Konten dari Pengguna

Menanti Kearifan dan Kenegarawanan Presiden

Ibnu Syamsu Hidayat
Advokat di Firma Hukum Themis Indonesia
10 Januari 2022 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, Harian Kompas memuat tulisan artikel yang ditulis oleh Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Maria SW Sumardjono berjudul “Menyoal Kepatuhan Terhadap Putusan MK” (Kompas, 04/1/2022). Saya sebagai pembaca larut membayangkan tulisan tersebut merupakan wujud kekesalan, kegundahan hati yang diluapkan dalam tulisan artikel yang runut, mudah dimengerti oleh pembaca dan juga memancing amarah, mengajak akal dan nalar kita untuk merefleksikan kembali, bagaimana pemerintah saat ini mengarah pada sifat yang tidak peduli dan abai terhadap penegak konstitusi, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memutus inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Walaupun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan nomor tujuh memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, alih-alih taat dan menjalankan putusan tersebut, pemerintah pada akhir desember 2021 yang lalu tetap mengeluarkan kebijakan yang strategis, yakni menerbitkan Perpres Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah sebagai aturan pelaksana UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).
Pemerintah yang tetap mengeluarkan kebijakan strategis akibat UU Cipta Kerja merupakan contoh yang tidak baik, secara moral dan hukum, pemerintah secara vulgar memberikan contoh buruk, yakni pengingkaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Padahal, kita semua tahu, bahwa lahirnya MK, salah satunya bertujuan untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum dalam hal ini Undang-Undang yang keluar dari ketentuan konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga negara terjaga. Oleh karenanya, pasca putusan MK dibacakan, para pihak, pemerintah maupun warga negara, pihak menang atau yang kalah wajib patuh, tunduk dan menjalankan sebagaimana putusan MK.
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan berlama-lama membahas pemerintah yang tidak patuh terhadap putusan MK, tetapi saya ingin mengurai bagaimana cara agar putusan MK yang secara konsep memiliki sifat final dan mengikat pasca dibacakan putusan tersebut memiliki daya paksa apabila tidak dijalankan oleh pemerintah maupun warga negara.

Atas Kesadaran dan Ketaatan Konstitusi

Idealnya, setelah Majelis Hakim Konstitusi mengucapkan amar putusan MK, putusan MK itu langsung memiliki kekuatan hukum final dan mengikat para pihak. Maka semua pihak, khususnya pemerintah yang menjalankan Undang-Undang harus patuh dan taat terhadap putusan MK tersebut. Ironisnya, masih banyak putusan MK yang tidak ditindaklanjuti atau malah sama sekali tidak dipatuhi, oleh karena itu harus segera memikirkan bagaimana agar putusan MK ini memiliki daya paksa apabila tidak patuhi oleh para pihak.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, desain MK dalam pengujian terhadap undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 tidak disertai dengan kewenangan eksekutornya, karena sifat pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah bersifat final dan mengikat, sehingga putusan itu bersifat Declaratoir Constitutief, yang berarti menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru melalui satu pernyataan. Sehingga tidak membutuhkan satu aparat untuk melakukan pelaksanaan putusan MK.
Sehingga dalam pratiknya, karena pelaksanaan putusan-putusan MK sangat tergantung pada kesadaran dan ketaatan pihak-pihak terkait dan adanya arogansi dari masing-masing lembaga negara, sehingga dalam menjalankan putusan MK, pemerintah dan DPR mendasarkan pada penilaian mana yang mendukung dan tidak mendukung program kerja pemerintah.

Butuh Kenegarawanan dan Kearifan Presiden

Tentu dalam penyelenggaraan pemerintahan, selain harus memiliki pemimpin yang mampu bekerja, juga butuh yang bernegarawanan, yang dalam memimpin didasarkan pada amanat konstitusi. Tentu sifat kenegarawanan sangat berat dilakukan, apalagi dalam desain pemerintah yang sejak yang mempermudah izin investasi dan ngebut membuat regulasi Cipta Kerja, tetapi di tengah jalan konsep itu terjegal dengan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
ADVERTISEMENT
Walaupun berat, presiden sebagai pemimpin pemerintah, wajib memberikan contoh penyelenggaraan pemerintah yang baik, mampu memastikan roda pemerintahan yang taat terhadap konstitusi. Tidak ada rugi bagi presiden, untuk menahan hasrat awalnya terkait cipta kerja. Presiden harus mampu memberikan contoh yang sportif kepada rakyatnya, bahwa kepatuhan presiden terhadap putusan MK itu tidak tebang pilih. Presiden harus mampu menunjukkan bahwa konstitusi di atas segalanya, bukan konstitusi menyesuaikan keinginan atau program kerja pemerintah.
Presiden yang benar-benar patuh dan menjalankan konstitusi tanpa tebang pilih menunjukkan sikap menjaga kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga resmi penjaga akhir konstitusi. Saya membayangkan presiden mampu berdiri tegak dan teguh dan tidak berubah pada kebenaran konstitusi. Dengan demikian dapat menghindarkan persepsi atau opini publik bahwa putusan MK seperti macan ompong, suatu yang tampak kuat, tetapi sebenarnya tidak memiliki bertenaga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sejak awal pencalonan, terdapat persyaratan menjadi presiden. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 169 huruf O, syarat calon presiden adalah setia terhadap Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika, tentu syarat kesetiaan itu harus dikonkretkan saat calon terpilih menjadi presiden, misalkan dengan menjalankan dan mematuhi putusan MK.
Ibnu Syamsu Hidayat, Lawyer