Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mencuri Ruang Karakter dalam Dunia Pendidikan
15 September 2022 14:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ichlasul Amal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Egosentris dan antroposentris manusia yang menekankan pada bentuk-bentuk kekakuan dalam apa yang diajarkan oleh kalangan pendidik sehingga melupakan posisi dialogis bagaimana memecahkan bentuk problematika pada kekacauan eksistensi nilai moral dalam berperilaku.
ADVERTISEMENT
Secara keagamaan bahwa pengajaran karakter merupakan pondasi kuat yang mencirikan kepribadian seseorang dalam meninjau setiap tindakan yang dilakukan. Ibnu Mubarok kalangan cendikiawan muslim dalam perkataannya bahwa, “kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun”. Namun yang perlu diperhatikan apakah pengajaran dalam mengimplementasikan kepribadian dan perilaku tertanam pada sistematika pendidikan, saya rasa belum cukup untuk melihat dari satu posisi.
Mari kita coba melihat bagaimana pendidikan membunuh karakter seseorang dan menjadi penjara yang menakutkan bagi murid dalam menimbah ilmu pengetahuan. Hal ini jelas bahwa kekerasan yang terjadi pada lingkungan dunia sekolah mulai dari kekerasan seksual, pembunuhan, senioritas, degradasi moral menjadi mimpi buruk dunia pendidikan. Pengetahuan yang baik dibuktikan dengan nilai-nilai moral keagamaan dan kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara dalam filosofisnya bahwa seorang guru adalah pendidik yang selalu ada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ide-ide untuk mereka dalam berkarya.
ADVERTISEMENT
Sekarang mari kita lihat apakah posisi guru ada di tengah-ditengah murid, itu pertanyaan yang perlu direfleksikan ataukah malah sebaliknya yang mana posisi guru diatas posisi murid, yang mana tanggung jawabnya hanya menyapaikan ilmu pengetahaun kemudian meninggalkan keberadaan kultural yang harmonis dalam meningkatkan moral penerus bangsa. Inilah dunia pendidikan terjebak pada otoritarianisme sistem-sitem yang kaku, jika murid menderita ganguan perhatian, setres, dan nilai rendah, bisakah kita menyalahkan metode pengajaran yang ketinggalan zaman. Tentu iya, sekolah adalah tempat menemukan bagaimana memecahkan persoalan yang ada pada ruang lingkup masyarakat, bagaimana ruang-ruang diskusi dibuka serta argumentasi-argumentasi bergulir dan menarik.
Sayangnya ruang-ruang ini dibungkam dengan kebijakan dan tututan pendidikan dari segi prestasi akademik sebagai program yang unggul untuk ditonjolkan, sedangkan memahami kritikan-kritikan adalah pendemi yang perlu dibasmi. Dehumanisasi pendidikan seperti inilah yang mengisprasi Paulo Freire yang memandang pendidik juga merupakan bagian dari peserta didik dan perserta didik sebagai pendidik dalam proses pembelajaran. Analogi ini yang menjadikan proses pembelajaran sebagai subyek-subyek, bukan subyek-obyek, dalam prose belajar dan mengajar haruslah kreasi dan re-kreasi pengetahuan bukan malah memorisasi pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Namun yang perlu disayangkan bahwa dalam ekosistem pendidikan kita menafsirkan intelektual secara partikular, posisi pendidikan selalu dekat dengan rezim mengubah kompas pendidikan kita. Pengkhianatan ala Julian Benda (1867 – 1956) memang selalu menyertai kita pada saat diskursus mengenai pendidikan intelektual melawan kekausaan. Benda pada dasarnya menawarkan konsep intelektual (cendikiawan) yang sangat ideal. “Kerajaanku bukan di muka bumi ini,” begitulah prinsip intelektual moralis par excellence yang menjadi impian Benda. Manakala ketika fungsi moral ini diabaikan intelektual, sehingga terjatuh pada lubang yang tak bermoral, maka tragedi penghianatan intelektual pun menjadi kenyataan.
Maka upaya intelektual dalam dunia pendidikan kita merekonstruksi sistem pada pendidikan karakter dan moral yang dipegang berdasarkan nilai-nilai kegamaan dan kebudayaan. Tugas utama intelektual adalah menyuarakan suara-suara jernih publik disatu sisi, dan sekaligus membongkar korupsi yang cendrung mejadi penyakit kronis penguasa dengan asumsi “Power tends to courrupt…”.
ADVERTISEMENT
Dengan itu solusi dari degradasi dunia moral pendidikan saat ini adalah dengan mengedepankan pendidikan ahlak, ditindak lanjuti dengan kebebasan berpendapat dalam minyikapi isu-isu masyarakat, melemahkan tindakan kekerasan dan penindasan sinioritas atau bullying, pelecahan tehadap perempuan, kebebasan dalam berpendapat dalam apa yang menjadi kersahaan masyarakat, menggeserkan paradigmatik rezim atas kebisaan korupsi, serta menolong kaum mustad'afin dari kurungan kesenjangan dan kesejahteraan pada biaya pendidikan yang mahal.
Terkahir pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang membebaskan dari penindasan, membangun kesadaran peserta didik dari kesadaran magis atau naif menjadi kesadaran kritis, kesadaran kritis adalah kesadaran merupakan tingkatan kesaran tertinggi yang mana kesadaran ini melihat bagaimana struktur dan sistem sebagai sumber masalah, analisa yang mendalam dalam menfsirkan masalah, percaya diri dalam diskusi, pembicaraan dengan pendektan dialog, serta mampu merefleksikan dalam melihat hubungan sebab akibat.
ADVERTISEMENT