Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Karakteristik Pulau Rempang dalam Perspektif Kerentanan Wilayah Pulau Kecil
25 September 2023 6:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ilham Marasabessy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada umumnya pulau kecil memiliki risiko lingkungan yang lebih tinggi, dan sangat rentan terhadap pencemaran juga kerusakan habitat akibat bencana alam maupun perubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pulau kecil juga memiliki keterbatasan daya dukung pulau, luas daratan, ketersediaan air tawar, kemampuan menyimpan air tawar, dan minimnya tanah yang dikelola untuk industri ekstraktif seperti; komoditas pangan, pertanian, peternakan dan perikanan, juga industri non ekstraktif seperti industri kayu lapis, tekstil, industri kaca dan lain sebagainya.
Pulau kecil berpenduduk harus memiliki syarat ketersediaan air tawar yang cukup untuk menopang kehidupan masyarakat di dalam pulau, namun persoalan lain mungkin terjadi jika pulau kecil memiliki syarat untuk ditempati penduduk, yaitu kepastian peningkatan pertumbuhan populasi secara internal dan migrasi lokal dari penduduk luar pulau.
Kecenderungan ini menyebabkan kepadatan penduduk pulau kecil relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pulau besar. Di sisi lain tipe pulau kecil berpenduduk, memiliki kerentanan yang lebih tinggi, salah satunya jika tidak memiliki sumber air tawar sebagai pendukung kehidupan masyarakat. Eksploitasi sumberdaya alam.
ADVERTISEMENT
yang dilakukan secara eksponensial tanpa batas dan mempertimbangkan kesesuaian lahan serta daya dukung kawasan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun korporasi yang memanfaatkan kawasan pulau kecil akan berdampak negatif terhadap penurunan fungsi ekosistem dan kehilangan sumberdaya alam.
Secara ekologis, pulau kecil menyimpan potensi sumberdaya alam yang melimpah, terdapat ekosistem pesisir dan laut yang komplit, bersifat alami dan cenderung memiliki spesies endemik yang potensial dan sebagian di antaranya terancam punah jika spesies atau ekosistem pulau tersebut tidak dilindungi.
Untuk itu diperlukan konsep konservasi ekosistem, sumber daya alam dan genitik melalui perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan. Harus diakui bahwa sumberdaya alam yang terdistribusi pada kawasan pulau-pulau kecil di pesisir maupun lautan adalah milik setiap orang (common property), khususnya masyarakat yang menempati kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya milik bersama kita dapat menggunakan pendekatan yang paling popular dalam kajian ini yang disampaikan Garrett Hardin, dalam pandangannya dijelaskan bahwa meski ditetapkan sebagai milik bersama, namun sebenarnya sumber daya alam adalah milik rakyat.
Rakyat mempercayakan kepada Negara, suatu kelompok, atau lembaga lain untuk memimpin, mengelola, memfasilitasi dan mengatur eksploitasinya demi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Namun dalam praktiknya, properti ini sering kali diprivatisasi secara kelembagaan untuk kepentingan komersial dan sampai batas tertentu, dieksploitasi secara besar-besaran dengan anggapan bahwa hak untuk menggunakan properti yang dimiliki adalah milik semua orang. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik karena persaingan dalam memperebutkan hak pengelolaan dan pemanfaatan atas sumberdaya alam tersebut.
Ada kesamaan yang nyata terkait hak pengelolaan sumberdaya alam di wilayah kepulauan pada banyak Negara di dunia, khususnya bagi Negara kepulauan yang memiliki masyarakat asli tradisional (indigenous people). Perspektif “komunitas pulau” (atau “penduduk asli pulau”) adalah sekelompok atau komunitas masyarakat yang hidup bersama, mendiami wilayah pesisir, membentuk dan mempunyai budaya unik berdasarkan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang telah berlangsung lama secara turun temurun. Contoh kelompok atau komunitas tersebut antara lain nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang ikan.
