Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kasus Revenge Porn di Pandeglang, Polemik Pidana Tambahan Mencabut Hak Internet
16 Juli 2023 12:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkara revenge porn dengan Terdakwa Alwi Husen Maolana sudah memasuki babak akhir dalam persidangan Selasa (11/7/2023). Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan (Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).
ADVERTISEMENT
Sehingga Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan yang tidak lazim yakni mencabut hak kegiatan atau memanfaatkan internet selama 8 tahun. Hal ini bisa dibilang sebuah kebaruan dalam penjatuhan pidana dalam perkara ITE tentunya.
Namun penulis tertarik untuk melihat lebih dalam mengenai penjatuhan pidana tambahan tersebut. Tentunya dalam menjatuhkan pidana tambahan Majelis Hakim juga harus melihat ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Mencabut Hak Tertentu sebagai Bentuk Pidana Tambahan
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat dua jenis pidana yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dalam KUHP dibagi menjadi 5 yakni, pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk pidana tambahan menurut R Soesilo selain terdapat ketentuan pidana pokok, dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang-undang dijatuhkan pula (ditambah) dengan salah satu dari hukuman tambahan. Hukuman tambahan gunanya untuk menambah hukuman pokok, jadi hukuman ini tidak dapat dijatuhkan tanpa adanya pidana pokok.
Pidana tambahan dalam KUHP terbagi dalam beberapa macam yakni pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman putusan hakim. Mengenai pencabutan beberapa hak tertentu menurut R Soesilo memiliki arti bahwa, tidak semua hak terpidana akan dicabut, (seperti hak asasi manusia, hak hidup, dan lainnya tidak dapat dicabut.
Sebab, apabila semua hak dicabut maka dapat mengakibatkan kehilangan kesempatan hidup bagi pihak terpidana. Maka dari itu Pasal 35 ayat (1) KUHP mengakomodir pembatasan mengenai hak-hak tertentu yang dapat dicabut yakni :
ADVERTISEMENT
Kemudian dalam pasal 38 KUHP juga mengatur mengenai batas waktu pencabutan hak tersebut dilakukan, yaitu:
ADVERTISEMENT
Pidana Tambahan Pencabutan Hak Internet: Belum Terdapat Ketentuan Hukum
Ada beberapa pihak yang menilai bahwa penjatuhan pidana pokok maksimal dan pidana tambahan berupa pencabutan hak terdakwa dalam menggunakan internet merupakan sebuah progesivitas hakim dalam menjatuhkan hukuman.
Kiranya dinilai hal tersebut merupakan hal yang setimpal yang diterima oleh terdakwa. Namun menurut saya pribadi, terutama dalam penjatuhan pidana tambahan yang tak lazim tersebut adalah sebuah ekses yang tidak terukur dalam penjatuhan dan pelaksanaannya.
Setelah membaca ketentuan dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan terkait perkara ITE tersebut (UU Nomor 19 Tahun 2016 jo UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE).
Tidak ditemukan secara konkret dan rigit mengenai dapat dijatuhkan pidana pencabutan hak tersebut. Belum lagi tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah nantinya dalam rangka memastikan bahwa pencabutan hak tersebut dapat dilaksanakan terhadap terdakwa selama kurun waktu 8 (delapan) tahun.
ADVERTISEMENT
Apabila dibandingkan dengan pencabutan hak politik (Hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu) hal tersebut tentu dapat diukur dan telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP.
Mencabut hak seseorang terhadap terpidana seharusnya tidak hanya dipandang sebagai upaya retributif, harus dibatasi dan terukur. Hal ini juga selaras dengan ketentuan dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, pembatasan atau pencabutan hak asasi manusia hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang.
Tujuannya, menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Hak untuk memanfaatkan dan memperoleh akses internet merupakan bagian dari hak asasi digital yang ini belum sama sekali diatur dalam ketentuan perundangan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menilai pemidanaan sebagai suatu hal yang progresif, justru apabila ke depan terdapat putusan pidana serupa akan menimbulkan polemik karena belum diatur ketentuan pidana tambahan pencabutan hak internet dan pelaksanaan hal tersebut.