Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perubahan Status Quo dan Masa Depan Orientasi Politik Turki Terhadap Suriah
23 Desember 2024 11:28 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Imam Syafi'ie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jatuhnya rezim Bashar Al-Assad pada 8 Desember 2024 dan perpindahan status quo ke pihak oposisi membawa konsekuensi signifikan terhadap masa depan dan keseimbangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Perubahan status quo ini salah satunya juga berdampak terhadap masa depan kepentingan Turki di kawasan tersebut. Meskipun saat ini dinamika di Suriah masih tidak menentu (fragile statehood) dan terlalu awal untuk memprediksi apa yang akan terjadi ke depan, penulis berpandangan bahwa orientasi politik luar negeri Turki terhadap Suriah selanjutnya akan bertumpu pada dua hal, yaitu keamanan teritorial (melemahkan pengaruh YPG) dan stabilitas sosio-politik dalam negeri (repatriasi pengungsi Suriah).
ADVERTISEMENT
Terkait hal ini, penulis berargumen, pertama, posisi Turki sebagai penyokong salah satu faksi yang berhasil menggulingkan Assad akan memperkuat posisinya untuk mengamankan keutuhan teritorialnya. Kedua, Turki akan memprioritaskan repatriasi pengungsi sebelum kebijakan yang lain. Ketiga, dalam upaya merealisasikan dua agendanya tersebut, terdapat tantangan yang akan dihadapi Turki seperti potensi pertempuran baru di perbatasan Suriah-Israel dan banyaknya faksi di kubu pasukan oposisi. Esai ini akan mengulas masa depan orientasi politik Turki di Suriah pasca jatuhnya rezim, serta kemungkinan tantangan yang akan dihadapi Turki dalam mewujudkan tujuannya tersebut.
Orientasi Politik Turki
Dalam pandangan penulis, eksistensi Turki sebagai penyokong Syrian National Army (SNA), satu faksi oposisi yang turut andil menggulingkan Assad, akan semakin memperkuat posisinya untuk mengamankan keutuhan teritorialnya. Dari faksi mana pun nanti yang mengambil alih kekuasaan pasca transisi, sangat besar kemungkinan Turki akan membangun kerja sama strategis untuk melemahkan pengaruh YPG di wilayah otonomi Suriah Utara yang didapat setelah ditinggalkan pasukan rezim sejak 2012. Unit Perlindungan Rakyat (YPG) yang berada di Suriah dipandang oleh Turki sebagai perpanjangan tangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), gerakan separatis yang selama beberapa dekade terakhir terlibat pemberontakan terhadap pemerintah Turki di dalam negeri dan telah dideklarasikan sebagai organisasi teroris oleh Turki dan Uni Eropa (Çevik, 2022). Meskipun berhasil memerangi ISIS dengan sokongan AS, Turki mengkhawatirkan keberadaan pasukan YPG di utara Suriah ini dapat memicu efek limpahan (spillover effect), yang dapat memantik dan memperkuat gerakan separatis Kurdi di dalam perbatasannya sendiri (Vestenskov & Fierro, 2019).
ADVERTISEMENT
Proyek Rojava, yang merujuk pada upaya pembentukan pemerintahan otonom etnis Kurdi di wilayah utara Suriah, ditentang keras oleh Turki karena dianggap akan semakin menguatkan sentimen nasionalisme Kurdi yang akan berimplikasi pada keamanan dan keutuhan teritorialnya (Federici, 2015). Oleh karena itu, perubahan status quo mengantarkan Turki pada posisi yang lebih kuat untuk mencapai kepentingannya. Dengan pengaruh yang dimilikinya terhadap kekuatan oposisi, Turki dimungkinkan tidak hanya dapat melakukan langkah-langkah koersif untuk melemahkan YPG, tapi juga dapat menggunakan kanal-kanal diplomatik, yang sebelumnya macet ketika Assad masih status quo, untuk penyelesaian yang lebih komprehensif di masa depan.
Orientasi politik luar negeri Turki berikutnya adalah memastikan repatriasi pengungsi Suriah berjalan dengan baik, guna mewujudkan stabilitas sosio-politik di dalam negerinya. Penulis memahami bahwa tumbangnya rezim dan berubahnya status quo di Suriah adalah momentum emas bagi Turki untuk mewujudkan hal tersebut. Keberhasilan repatriasi menjadi taruhan bagi masa depan pemerintahan Erdoğan, mengingat tekanan politik domestik yang terus meningkat dikarenakan isu pengungsi (Secen et al., 2024). Data resmi menunjukkan, hingga Agustus 2024, masih terdapat 3,1 juta pengungsi Suriah di Turki (Mülteciler Derneği, 2024). Selama perang sipil di Suriah, Turki menjadi pihak yang “membayar” paling banyak dalam hal pembiayaan pengungsi. Tak hanya beban ekonomi, keberadaan pengungsi Suriah telah memunculkan isu-isu sosial baru di tengah-tengah masyarakat Turki, seperti kriminalitas dan persaingan kerja yang tidak sehat (Özdemir, 2017).
