Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
IDEAS Proyeksikan Jumlah Orang Miskin Melonjak Menjadi 29,3 Juta Pada Tahun 2022
4 Desember 2021 14:11 WIB
Tulisan dari Institute For Demographic and Poverty Studies tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan dengan skenario pesimis, tingkat kemiskinan pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen, setara 29,3 juta penduduk miskin.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut terpicu dari melemahnya anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yang membuat semakin banyak penduduk miskin yang tidak terlindungi secara ekonomi, padahal beban krisis dan pandemi belum berakhir.
“Ketika beban krisis membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, alokasi anggaran perlinsos justru semakin menurun,” kata Askar Muhammad, Peneliti IDEAS bidang Ekonomi Makro dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (03/12/2021).
Askar memambahkan bahwa pada 2020 realisasi anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp 216,6 triliun, maka pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp 184,5 triliun, dan terkini pada RAPBN 2022 hanya direncanakan Rp 153,7 triliun.
“Perlindungan sosial (perlinsos) berperan penting dalam menopang keluarga miskin yang terdampak keras oleh pandemi,” ujar Askar.
Pemerintah memang terlihat berupaya keras memulihkan perekonomian seiring berakhirnya gelombang ke-2 yang berpuncak pada Juli 2021 yang lalu. Pembukaan hampir seluruh aktivitas sosial-ekonomi, termasuk sekolah dan event olahraga, diharapkan akan kembali mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Namun arah pemulihan ke depan, selain diliputi ketidakpastian tinggi, juga diyakini berpotensi tidak inklusif.
“Pemulihan pasca pandemi akan ideal ketika semua sektor tumbuh dengan kecepatan yang sama, sehingga manfaat pertumbuhan akan dirasakan secara merata,” tutur Askar.
Dia mengungkapkan pada periode 2014-2020, pertumbuhan pengeluaran per kapita antar kelas ekonomi terlihat merata, menandakan manfaat pertumbuhan yang dinikmati semua.
“Namun, Pola tersebut berubah drastis pada masa pandemi, Maret – September 2020, dimana beban kejatuhan ekonomi tidak ditanggung merata, lebih banyak ditanggung oleh kelas menengah,” papar Askar.
Menurutnya selama pandemi kelas menengah mengalami kejatuhan pengeluaran per kapita paling dalam seiring kejatuhan sektor formal-modern.
“Pemulihan ekonomi pasca pandemi secara ironis memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang semakin lebar yaitu si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin,” ungkap Askar.
ADVERTISEMENT
Pola pemulihan yang umum dikenal dengan K-shape ini, terjadi karena pemulihan didominasi sektor tertentu yang hanya menguntungkan kelas atas.
“Dengan K-shape recovery, kami memproyeksikan pertumbuhan pengeluaran per kapita ke depan akan lebih didominasi kelas menengah-atas, sedangkan kelas menengah-bawah hanya akan tumbuh moderat – rendah,” beber Askar.
Askar menambahkan, Implikasi dari semua itu adalah penanggulangan kemiskinan pasca pandemi akan berjalan lebih lambat.
Lebih jauh, menurutnya pemulihan K-shape berpotensi melemahkan potensi pertumbuhan di masa depan seiring meningkatnya kesenjangan. Secara umum, kelas atas memiliki rasio tabungan terhadap pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas bawah.
“Ketika pendapatan kelas atas meningkat, rasio tabungan mereka ikut melonjak. Seiring kenaikan pendapatan, rasio konsumsi kelas atas justru menurun. Di sisi lain, kelas menengah-bawah semakin tergerus rasio tabungannya untuk bertahan hidup,” tutur Askar.
ADVERTISEMENT
Sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk.
Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal > Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021.
Pada saat yang sama, pangsa simpanan dengan tier nominal < Rp 100 juta menurun dari 14,5 persen menjadi 13,0 persen.
“Secara keseluruhan, kecenderungan menabung yang semakin tinggi oleh si kaya ini akan membuat konsumsi agregat menurun sehingga melemahkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi (paradox of thrift),” tutup Askar.[]