Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Hadapi Gugatan Uni Eropa di WTO, Indonesia Maju dengan Percaya Diri
11 Desember 2021 17:47 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ilham Azhar Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahukah kamu jika sebelumnya Indonesia sempat berhadapan dengan Uni Eropa dalam kasus sengketa kebijakan ekspor CPO (Crude Palm Oil) di WTO , lho! gugatan tersebut dimenangkan oleh Indonesia tentunya. Namun saat ini Indonesia kembali terjun ke dalam pusaran arus politik ekonomi global dengan menghadiri sidang yang digelar di hadapan majelis Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
ADVERTISEMENT
Pada November 2019 lalu, Uni Eropa menggugat Indonesia atas respons kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah oleh Pemerintah Indonesia yang laporannya tertuang di dalam Dispute Settlement 592. Dalam kasus sengketa kali ini, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara gamblang dan penuh percaya diri menyatakan sikap kesiapannya untuk melawan! Gagah betul pernyataan presiden kita satu ini.
Berbicara mengenai tuntutan tersebut, sebenarnya apa sih yang menjadi tuntutan Uni Eropa dalam gugatannya kali ini? dan bagaimana kira-kira strategi Indonesia untuk menghadapinya?
Dalam sebuah episode agenda peradilan yang dilaksanakan secara virtual di Genewa pada November 2021, WTO dipimpin oleh Leora Bloomberg mengundang pihak yang bersengketa bersama para pihak ke-3 yang terdiri dari anggota WTO. Pada sesi tersebut, para panelis bersama-sama mengkaji dokumen tentang gugatan Uni Eropa serta pembelaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sekilas info buat kita semua, negara-negara yang masuk ke dalam jajaran pihak ke-3 ini akan menjadi pihak yang netral dalam memberikan vote-nya selama persidangan berlangsung.
Dalam tuntutannya, Uni Eropa mengajukan beberapa poin keberatan dan mengusulkan forum konsultasi berkenaan dengan kebijakan larangan ekspor produk bijih nikel mentah Indonesia yang dikukuhkan dalam sebuah Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2019 soal Perubahan Kedua atas Permen ESDM No. 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Apa saja sih kira-kira yang menjadi klaim Uni Eropa atas pemberlakuan kebijakan tersebut?
Uni Eropa melalui Komisaris Perdagangannya Cecilia Malmstrom menyampaikan bahwa langkah-langkah Indonesia memicu persoalan baru dengan beban yang diterima oleh Uni Eropa atas kebijakan tersebut, terutama dalam keberlangsungan proses produksinya yang bergantung kepada bijih nikel sebagai bahan baku. Kebijakan tersebut juga dianggap tidak konsisten dan melanggar artikel XI:1, GATT 1994.
ADVERTISEMENT
Uni Eropa juga turut menyatakan keberatannya terhadap skema yang membebaskan produsen Indonesia dari bea impor di sektor tertentu guna meningkatkan dan membangun pabrik baru, selama peralatan dan mesin-mesin lokal memuat setidaknya 30% konten domestik. Dengan alasan inilah Uni Eropa menilai kebijakan ini dianggap sebagai praktik subsidi ilegal dan melanggar artikel 3.1(b) dari perjanjian SCM (Agreement on Subsidies and Countervailing Measures).
Menanggapi hal tersebut, selain standing point yang disampaikan oleh Presiden Jokowi yang akan melakukan berbagai macam cara guna melawan gugatan Uni Eropa di WTO, kesiapan juga datang dari Menteri Perdagangan kita bapak Muhammad Lutfi lho! Beliau memberikan pernyataan kuat bahwa pemerintah Republik Indonesia secara sepenuhnya siap untuk memperjuangkan dan berhadapan langsung dengan pihak Uni Eropa di hadapan majelis WTO demi membela Indonesia. Kepercayaan diri Indonesia kali ini patut kita apresiasi teman-teman! Pasalnya, sebelum ini Indonesia dianggap "sering gagal" dalam menghadapi persidangan sengketa di WTO.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari sana, apa sih sebenarnya yang menjadi urgensi Indonesia dalam membuat kebijakan larangan ekspor bijih nikel tersebut sehingga ditentang oleh Uni Eropa dan membuat keduanya harus bersitegang?
