Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Wajah Pesantren dan Moderasi Pendidikan Nusantara
2 Juli 2024 8:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Badrut Tamam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan memiliki peran strategis yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dan mencapai kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan umum sebagaimana disyaratkan oleh Pancasila dan UUD 1945, pemerintah telah menjadikan pendidikan sebagai prioritas pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Peran pendidikan nasional adalah menumbuhkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut di atas tentu tidak menafikan nilai-nilai agama yang sangat penting dalam setiap proses pendidikan di sekolah. Dalam mendidik manusia (siswa) yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, peran agama tidak terlepas dari agama. Oleh karena itu, pendidikan agama Islam sesuai dengan Kebijakan Pendidikan Nasional yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
ADVERTISEMENT
Namun nyatanya, perjuangan dan perdebatan dalam komunitas pendidikan Indonesia masih dalam tahap tanpa akhir. Pendidikan di Indonesia selalu dalam keadaan biner. Artinya, Indonesia memiliki dua sistem pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan umum. Perkembangan disparitas ini menimbulkan pemahaman yang mengakibatkan lembaga pendidikan agama (Islam) terkesan didiskriminasi oleh pemerintah.
Mereka percaya bahwa lembaga pendidikan Islam hanya berurusan dengan masalah akhirat, sedangkan masalah sekuler adalah domain pendidikan umum. Padahal, pendidikan umum dan pendidikan agama sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu sebagai pembawa transfer ilmu (transfer of knowledge), pewarisan budaya (transfer of culture), dan pewarisan nilai (transfer of value).
Jika kita telisik lebih jauh mengenai dualisme pendidikan di Indonesia dari aspek historisnya tentunya akan bermuara pada zaman kenabian dan sahabat. Dalam analisis Fazlur Rahman dinyatakan bahwa semenjak masa klasik (850 M-1200 M) sampai masa awal abad pertengahan (1200 M-1800 M) umat Islam memiliki kekayaan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, memasuki abad pertengahan sampai akhir abad ke-19 M umat Islam mengalami kemunduran khususnya dalam bidang pendidikan.
ADVERTISEMENT
Selama kemunduran sistem pendidikan Islam, sistem pendidikan Barat diadopsi secara besar-besaran. Namun langkah ini justru membawa masalah baru, seperti fakta bahwa dari segi teknologi umat Islam masih belum maju, yang sebenarnya terjadi pada umat Islam adalah degradasi pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran Islam.
Realitas nyata ini juga menjadi keprihatinan mendalam atas apa yang terjadi pada umat Islam di tengah peradaban dunia, dan masih dianggap sebagai “kebenaran tak terbantahkan” yang harus dipertahankan oleh sebagian umat Islam tentang adanya sikap diskriminatif yang berlebihan, dikotomi ilmiah yang merusak.
Isu dikotomi ilmu dalam pendidikan akhirnya dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, yang terjadi pada masa penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda memperkenalkan sistem pendidikan sekuler, dan pendidikan Islam yang diwakili oleh petani tidak fokus pada akal sehat sampai Indonesia merdeka, meskipun masih mewarisi sistem pendidikan ganda pada awal kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Kondisi pendidikan Islam di masa Indonesia sebelum merdeka dihadapkan pada tantangan menghadapi pendidikan kolonial yang netral agama. Kebijakan pemerintah Belanda pada sekolah negeri tidak diberikan pembelajaran agama karena pemerintah menganggap bahwa agama adalah tanggung jawab keluarga dan bukan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah tidak ikut mencampuri dalam urusan agama.
Pendidikan Indonesia dalam sejarah panjangnya, mulai pada masa penjajahan sampai Indonesia merdeka menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek, berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum yang selalu berubah ketika pergantian menteri, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam.
