku terjaga dengan kejengkelan maksimal. Aku tunjukkan secara verbatim kalimat dari konten tersebut, lengkap dengan tagarnya.
ADVERTISEMENT
Betapa tidak mangkel. Tulisan itu menghina para demonstran yang lelah-lelahan menentang rezim yang berupaya memanipulasi konstitusi, salah satunya ingin meloloskan anak bungsu presiden, yaitu Kaesang, pada Pilkada yang akan datang.
Tulisan itu juga dengan tanpa tahu malu membela rezim yang sedang dikritisi oleh intelektual, terutama intelektual-intelektual muda, yang tidak punya kepentingan politik praktis. Mereka bersuara, turun ke jalan, mesti ada resiko dihajar aparat, karena mereka memang sudah muak dengan tindakan ugal-ugalan rezim di akhir periodenya.
ADVERTISEMENT
Tulisan itu pun menunjukkan pikiran otoriter, anti diskusi, tidak ingin didebat. Padahal Instagram adalah ruang publik, orang boleh alias bebas untuk berkomentar, apalagi terhadap konten yang ada kaitannya dengan urusan bersama. Membicarakan presiden adalah percakapan umum, bukan percakapan privat.
Membaca tulisan tersebut begitu memuakkan karena dibuat dan dibagikan oleh fotografer yang punya pengaruh. Maksudnya, anak-anak muda yang awal sekali belajar fotografi, banyak yang menganggapnya sebagai fotografer terbaik. Meski sejauh ini aku tidak tahu, fotonya yang mana yang monumental.
Apakah ada judul dari karyanya yang penting untuk kemanusiaan, untuk negara dan bangsa, atau dalam sekala kecilnya untuk satu RT, adakah? Jujur saja, sejauh ini aku tidak tahu. Yang aku pahami, adalah adanya pemitosan terhadap sosoknya di antara awam fotografi. Kalau diselidiki, foto yang mana yang penting, apalagi kalau diminta untuk menjelaskan, beberapa dari mereka malah planga-plongo.
ADVERTISEMENT
Aku tidak mau menyebutnya seniman. Sebut saja dia influencer, karena bisa memengaruhi dan dimitoskan banyak orang. Dan di sinilah menyebalkannya, pendapatnya bisa disetujui begitu saja oleh pengagum-pengagumnya tersebut. Kalau dilihat di Instagram, pengikutnya berjumlah lebih dari 413. 000 pengikut. Tak bisa disangkal, termasuk akun besar. Siapa lagi pemilik akun tersebut kalau bukan Darwis Triadi.
“Sampai saat ini Jokowi tetap terbaik dlm apa yg telah dilakukan oleh bangsa dan negara Indonesia.”
Dengan menggunakan logika, kalimat tersebut jelas mengandung cacat nalar, yaitu generalisasi gegabah. Sang fotografer itu membuat generalisasi yang tak bertanggung jawab tentang Jokowi. Tanpa ketertiban dalam berpikir, tanpa sampel atau bukti memadai, tanpa data dan fakta, ia membuat semacam simpulan umum alias generalisasi yang seenaknya. Kekacauan itu secara otomatis berkaitan langsung dengan jenis cacat nalar lainnya, yaitu klaim besar.
ADVERTISEMENT
Masih dalam kalimat yang sama, kualitas Jokowi dibandingkan dengan kualitas seluruh bangsa dan penduduk Indonesia. Kutu kupret, perbandingan yang bukan hanya tidak apple to apple—alias tidak sebanding, tapi memang perbandingan itu tidak mungkin dilakukan. Dalam memotret tubuh model cantik seksi dengan latar hutan eksotis ala-ala Moi Indie khas zaman Hindia-Belanda, aku jamin, Darwis Triadi lebih baik dari Jokowi.
Dalam urusan lain, misalnya dalam membuat pesawat terbang, Jokowi pasti kalah kualitasnya oleh Habibi. Jangankan Jokowi dibandingkan dengan seluruh bangsa dan penduduk Indonesia, dibandingkan dengan dua orang saja, sudah tidak wajar. Perbandingan kualitas Jokowi itu harus jelas: dengan siapa, dalam hal apa. Biar tidak tersesat dalam pikiran sendiri.
