Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mencari Legitimasi
2 Maret 2022 16:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Rakyat mulai tancap gas melakukan perubahan kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setelah berhasil menjadikan sebagai Prolegnas Prioritas 2022, DPR RI dalam rapat paripurna pada tanggal 8 Februari 2022 menyetujui Rancangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai RUU inisiatif DPR.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pada tahun 2019 terdapat perubahan pertama UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang menjadi pertanyaan, baru berjalan kurang lebih 3 tahun, Mengapa DPR RI bersama dengan Pemerintah sepakat melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Apakah akibat dari putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat ? Apakah ini merupakan trik DPR dan Pemerintah agar dapat mempertahankan UU Cipta Kerja yang pembentukannya menggunakan metode Omnibus Law yang tidak dikenal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Putusan Yang Multitafsir
Alasan pihak yang sepakat perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 ini merujuk Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 angka 3.18.2.2. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa teknik atau metode apa pun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, atau mempercepat proses pembentukan UU, bukanlah persoalan konstitusionalitas.
ADVERTISEMENT
Sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut. Artinya, metode pembentukan UU melalui Omnibus Law tidak dapat digunakan selama belum diadopsi dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan pihak yang menolak perubahan UU P3 ini berpendapat bahwa Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak sama sekali memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun Pembentuk UU diperintahkan memperbaiki UU Cipta Kerja selama dua tahun ke depan. Hal ini dapat dilihat dari amar putusan yang sama sekali tidak ada perintah agar pembentuk undang-undang melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Mendahulukan Substansi
Kekhawatiran perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai jalan mempertahankan UU Cipta Kerja tanpa melakukan perubahan mendasar isi Undang-Undang Cipta Kerja itu cukup alasan.
Jangan sampai perubahan UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memasukkan metode omnibus law dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan akan alat DPR dan Pemerintah untuk menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja melalui metode Omnibus Law telah sesuai dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Yang paling penting dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu adalah adanya penilaian atau tafsir resmi bahwa UU Cipta Kerja dibuat dengan prosedur yang salah.
Sehingga MK memerintahkan DPR dan Pemerintah agar pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan dengan serangkaian yang berkesinambungan melalui 5 tahapan dengan benar, mulai dari pengajuan rancangan undang-undang, pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden dan DPD, persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang dan pengundangan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, MK menilai bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas keterbukaan, pembentuk undang-undang seharusnya memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal, seperti memberikan ruang pembahasan dengan masyarakat, memberikan akses dengan mudah sehingga masyarakat dapat membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo. Sehingga memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan maupun tertulis terhadap rancangan sebuah undang-undang.
Utamakan Prioritas
Waktu dua tahun perbaikan yang diberikan oleh MK seharusnya menjadi momentum yang tepat bagi DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja secara maksimal, khususnya yang berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, karena hal tersebut merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Suatu hal yang tidak mudah untuk mengatur 11 klaster dalam UU Cipta Kerja. Dalam konteks partisipasi masyarakat tentu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu yang lama untuk membahas rancangan masing-masing klaster sehingga mendapatkan esensi partisipasi masyarakat secara maksimal.
Partisipasi tidak sekadar pemaparan satu saluran, akan tetapi akan memiliki makna jika memenuhi tiga prasyarat, hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Partisipasi masyarakat tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau kelompok masyarakat yang memiliki perhatian khusus terhadap isu yang dibahas dalam rancangan undang-undang.
Tanpa maksud membandingkan mana yang seharusnya menjadi prioritas, sepertinya perbaikan undang-undang cipta kerja lebih diprioritaskan daripada pembahasan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bukan perkara mudah dalam situasi yang masih ganasnya pandemic Covid-19 untuk melakukan proses ulang pembentukan UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT