Konten dari Pengguna

Ketika Ruang Dialektika Akademik Dibungkam

2 Juni 2020 20:28 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Made Marta Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster diskusi komunitas di FH UGM saat belum diganti judul.
 Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Poster diskusi komunitas di FH UGM saat belum diganti judul. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat di ruang publik sudah semestinya dijamin terlaksana secara demokratis, termasuk di kampus sebagai mimbar akademik yang menjamin kebebasan tersebut dengan penuh tanggung jawab etika akademik. Akan tetapi, realitas bertolak belakang. Belakangan sering terjadi diskusi publik yang diselenggarakan organisasi mahasiswa mendapatkan tekanan pihak-pihak tertentu. Bahkan ada yang sampai dibubarkan paksa, alasannya karena diskusi tersebut memiliki agenda tertentu yang menggangu ketertiban umum. Tak hanya itu, beberapa akademisi baik dosen maupun mahasiswa justru dianggap berbahaya hanya karena memiliki pendapat berbeda atau berselisih paham dengan elit tertentu yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
Diskusi Mahasiswa Diteror
Padahal di ruang akademiklah semua kemungkinan yang menjadi isu-isu kritis di masyarakat dapat menjadi ranah diskursus untuk memperoleh pemahaman komprehensif dari berbagai perspektif. Realitas ini pun kembali terulang di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di tanah air yaitu, Universitas Gadjah Mada. Kelompok mahasiswa yang tergabung pada Constitutional Law Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengadakan diskusi mahasiswa daring dengan menghadirkan salah satu Guru Besar Hukum Tata Negara sebagai narasumbernya.
Diskusi ini pada awalnya mengangkat topik “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang akan dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 2020 mendadak viral dan berujung pembatalan. Hal ini berawal dari unggahan poster kegiatan tersebut pada tanggal 28 Mei 2020 yang diunggah oleh panitia yang kemudian menjadi viral lantaran adanya tulisan seorang dosen di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid19” di laman tagar.id sebagai pemicu awalnya. Tulisan tersebut pada intinya menyatakan: “Inikah demokrasi, pada saat bangsanya sibuk bergotong-royong mengatasi pandemik Covid-19, kelompok sampah ini justru malah mewacanakan pemecatan Presiden. Ini jelas makar dan harus ditindak jelas.” Bermula dari judul yang kontroversial, kemudian timbul kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya diskusi tersebut ingin membahas mengenai sejarah dan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam perspektif Hukum Tata Negara. Masyarakat yang enggan mencari tahu atau bahkan membaca term of reference diskusi menjadi tidak bisa mempertimbangkan kebenaran. Akibatnya banyak pihak terprovokasi dengan tulisan tersebut sehingga panitia pelaksana melakukan perubahan judul di dalam poster dan sekaligus mengunggahnya dengan judul diskusi menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” disertai permohonan maaf dan klarifikasi maksud dan tujuan kegiatan di dalam akun Instagram “Constitutional Law Society” (CLS). Bak pepatah mengatakan, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak itulah yang dapat menggambarkan kondisi panitia pelaksana diskusi tersebut pasca viralnya kegiatan yang mengangkat topik sensitif di tengah situasi pandemi seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dilasir dari press release Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada, bahwa pada malam harinya pasca poster tersebut viral yaitu tanggal 28 Mei 2020, nama-nama yang tercantum di dalam poster tersebut mulai mendapatkan teror dan ancaman. Berbagai teror dan ancaman dialami oleh pembicara, moderator, narahubung, serta ketua komunitas “Constitutional Law Society” (CLS). Teror dan ancaman ini berlanjut hingga tanggal 29 Mei 2020, dan tak hanya menyasar nama-nama di atas, namun juga anggota keluarga yang bersangkutan. Atas kejadian tersebut siang harinya panitia penyelenggara kegiatan memutuskan untuk membatalkan kegiatan diskusi tersebut dengan alasan keamanan. Peristiwa ini sangat mencoreng kebebasan ruang dialektika akademik dan kebebasan berpendapat termasuk dalam ranah akademik yang katanya sangat demokratis.
ADVERTISEMENT
Pembungkaman Ruang Akademik: Masihkah Hak Konstitusionalku Terjamin?
Pada hakikatnya setiap orang memiliki hak asasi untuk berbicara, berpendapat, beraspirasi, mengembangkan dirinya dan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani sebagai suatu bentuk perwujudan eksistensi diri yang dijamin oleh konstitusi negara Indonesia yaitu UUD NRI Tahun 1945. Hal jelas ditercantum dalam Bab XA Pasal 28C ayat (1) dan ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F dan Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila hak asasi yang telah menjadi hak konstitusional warga negara dilanggar begitu saja oleh pihak-pihak tertentu dengan membungkam diskusi-diskusi ilmiah di kampus-kampus. Negara dalam hal ini pemerintah seharusnya hadir untuk menjalankan amanah konstitusi Pasal 28I ayat (4) yang menyatakan bahwa negara terutama pemerintah bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Akan tetapi, dalam kejadian-kejadian yang telah berulang kali terjadi, pemerintah seolah abai dan menutup mata atas realitas tersebut. Tak heran jika publik berpendapat bahwa elite tertentu di pemerintahan terlibat dalam tindakan-tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Mungkin saja, kebenaran di negeri ini adalah sebuah keniscayaan untuk diungkapkan secara terbuka oleh setiap manusia berakal dan bermoral. Patut diingat bahwa siapapun yang menolak untuk mengungkap kebenaran bahkan berusaha menyembunyikannnya dengan alasan apa pun adalah kesalahan. Apa yang terjadi di di UGM adalah bentuk pembungkaman ruang akademik yang patut disikapi bersama. Pembungkaman yang dilakukan oleh oknum tertentu atas kebebasan akademik menjadi pemicu matinya kebebasan berorganisasi dan berkegiatan khususnya mahasiswa. Setelah kebebaan akademik, kejadian yang terjadi di UGM adalah bentuk pengingkaran atas kebebasan berbicara, berpendapat, beraspirasi, mengembangkan dirinya dan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani sebagai suatu bentuk perwujudan eksistensi diri yang dijamin oleh konstitusi.
Sejatinya negara ini sangat beruntung, masih ada orang-orang yang peduli atas nasib bangsa yang penuh kisruh ini. Memiliki civitas akademika yang tak hanya melulu menggali ilmu untuk mencari fakta ilmiah belaka, tetapi tetap peduli dan kritis dalam menuangkan gagasan untuk kemajuan bangsa dan negara. Pemerintah jangan sampai lupa, land van bertemming bangsa Indonesia yang termaktub pada alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa terhambat karena masifnya kasus-kasus seperti ini. Jangan sampai, pembungkaman yang terjadi di ranah mimbar akademik menjadi batu sandungan dalam mewujudkan tujuan mulia negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
I Made Marta Wijaya, S.H.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Udayana
Direktur Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum PPLA