Beralih pada tagar yang digunakannya: #buatyangwaras. Selain melakukan klaim besar lagi, fotografer populer itu menuding orang yang tidak sependapat dengannya tidak waras. Ini menunjukkan cara berpikir yang super kacau karena menyederhanakan kompleksitas masalah menjadi dua pilihan, hitam dan putih, waras dan tidak waras. Pikiran Darwis Triadi kali ini tergelincir pada simplikasi hitam-putih. Padahal anak SD pun tahu, politik itu rumit, kompleks, tidak hitam-putih seperti yang dipikirkannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tagar tersebut mengandung cacat nalar tebang pilih, artinya hanya yang sependapat dengan dirinyalah yang disebut waras, sementara yang tidak sependapat—padahal ada juga yang tidak mau berpendapat—otomatis dianggap tidak waras. Kalimat yang dipakainya menunjukkan bahwa dirinya tidak memberi tempat pada alasan-alasan, pada bukti, pada data, pada nalar. Waras dan tidaknya satu pendapat diukur secara barbar dari sama dan tidaknya dengan pendapat Darwis Triadi.
Padahal waras dan tidak warasnya seseorang bisa diukur dengan kemampuannya dalam bernalar, dalam menyusun argumentasi, disertai data pendukung, dalil, dan setersunya. Seseorang boleh-boleh saja membuat pernyataan selama didukung oleh sarat-sarat tersebut. Manusia waras bisa disebut waras, jelas, jika ia memiliki nalar yang ajeg. Kalau nalarnya cacat, apakah bisa disebut agak waras? Seperempat waras? Setengah waras? Bisakah?
ADVERTISEMENT
Jika menggunakan nalar sedikit saja, dengan menggunakan pengetahuan logika yang dangkal dan begitu umum dipelajari mahasiswa semester satu, mudah untuk mencari kekeliruan-kekeliruan nalar pada konten Darwis Triadi yang membela Jokowi tersebut. Jika dipertajam lagi analisisnya, sebetulnya masih banyak masalah dalam kalimatnya yang pendek itu—tapi capek, men. Aku hanya ingin menunjukkan sedikit saja bahwa ada masalah mendasar, masalah fundamental, dari kalimatnya yang mengklaim-besar-dirinya sebagai orang waras. Pernyataannya tidak lebih dari arogansi semata.
Sebetulnya, tidak perlu menggunakan logika yang memang agak konseptual, aku melihat bahasanya saja sudah berantakan. Struktur kalimatnya gak jelas. Tanda bacanya acak-acakan. Merayakan singkatan tidak penting yang menunjukkan adanya kemalasan berbahasa. Sungguh, tidak perlu capek-capek pakai pengetahuan logika untuk membongkar kualitasnya. Bahkan melihat bahasanya pun, hal yang paling permukaan dan cukup diidentifikasi dengan indera, dengan mata, kualitasnya bisa langsung ditakar. Sebab bahasa adalah baju bagi pikiran. Sebab bahasa tidak lain adalah tubuh dari gagasan. Kalau bahasanya salah, otomatis logikanya pun payah.
Setelah mencermati kontennya sebentar, aku sadar, untuk tidak perlu berharap pada Darwis Triadi. Aku tidak bisa berharap dirinya akan mampu memahami secara logis: apa yang tengah dilakukan oleh para demonstran saat ini; apa argumentasi dari aksi demonstrasi mereka; apa ideologi di baliknya; apa baik-buruknya untuk seluruh bangsa dan negara. Tidak, Marisol. Aku tidak bisa berharap dirinya dapat memahaminya. Pikirannya tidak cukup.
ADVERTISEMENT
Aku cuma punya secercah harapan, ke depannya, sang legenda fotografi itu mau meningkatkan kualitas diri agar supaya lebih tertib dalam berbahasa, untuk lebih telaten dalam berpikir.
Salam waras Indonesia!
Singajaya, 26 Agustus 2024.