Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Relasi Terhadap Populisme : Socio-Cultural Approach
30 Oktober 2024 9:09 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Annisa nurfitriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pendekatan "socio-cultural relational" oleh Pierre Ostiguy dijadikan teori utama untuk memahami fenomena populisme. Pendekatan ini menyoroti populisme bukan sebagai ideologi murni, melainkan sebagai gaya atau cara berpolitik yang ditunjukkan melalui bahasa, sikap, serta tindakan yang mencerminkan identitas "rendah" (low) dan "tinggi" (high) di masyarakat.
ADVERTISEMENT
1. Teori yang diangkat
Pendekatan socio-cultural relational ini memandang populisme sebagai "cara berada" dalam politik, sebuah cara yang mengekspresikan hubungan antara pemimpin dan pengikutnya dengan menonjolkan aspek budaya dan sosiokultural yang khas dari populisme. Dalam teori ini, populisme tampil sebagai bentuk hubungan yang antagonistik dan mobilisasi "rendah" terhadap "tinggi", yang juga sering kali diperlihatkan dalam penggunaan bahasa, gaya komunikasi, serta estetika visual oleh pemimpin populis. Hubungan ini menunjukkan adanya proses pembentukan identitas politik, di mana populisme lebih banyak berbicara mengenai pembentukan identitas “kita” melawan “mereka” daripada sekadar pandangan ideologi tertentu.
Pierre Ostiguy menjelaskan bahwa populisme melibatkan elemen performatif yang bertujuan untuk menciptakan koneksi emosional antara pemimpin dan pengikut, seperti dalam gaya komunikasi yang santai, bahasa tubuh yang ekspresif, serta penggunaan simbol-simbol budaya yang dekat dengan rakyat. Dalam analisisnya, Ostiguy menekankan pentingnya elemen "rendah" yang mencakup budaya lokal, kesederhanaan, serta pengungkapan tanpa malu tentang realitas kehidupan sehari-hari. Ini berbeda dengan gaya "tinggi" yang formal, terpelajar, dan dipandang sebagai elit, seperti yang sering ditunjukkan oleh politisi tradisional. Pendekatan ini juga memperlihatkan bahwa pemimpin populis sering menampilkan diri mereka sebagai “orang biasa” atau bagian dari rakyat.
ADVERTISEMENT
2. Kasus dalam Populisme
pendekatan ini dapat diaplikasikan dalam kasus populisme yang berkembang di Amerika Latin, seperti gerakan Chavismo di Venezuela atau Peronisme di Argentina. Chavez di Venezuela, misalnya, sering muncul dalam siaran televisi nasional dengan cara yang tidak konvensional, menyapa pemirsa secara santai, menggunakan bahasa sehari-hari, dan mengekspresikan empati terhadap perjuangan rakyat biasa. Demikian pula, Peron di Argentina menggambarkan dirinya sebagai pekerja “pertama” dan selalu menampilkan dirinya bersama para buruh dan kaum miskin, menunjukkan solidaritas dan afinitas budaya dengan kelas pekerja Argentina.
Pendekatan ini juga membantu memahami gerakan populisme di Eropa dan Amerika Serikat, di mana pemimpin populis seperti Donald Trump menonjolkan gaya “rendah” dengan cara berkomunikasi yang provokatif dan menghindari formalitas. Trump sering menggunakan bahasa yang tajam dan bahkan kasar dalam kampanyenya, serta mengangkat isu-isu yang dekat dengan warga Amerika “yang sesungguhnya,” seperti kekhawatiran mengenai imigrasi dan kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, Trump berhasil menarik basis pendukung dari kalangan kelas pekerja dan masyarakat pinggiran yang merasa diabaikan oleh elite politik tradisional.
ADVERTISEMENT
3. Solusi
Pendekatan socio-cultural relational ini memberikan solusi untuk memahami dan merespon populisme dengan lebih baik. Daripada melihat populisme sebagai ancaman semata, pendekatan ini menyarankan pentingnya memahami latar belakang sosial dan budaya yang mendorong munculnya populisme. Dengan memahami dan meresapi cara pandang ini, para pemimpin politik dapat membangun kebijakan yang lebih inklusif dan representatif, terutama bagi kelompok-kelompok yang merasa termarjinalisasi.
Pendekatan ini juga menyarankan bahwa penting bagi para pemimpin non-populis untuk menyadari bagaimana gaya dan bahasa mereka dapat menciptakan jarak sosial dengan publik. Dengan mengadaptasi pendekatan komunikasi yang lebih personal dan berbasis kultural, para pemimpin tradisional dapat menarik basis pendukung yang lebih luas dan mencegah mereka beralih ke populisme.
ADVERTISEMENT