Konten dari Pengguna

Suara Rasa Kemanusiaan: Keadilan untuk Novel Baswedan

14 Juni 2020 6:00 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Made Marta Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel Baswedan di depan rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.  Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Novel Baswedan di depan rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Wibawa penegakan hukum di Indonesia kembali tercoreng dengan keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kasus penyiraman air keras yang dialami Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan. Kasus yang telah bergulir hampir tiga tahun dua bulan ini menuai banyak kritikan berbagai kalangan lantaran JPU menuntut dua terdakwa, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, dengan tuntutan satu tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Tak pelak tuntutan JPU menjadi sorotan publik karena dianggap tidak setimpal dengan akibat yang disebabkan oleh tindakannya. Hal ini sangat melukai rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya karena akibat penyerangan tersebut, kini mata kiri dari Novel Baswedan cacat permanen. Tidak hanya itu, masyarakat pun merasakan bagaimana keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh aparatur penegak hukum di negeri ini terkhianati atas tuntutan JPU kepada kedua terdakwa. Terlebih lagi kasus ini sudah berlarut-larut dan sarat akan kepentingan politik yang akhirnya menyita waktu yang lama untuk mengungkap kasus penyiraman penyidik senior KPK itu.

Kronologi Kasus Novel Baswedan

Sejak awal kasus penyerangan ini telah menyita perhatian publik. Kasus ini berawal ketika Novel Baswedan pulang selepas menunaikan ibadah salat subuh sekitar pukul 05.10 WIB tanggal 11 April 2017 di masjid dekat kediamannya. Saat berjalan pulang, tiba-tiba dua orang mendekat dan menyiramkan air keras ke wajahnya. Cairan tersebut masuk ke dalam mata. Akibatnya, mata kiri Novel Baswedan mengalami cacat permanen meski telah dilakukan operasi hingga ke Singapura. Setelah sekian lama, kasus ini seolah-olah diabaikan penegak hukum dan terkatung-katung tanpa kepastian yang jelas.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada tanggal 26 Desember 2019, pihak kepolisian menyatakan berhasil mengamankan pelaku penyerangan yaitu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Mereka adalah anggota polisi aktif yang akhirnya ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus ini. Pada tanggal 11 Juni 2020 sidang tuntutan pun digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara virtual. Sidang digelar dengan agenda pembacaan surat tuntutan dari JPU yang mana JPU meyakini kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan berat yang melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan subsider yang dibacakan oleh JPU.
Dalam surat tuntutan tersebut kedua terdakwa hanya dituntut dengan ancaman pidana penjara satu tahun penjara dipotong masa tahanan yang telah dijalani oleh kedua terdakwa selama proses hukum yang mereka jalani. Meskipun keterangan terdakwa saat diperiksa menyatakan motif penyerangan dilakukan karena dendam dan ingin memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan sehingga merencanakan penyerangan tersebut. Akan tetapi, JPU menyatakan dalam persidangan tersebut bahwa tindakan tersebut adalah ketidaksengajaan.
ADVERTISEMENT