ADVERTISEMENT
Keberadaan pengungsi Suriah yang awalnya tidak menjadi masalah, lama kelamaan menjadi beban berat bagi masyarakat Turki. Krisis pandemi Covid-19 ditambah inflasi yang melanda Turki setelahnya, membuat situasi semakin tidak menentu dan menjadikan Turki kesulitan untuk menanggung lebih lama keberadaan pengungsi Suriah di dalam negeri. Karena tekanan politik, diskursus di level elite yang pada awalnya bersikukuh dengan pandangannya untuk tidak memulangkan pengungsi, lambat laun berubah menjadi sejalan dengan aspirasi publik (Mörgül, 2023). Berdasarkan realitas tersebut, penulis meyakini bahwa repatriasi pengungsi akan menjadi prioritas utama Turki pasca jatuhnya rezim sebelum mengembangkan kebijakan-kebijakan yang lain.
Kemungkinan Tantangan
Namun demikian, untuk mewujudkan dua agenda tersebut, penulis juga memahami bahwa potensi pertempuran baru di perbatasan Suriah-Israel dapat menjadi tantangan tersendiri bagi Turki. Diketahui bahwa pasca jatuhnya Damaskus ke tangan oposisi yang dipimpin oleh Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), Israel mulai mengirimkan pasukan ke zona penyangga dataran tinggi Golan (Donnison, 2024). Eskalasi di Selatan Suriah antara kekuatan oposisi dan Israel dapat menjadi distraksi bagi Turki dalam upayanya melemahkan YPG. YPG memang tidak memiliki hubungan langsung dengan Israel, tapi jika Israel melakukan langkah ofensif menyerang pasukan oposisi yang telah mengambil alih Damaskus, AS sebagai sekutu Israel kemungkinan besar akan mendukung penuh langkah tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika skenario itu terjadi, peran AS di Suriah dapat kembali menguat dan YPG sebagai aliansinya dalam memerangi ISIS dapat mengambil keuntungan. Hal tersebut akan menuntut Turki untuk mengerahkan sumber daya lebih banyak di dua front sekaligus, operasi melawan YPG di utara dan menyokong oposisi mempertahankan Damaskus di selatan. Saat ini, terdapat sekitar 900 personel militer AS yang menempati pos-pos penjagaan di wilayah timur Suriah. Fokus operasinya adalah mencegah bangkitnya ISIS (Humud, 2022). Meski tidak berjumlah banyak, keberadaan pos-pos militer tersebut dapat dibaca sebagai keengganan AS untuk melepaskan Suriah secara total. Dinamika yang masih sangat cair dapat membuka peluang bagi AS untuk menempatkan pasukannya lebih banyak lagi pasca hengkangnya Rusia dan Iran dari kawasan.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya adalah banyaknya faksi dalam tubuh pasukan oposisi. Penulis memandang bahwa banyaknya faksi jihadis di internal oposisi berpotensi menjadi hambatan apabila transisi kepemimpinan tidak berjalan dengan mulus. Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) merupakan sempalan dari Al-Qaeda cabang Suriah dengan nama awalnya Jabhat al-Nushra. HTS kemudian bermetamorfosis menjadi bentuknya yang sekarang dengan tampil sebagai organisasi yang lebih otonom dan nasionalis guna mendapatkan simpati masyarakat (Holtz, 2023). Di dalam tubuh HTS terdapat faksi-faksi jihadis seperti Jabhat Fateh al-Sham (JFS), Ahrar al-Sham, Jund al-Aqsa, Harakat Nuruddin al-Zenki, dan Liwa al-Haqq (Drevon, 2024). Belum lagi kubu Syrian National Army (SNA) yang disokong langsung oleh Turki sendiri. Oleh karena itu, Turki memiliki peran vital dalam memastikan transisi kekuasaan di Suriah berjalan mulus dengan cara-cara damai dan demokratis. Hal ini menjadi tantangan bagi para aktor, utamanya Turki, karena sukses tidaknya transisi kepemimpinan akan berpengaruh langsung pada keberhasilan repatriasi pengungsi Suriah ke negerinya.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, jatuhnya rezim dan bergantinya status quo di Suriah telah menjadikan posisi Turki lebih kuat dalam upayanya mengamankan keutuhan teritorial. Sebagai pihak yang menang, Turki memiliki pengaruh untuk membangun kerja sama strategis dalam melemahkan pengaruh YPG di utara Suriah dengan pemerintahan yang baru nantinya. Selain itu, agenda prioritas Turki pasca jatuhnya rezim adalah repatriasi pengungsi Suriah. Akan tetapi, keberhasilan Turki untuk mewujudkan agendanya bergantung pada apakah Turki mampu mengatasi tantangan-tantangan yang muncul berikutnya, seperti potensi konflik baru di perbatasan Suriah-Israel dan banyaknya faksi dalam tubuh oposisi.