Sebelumnya pada Pertemuan G20 Presiden Jokowi juga telah menyampaikan tentang alasan mengapa Indonesia akhirnya memberlakukan kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah, langkah ini dibuat demi mengoptimalkan economic value added. Pihaknya menilai, kebijakan tersebut dilakukan guna melindungi dan memperkuat pasokan nikel pada sektor hulu. Kebijakan ini sejalan dengan tujuan Indonesia untuk mengembangkan hilirisasi serta industrialisasi dari bahan-bahan mentah, tentunya tanpa niat mengganggu keberlangsungan proses produksi Uni Eropa.
Dalam strateginya, Indonesia bersama tim pembela yang dipimpin oleh Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuga menyampaikan sanggahan atas gugatan yang dilayangkan oleh pihak Uni Eropa. Indonesia berkeyakinan bahwa kebijakan tersebut masih sejalan dengan ketentuan WTO dan dapat dibenarkan dengan alasan dibentuknya WTO sejak 1995.
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto juga turut memaparkan, kebijakan Indonesia merupakan upaya yang dilakukan guna melindungi masa depan sumber daya alam Indonesia yang kuantitasnya cukup terbatas. Nikel juga masuk ke salah satu sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, lho! Maka dari itu, penting untuk negara kita mengatur aturan penggunaannya agar dilaksanakan secara bijaksana atas nama masa depan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam solusinya, Presiden Jokowi juga mengungkapkan bahwa kebijakan ini bukan semata-mata bertujuan untuk mengganggu proses produksi industri Uni Eropa dan mengganggu hubungan bilateral keduanya. Ia menuturkan jika Eropa membutuhkan nikel dari Indonesia, pihaknya diminta untuk membangun dan mengembangkan industrinya di Indonesia. Hal ini jelas menjadi manuver politik ekonomi global Indonesia yang menyasar para aktor-aktor industri untuk membangun pabriknya di Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Jika kita telaah bersama, kebijakan ini bisa jadi langkah jitu atas solusi dari permasalahan perdagangan bahan tambang di mana industri hasil bumi secara kacamata politik global dinilai sering kali tidak berpihak bagi mereka para pemiliknya, ketidakmampuan untuk mengolah sumber daya mineral menjadi produk jadi dan menjualnya sebagai produk mentah dengan harga murah menjadi sumber masalah utamanya.
Pemerintah juga optimis jika kebijakan hilirisasi ini akan tetap dilaksanakan meski ditentang oleh banyak pihak. Bahkan tidak hanya nikel, kebijakan ini akan dikembangkan dengan menghentikan ekspor komoditas tambang lain dalam bentuk mentah seperti bauksit dan tembaga misalnya. Kebijakan ini secara berkelanjutan menjaga pasokan nikel dalam jangka panjang terutama pada sektor kebutuhan smelter dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Wah, mari kita apresiasi sekali lagi atas langkah tegas dan berani yang dilakukan oleh pemerintah kita, ya! Hal ini guna melindungi kekayaan alam yang kita miliki.
Meski saat ini Indonesia masih memiliki cadangan nikel terkira dengan angka 2,8 miliar ton, namun persediaan itu masih memerlukan pengembangan kebijakan "faktor pengubah" secara lebih lanjut. Hal ini berkaitan dengan, kemudahan akses, perizinan (seperti izin lingkungan) dan perekonomian (harga) guna mengoptimalkan status "cadangan terkira" menjadi "cadangan terbukti". Jika strategi ini mampu diwujudkan, maka prediksi akan pemenuhan kebutuhan fasilitas pemurnian bagi suplai nikel diperkirakan akan terpenuhi selama 42,67 tahun lho!
Selain pemberlakuan kebijakan larangan ekspor ore nikel, Indonesia bersama negara-negara di dunia juga berupaya sepenuhnya untuk mendorong perkembangan teknologi di bidang transportasi agar mampu menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan bertenaga listrik. Indonesia sendiri menargetkan 20% penggunaan kendaraan listrik hingga tahun 2025 dan semoga upaya ini mampu membantu keberlanjutan penggunaan lebih bijak bagi permasalahan krisis sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui.
ADVERTISEMENT