Tuntutan yang Tidak Adil

Atas tuntutan tersebut, beragam reaksi bermunculan dan tentunya mayoritas menyayangkan tuntutan JPU kepada terdakwa hanya satu tahun penjara. Meskipun nantinya keputusan tetap berada di tangan Majelis Hakim, tetap saja bila melihat penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut merupakan kategori penganiayaan berat atau termasuk level tinggi karena telah direncanakan dan menggunakan air keras serta akibatnya korban mengalami cacat permanen. Tuntutan yang dibacakan oleh JPU sendiri layaknya seorang penasihat hukum yang sedang melindungi kliennya. Alasannya karena perbuatan kedua terdakwa memenuhi dakwaan subside, yaitu Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Bahwa mengacu pada Pasal 353 ayat (2) ancaman maksimal pidana penjaranya yaitu 7 (tujuh) tahun penjara. Artinya sangat dimungkinkan oleh JPU untuk menuntut terdakwa lebih dari satu tahun dikarenakan ancaman maksimalnya 7 (tujuh) tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang perlu dikritik, mengapa Jaksa tidak mengunakan Pasal 355 ayat (1) KUHP untuk menuntut kedua terdakwa sebagaimana dakwaan primernya? Mengingat ancaman maksimal pidana penjara pada pasal tersebut yaitu 12 (dua belas) tahun penjara. Apalagi dalam surat tuntutannya, JPU menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer terkait penganiyaan berencana. Padahal, apa yang terjadi pada korban dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi, tidak hanya cacat permanen, mungkin saja meninggal dunia. Sejatinya Jaksa juga dapat menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup apabila mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi dengan serius tanpa adanya unsur untuk melindungi kepentingan elite tertentu yang berkuasa dan terkait dengan kasus yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Jaksa sendiri seharusnya bisa lebih mempertimbangkan keterangan saksi-saksi di sekitar TKP. Hal ini karena menurut keterangan para saksi, mereka sudah sejak lama sering melihat orang asing melakukan pengintaian di sekitar rumah Novel Baswedan. Hal tersebut masih berlangsung hingga beberapa hari sebelum hari kejadian penyiraman. Sayangnya, keterangan para saksi tersebut, tidak diungkap pada sidang tersebut meskipun sebelumnya telah dilakukan penyidikan untuk meminta keterangan para saksi tersebut. Mungkin ada pihak-pihak yang sedang dilindungi dalam kasus ini, sehingga jalannya penegakan hukum seakan-akan seperti sebuah drama yang terskenario rapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk diusut kembali agar otak penyerangan dapat diungkap dan diproses dengan seadil-adilnya. Agar kasus-kasus high-profile seperti ini tak selalu terkesan dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan aktor intelektualnya.
ADVERTISEMENT

Beda Orang, Beda Hukumnya

Beda korban dan pelakunya, maka beda pula proses hukumnya. Itulah ungkapan yang sebanding dengan apa yang dialami oleh Novel Baswedan. Apabila kita bandingkan dengan kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia, maka akan terlihat dengan jelas letak ketidakadilan pada tuntutan JPU. Seperti yang pernah terjadi di PN Denpasar, terdakwa Ni Luh Mita Martiyasari dituntut dengan hukuman pidana penjara 3,5 tahun oleh JPU dalam kasus penyiraman air keras yang menyebabkan kebutaan pada mata kiri korban. Tidak hanya itu, pada tahun 2019 di PN Palembang, JPU menuntut seorang terdakwa yaitu Ahmad Irawan yang melakukan penyiraman air keras dan menyebabkan korbannya mengalami cacat permanen pada mata sebelah kirinya dengan tuntutan 10 (sepuluh) tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Masih dengan kasus serupa, JPU pada sidang di PN Pekalongan menuntut terdakwa Ruslam atas tindakannya melakukan penyiraman air keras ke istri dan mertuanya. Atas perbuatannya terdakwa dituntut 8 tahun penjara. Berdasarkan hal tersebut, tuntutan terhadap terdakwa penyiram air keras ke Novel Baswedan seharusnya dapat lebih berat dari tuntutan 1 (satu) tahun penjara apabila kebenaran dan keadilan masih dijunjung tinggi. Agar jangan stereotipe “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” tetap bertahan di negeri ini. Sehingga hukum di Indonesia seakan tidak ada wibawanya lagi.
Lex Nemini Operatur Iniquum, Neminini Facit Injuriam, hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun. Hendaknya adagium hukum ini menjadi pengingat dan pematik semangat kita bersama bahwa hukum di Indonesia harus kembali dengan kewibawaannya. Untuk itu, sudah seharunya hukum ditegakkan oleh aparatur penegak hukum yang amanah bukan diatur oleh elite tertentu dengan kekuasaannya. Ingat, Indonesia bukan negara kekuasaan, melainkan negara hukum yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Maka tegakkanlah kebenaran dan keadilan untuk Novel Baswedan atas rasa kemanusiaan yang adil dan beradab serta untuk mengembalikan wibawa hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
I Made Marta Wijaya, S.H.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Udayana
Direktur Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum PPLA