Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pemakzulan: Upaya 'Formil' Menjaga Akuntabilitas Kepemimpinan Negara
17 Januari 2024 16:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tersiar kabar dalam beberapa pekan terakhir mengenai upaya Pemakzulan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Isu ini bergulir sudah cukup lama hadir sejak April 2023 melalui kelompok "Petisi 100 " namun tensi isu tersebut kembali menyeruak ke publik saat kelompok tersebut bertemu dengan Menkopolhukam menyampaikan adanya keinginan untuk Memakzulkan Presiden.
ADVERTISEMENT
Menurut kelompok ini, pemakzulan semakin relevan setelah memperhatikan adanya pelanggaran-pelanggaran konstitusional baru yang diduga dilakukan Presiden Joko Widodo. Setelah membaca dan melihat beberapa pemberitaan mengenai pemakzulan yang ditujukan terhadap rezim yang berkuasa saat ini, terdapat beberapa persepsi yang menganggap seolah pemakzulan adalah tindakan yang tidak terpuji sebagaimana disampaikan oleh beberapa tokoh politik dalam pemberitaan media.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada publik untuk terlebih dahulu menyamakan persepsi bahwa proses pemakzulan merupakan suatu proses yang legal dan telah diatur mekanismenya melalui rangkaian aturan yang berlaku. Sehingga tidak perlu dinilai sebagai suatu proses yang negatif dalam pemerintahan dan politik.
Dasar Hukum Pemakzulan
Secara harfiah, istilah "pemakzulan" berasal dari bahasa Arab "مخزل" (makhzul) yang memiliki arti "dicopot dari jabatan" atau "dihapuskan". Istilah ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia melalui proses serapan kata. Dalam konteks hukum dan pemerintahan, istilah "pemakzulan" merujuk pada proses atau tindakan penghapusan atau pencopotan pejabat tinggi, terutama presiden atau kepala negara, dari jabatannya.
ADVERTISEMENT
Apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), tidak terdapat istilah yang secara eksplisit menyebutkan tentang pemakzulan. Meskipun demikian, dalam Pasal 7A dan 7B UUD 45, terdapat istilah "diberhentikan" dan "pemberhentian" yang berkaitan dengan proses pengakhiran masa jabatan presiden dan/atau wakil presiden.
Pasal 7A UUD 45 merinci alasan-alasan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden selama masa jabatannya, seperti terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya, atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
Sementara itu, Pasal 7B UUD 45 mengatur mekanisme pemberhentian yang dapat diajukan oleh DPR sebagai mitra dalam neraca kekuasaan (check and balances). Selain DPR, lembaga negara lain yang terlibat dalam mekanisme pemakzulan termasuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Mekanisme Pemakzulan
Secara normatif dalam Pasal 7B UUD 1945, mekanisme pemakzulan diusulkan oleh DPR kepada MPR, Namun perlu terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7A UUD 1945.
Namun dalam pengajuan pendapat DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut, paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima MK.
Apabila MK memutuskan bahwa presiden atau wakil presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden atau wakil presiden kepada MPR. Kemudian, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
ADVERTISEMENT
Harap dicatat bahwa dalam konteks proses peradilan, putusan yang dikeluarkan oleh MK adalah putusan yustisial (karena memeriksa persangkaan terhadap pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden). Di sisi lain, keputusan MPR lebih bersifat politik, yang mungkin tidak selalu mengakibatkan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden, meskipun MK telah menyatakan adanya bukti yang mendukung pandangan DPR.
Penting untuk dicatat bahwa keputusan politik tidak mengesampingkan keputusan yustisial. Dalam konteks pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden, kewenangan tersebut merupakan wewenang lembaga tertinggi MPR, dan bukan kewenangan lembaga peradilan.
Pemakzulan: Upaya Terhormat dan Berlandasan
Dengan demikian, pemakzulan sebagaimana diatur pada dasar negara dapat dianggap sebagai instrumen krusial dalam menjaga akuntabilitas para pejabat pemerintahan dan mendukung kelancaran proses pengawasan dalam kerangka sistem pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pemakzulan harus menempuh tahapan pemeriksaan ranah yustisial terlebih dahulu melalui MK, dan ini menunjukkan komitmen untuk memastikan bahwa pejabat yang memegang peranan penting dalam pemerintahan tunduk pada aturan hukum dan etika yang berlaku.
Melalui pemakzulan, masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan dapat menegakkan integritas dan keadilan, sehingga menciptakan fondasi yang kokoh bagi tata kelola pemerintahan yang baik dan berdaya. Pemakzulan bukan hanya sebuah mekanisme penghentian jabatan, tetapi juga sebuah langkah penting dalam membangun sistem pemerintahan yang transparan, bertanggung jawab, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.