Melihat sikap Belanda yang demikian, maka sikap para tokoh muslim memperjuangkan pendidikan Islam untuk diajarkan di sekolah negeri, dan perjuangan ini terus disuarakan sampai masa Indonesia merdeka agar pendidikan Islam dapat terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan permasalahan ini, Azyumardi Azra mengatakan, Pendidikan Islam terlihat dalam penyusunan UU Sisdiknas 2003, walaupun ada sebagian pasalnya, pemerintah belum merealisasikan secara konsisten, contoh pasal 49 ayat 1 tentang anggaran pendidikan. Pendapat lain datang dari Huzair Sanaky, ia mengatakan, upaya pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Islam di Indonesia dapat dilihat dari komitmen mereka dalam penyusunan UU Sisdiknas 2003, walaupun perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Upaya pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional.
Negara Indonesia merupakan sebuah bangsa yang mayoritas penduduknya beragama muslim. Dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia tentunya tidak lepas dari perjuangan para tokoh pahlawan, kiai, ulama, dan santri yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme dan nilai-nilai agama. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga merupakan hasil kesepakatan bersama dalam meraih kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945 dengan menjamin kemerdekaan bagi umat Islam untuk melaksanakan dan mengembangkan pendidikan Islam. Dalam pasal 31 ayat 2 UUD 1945, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dalam Undang-Undang.”
ADVERTISEMENT
Pasca Indonesia merdeka, umat Islam menyadari pentingnya perjuangan mereka dalam meraih kemerdekaan, dan pemerintah berusaha melakukan perbaikan pendidikan Islam di Indonesia, dan sebagai realisasinya pemerintah Indonesia telah merumuskannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diteruskan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatur penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional.
Wajah Pesantren
Urgensi menginternalisasikan nilai-nilai kebajikan pendidikan Islam di tengah-tengah penyelenggaraan pendidikan di bumi nusantara antaranya agar supaya para peserta didik memegang teguh suatu pandangan (way of life) tentang bagaimana mencintai kekayaan budaya nusantara. Pada tataran ini pendidikan Islam bermetamorfosis dalam sebuah aktifitas dalam sebuah lembaga pendidikan agar mengkristal dalam tumbuh kembang peserta didik agar memiliki ketahanan nasional.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk moderasi pendidikan Islam dalam mengajarkan keseimbangan ditunjukan pesantren saat memadukan kurikulum yang dimilikinya dengan kurikulum nasional. Wajah pesantren sebagaimana disebutkan diakaomodir dengan baik oleh pemerintah melalui Undang-Undang Pesantren Nomor 18 yang lahir pada tahun 2019 lalu. Dengan diundangkannya UU Pesantren ini setidaknya ada rekognisi tentang indegeneous pesantren terkait eksistensinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga pemberdayaan masyarakat dan lembaga dakwah.
Lima poin yang melekat dalam batang tubuh UU Pesantren yakni Kitab Kuning, Jiwa Mandiri, Kiai, Proses Pembelajaran dan pendanaan menjadi penguat dalam menginternalisasikan prinsip pendidikan islam yang moderat dan sesuai dengan tuntutan jaman. Lima unsur pesantren seperti kiai, masjid, santri, pondok dan pengajian kitab kuning mampu menjadi garda pembangun pendidikan dalam peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
ADVERTISEMENT
Akar pendidikan pesantren yang mengintegrasikan antara keindonesiaan dan keislaman selalu menarik untuk diteliti. Nilai kesederhanaan yang mengakulturasi sistem manajerial yang sederhana namun bermakna menjadi karakteristik dari pendidikan pesantren itu sendiri. Namun nilai lain yang terkandung dalam jiwa kesederhanaan itu ialah saat santri yang mengenyam pendidikan di pesantren mampu menunjukan eksistensi kebermanfaatan ilmunya di tengah homogenitas masyarakat nusantara.
Moderasi pendidikan Islam yang ditunjukan pesantren yang mengajarkan jiwa inklusifisme, toleransi, persaudaraan, kedamaian, persatuan, cinta tanah air (hubbul wathan) telah dimanifestasikan dengan lincah dan mempesona di masa penyebaran Islam di tanah Jawa. Terbukti bahwa pada masa itu secara konsensus masyarakat memasukan putra-putri terbaiknya untuk dididik, ditempa dalam kekhasan pendidikan full day school non stop 24 jam. Penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan dapat menjadi jiwa dalam diri peserta didik dalam perannya menjadi perekat ummat di tengah keragaman manusia.#
ADVERTISEMENT