ADVERTISEMENT
Merujuk penjelasan ini, dapat kita kaitkan dengan kasus Pulau Rempang yang belakangan mencuat dan menyita perhatian publik. Jika kita cermati Pulau Rempang secara geografis berada di bagian selatan Pulau Batam, masuk gugusan Kepulauan Riau dan secara administratif berada di Desa Sembulang Kecamatan Galang Kota Batam.
Berdasarkan data citra satelit Pulau Rempang memiliki luas total sebesar ± 157,41 km² atau sekitar ±15.741 ha, tidak lebih besar dari Pulau Haruku di Maluku Tengah dengan luas wilayah ±180,71 km², Pulau Mangole di Maluku Utara seluas ±1.256,16 km² dan Pulau Batanta di Raja Ampat seluas ±477,24 km².
Mengacu data ini maka Pulau Rempang teridentifikasi masuk dalam kategori Pulau Kecil yang telah ditetapkan dalam UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan luas tidak lebih dari 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa riset antropologi, sejarah dan budaya menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat yang mendiami Pulau Rempang merupakan masyarakat tradisional yang telah ada sejak abad 17, sebagian besar suku Bugis bermigrasi dari Sulawesi Selatan untuk melakukan hubungan perdagangan hasil sumberdaya alam dan kemudian berbaur dengan masyarakat Melayu dari Pulau Sumatera.
Bahkan kawasan ini telah ditempati penduduk sejak zaman kesultanan Melaka, sebuah Kerajaan Melayu yang berpusat di Malaka, itu artinya penduduk yang mendiami Pulau Rempang telah ada sebelum Indonesia merdeka.
Secara spasial pemukiman penduduk yang umumnya masyarakat nelayan di Pulau Rempang menempati beberapa kawasan pesisir di pulau ini, menyebar pada kelompok masyarakat dalam jumlah relatif kecil di bagian timur, selatan dan sebagian berada di barat daya Pulau Rempang.
ADVERTISEMENT
Agak berbeda dengan pulau kecil lain di Kawasan Indonesia Timur, dimana sebagian besar pulau kecil di kawasan ini, masih relatif belum terkola dengan optimal sehingga masih kita temukan pulau kecil yang hanya ditempati oleh masyarakat pesisir (nelayan), tanpa dukungan infrastruktur dan fasilitas yang memadai, aksesibilitas maupun distribusi bahan pokok yang mendukung pertumbuhan ekonomi pulau kecil masih sangat bergantung oleh perkembangan ekonomi di pulau induk.
Kondisi berbeda teridentifikasi di Pulau Rempang, kawasan ini memiliki aksesibilitas yang terkoneksi secara baik dengan pusat wilayah Pulau Batam sebagai centra pertumbuhan ekonomi, melalui jalan Trans Balerang antara Pulau Rempang dengan Pulau Setokok di Kecamatan Bulang Kota Batam.
Jika diamati lebih jelas ruang daratan Pulau Rempang telah mengalami eksploitasi yang tinggi, dan telah berlangsung lama. Hal ini teridentifikasi dari banyaknya industri yang beroperasi dalam kawasan tersebut. Peruntukan pengembangan kawasan Eco City yang saat ini menjadi isu nasional direncakan akan menempati lahan seluas 2.000 ha.
ADVERTISEMENT
Itu artinya sebesar 12,70% dari total luas wilayah Pulau Rempang. Proses pembangunan wilayah pada prinsipnya merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima, karena harapannya ialah dapat memberikan nilai manfaat terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan regional.
Namun perlu diingat bahwa pemanfaatan ruang Pulau Kecil harus disesuaikan dengan karakteristik pulau kecil, kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan bahkan perlu menempatkan mansayarakat lokal sebagai pemegang hak ulayat atas tanah dan kekayaan alam di wilayahnya secara proporsional sehingga capaian pembangunan nasional dapat diwujudkan melalui harmonisasi manusia dengan alam (imfb).