Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pengalaman Hidup Tinggal di Jakarta
30 Juni 2022 16:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Husni Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta, kota yang diimpikan para generasi muda menjadi tujuan utama untuk mencari pekerjaan dari dulu hingga sekarang. merupakan magnet bagi para urban pendatang dari daerah karena merupakan pusat peredaran uang dan menjadi sumber perputaran ekonomi warga masyarakat dari dalam maupun luar jabodetabek. Jakarta yang memiliki luas sekitar 664,01 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 10.562.088 jiwa (2020). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabodetabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa. Memiliki warga dengan berbagai macam suku, lintas etnis, agama yang ada di Indonesia. Hampir setiap suku di Indonesia pasti dapat diketemukan bertempat tinggal di Jakarta. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat padat per kilometernya tentunya bisa dibayangkan bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan antar tetangga kadang tidak saling mengenal disamping itu rumah-rumahnya yang terletak di gang kecil tetapi mereka dapat betah tinggal di sana. Begitu saya berkenalan dengan Jakarta yang pertama kali saya terngiang-ngiang dalam pikiran saya selalu adalah suhu udaranya yang panas dan kemacetan kendaraan yang berlalu lalang tiap hari nya hampir di tiap jalan lorong-lorong di Ibukota. Waktu pertama kali saat saya menginjakkan kaki saya di Kota Jakarta di Tahun akhir Desember 1999 saat itu masih terlihat kumuh dan polusi kendaraan sangat memprihatinkan. Disana - sini pedagang kaki lima masih bertebaran di sisi bahu Jalan dan banyak yang berjualan di trotoal yang seharusnya diperuntukkan Pejalan Kaki. Penumpang KRL keadaanya sangat berjubel berdesak-desakan di Perjalanan dalam gerbongnya penuh dengan muatan orang bahkan saya mengalami sendiri dari Stasiun Citayem Bogor ke Jakarta saat saya mau memenuhi Panggilan Test Kerja ketika mau masuk gerbong kereta sudah penuh berjejalan oleh banyaknya jumlah penumpang yang ada di kereta. Sebenarnya kapasitas untuk penumpang sudah melampaui batas namun karena jadwal kereta apinya yang ada masih jarang sehingga penumpanya melebihi kapasitas. Bahkan saya hampir saja tidak bisa masuk karena saking padatnya. Namun dengan penuh perjuangan saya berusaha untuk memaksakan masuk alhamdulillah bisa masuk. Di setiap Stasiun-stasiun Kereta Api yang dilewati hampir pasti ada penumpang yang naik dan turun yang jumlahnya lebih banyak lagi daripada yang turun dari KRL. Mungkin karena tiketnya murah ekonomis hanya limaratus rupiah saja saat itu orang berpikiran lebih baik saya naik kereta soalnya kalau naik Metromini atau Kopaja bisa terlambat sampai Kantor tempat dia bekerja. Dan yang bikin suasana menjadi pengap dan gerah adalah adanya Pedagang asongan yang menjajakan jualan makanan kecil dan minuman menawarkan ke setiap penumpang KRL dan berjalan - jalan ikut memenuhi gerbong kereta api menambah suasana kereta menjadi tidak nyaman. bahkan ada penumpang yang duduk di atap gerbong Kereta padahal resikonya nyawa bisa melayang sewaktu-waktu namun mereka tidak menghiraukan karena terbatasnya angkutan kereta massal yang murah yang ada ya hanya angkutan itu saja.
ADVERTISEMENT
Namun sejak Tahun 2012 mulai adanya pergantian kepemimpinan tepatnya sejak Bapak Jokowi dan Ahok mulai memimpin wilayah DKI Jakarta mulai tampak adanya perubahan kebijakan. Beliau mulai melakukan penataan Pedagang Kaki Lima yang tadinya dan Revitalisasi pembangunan Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat. Selanjutnya juga pedagang Asongan mulai ditertibkan dengan aturan tidak diperbolehkan berjualan di Kereta Rel Listrik (KRL). Dengan begitu penumpang mulai merasakan kenyamanan dan lingkungan gerbong menjadi lebih bersih rapi dan terawat. Faktor keamanan dan kenyamanan menjadi hal yang diutamakan. Jadi orang sekarang sudah lebih nyaman untuk bertransportasi menggunakan Kereta Api. karena adanya perubahan penataan sistem dan aturan di PT. Kereta Api Indonesia. Dan adanya moda transportasi Bus Way benar-benar merupakan terobosan alternatif mengurangi kemacetan dalam berkendaraan di Ibukota. Saat Hari Pertama dibukanya trayek Bus Way penumpang saat itu seingat saya pada tahun 2004 tidak dikenakan biaya selama satu hari gratis saya jalan-jalan naik Bus Way. Jadi saat itu saya seharian menaiki Bus Way dari Blok M, Manggarai Pasar Senen, Jakarta Kota melenggang lancar mulus tanpa hambatan tanpa adanya kemacetan dengan tidak dipungut biaya sama sekali.
ADVERTISEMENT
Pada #HUTDKI495 saya berharap, semoga Jakarta menjadi ibukota yang bersih, ramah, transparan, maju, berkeadilan dan mempunyai sistem transportasi modern yang maju. Selalu menjadi dambaan bagi para warga penghuninya. Selamat ulang Tahun untuk Ibukota DKI Jaya yang ke 495. Semoga menjadi ibukota yang maju dan makmur.
ADVERTISEMENT