Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kompleksitas Kerjasama Internasional dalam Mengatasi Perdagangan Manusia
7 Juni 2024 17:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Iman Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masalah mengenai perdagangan manusia saat ini telah menjadi fenomena global yang menjadi masalah oleh banyak negara di dunia. Data dari laporan (ILO, 2020) menunjukan bahwa pada 2021 nyaris 50 juta orang di dunia hidup dalam kondisi perbudakan, 27 juta merupakan korban kerja paksa, dan 22 juta sisanya merupakan korban dari perkawinan paksa. Wanita dan anak-anak menjadi korban utama dari perdagangan manusia, dimana 4,9 juta menjadi pekerja seks paksa dan 6 juta lainnya menjadi pekerja paksa di berbagai sektor lainnya. Selain itu, laporan ini juga mencatatkan temuan bahwa Asia-Pasific menjadi kawasan dengan kasus perdagangan manusia tertinggi, sebanyak 15 juta orang dan Timur Tengah menjadi kawasan dengan prevalensi perdagangan manusia tertinggi, yaitu 5,3 per seribu orang.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan yang sama pula, ILO mencatat bahwa kasus perdagangan manusia dan perbudakan modern pada saat ini diperparah oleh berbagai krisis yang melanda dunia, seperti pandemi COVID-19, berbagai konflik bersenjata, perubahan iklim yang mendisrupsi proses produksi, dan meningkatnya kemiskinan ekstrem global. (ILO, 2020) Perdagangan manusia sendiri juga kerap disebut sebagai perbudakan modern, karena upaya-upaya perdagangan ini bersifat ilegal dan bertujuan untuk melakukan berbagai kerja paksa dengan upah seminimum mungkin atau tidak ada sama sekali. (Wulandari & Wicaksono, 2014) Bentuk-bentuk eksploitasi dari perdagangan manusia sendiri beragam, dimana utamanya korban dijadikan sebagai pekerja paksa (forced labour), pekerja seks paksa, eksploitasi seksual terhadap anak, pekerja migran, adopsi, hingga kerja-kerja domestik rumah tangga. Perdagangan manusia kerap kali menggunakan modus sebagai penawaran jasa kerja migran dan banyak menargetkan para perempuan yang berada dalam posisi miskin, kurang berpendidikan, dan berada di pedesaan. (Ayupratiwi, Mangku, Et al., 2022)
ADVERTISEMENT
Upaya penanganan terhadap perdagangan manusia telah dilakukan oleh banyak pihak, baik secara nasional maupun multinasional. Isu perdagangan manusia kini telah menjadi isu transnasional dan penangannya tentu tidak cukup dengan penanganan yang bersifat domestik. Berbagai kerangka internasional telah diciptakan sebagai upaya kerjasama internasional untuk mengatasi masalah ini. Beberapa diantaranya adalah International Convention on the Rights of Children pada 1989 dan the United Nations Convention on combating transnational organised crimes (UNTOC) pada 2000. Meskipun begitu, isu perdagangan manusia kerap dianggap sama dengan imigrasi ilegal, namun UNTOC memberikan definisi jelas yang dapat membedakan keduanya, dimana perdagangan manusia didefinisikan sebagai kejahatan dimana adanya manusia sebagai korban atau objek, keterlibatan kelompok kriminal terorganisir, dan bersifat transnasional. (Atmasasmita. 2021)
ADVERTISEMENT
Meskipun telah banyak upaya pembangunan kooperasi internasional dan berbagai perjanjian dan kovenan telah banyak diciptakan, nyatanya masalah perdagangan manusia masih jauh dari kata selesai. Seperti data yang telah disebutkan diawal, kasus perdagangan manusia utamanya di negara dunia ketiga masih sangat tinggi dan menargetkan mereka yang berada dalam posisi termarjinalkan, wanita, miskin, dan tidak berpendidikan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai mengapa masalah perdagangan manusia tidak kunjung terselesaikan meski telah banyak upaya internasional dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Reichel, 2008) menemukan banyak hambatan-hambatan yang dapat menjelaskan mengenai mengapa banyak upaya internasional untuk mengatasi perdagangan manusia menemui kegagalan. Pertama, adalah perbedaan cara pandang setiap negara dan aktor dalam kerjasama dalam memandang kerangka kerja yang ada. Masalah kedua adalah birokrasi yang cenderung menghambat kerja-kerja pencegahan dan penanganan menjadi tidak efisien. Masalah birokrasi juga melahirkan masalah turunan lainnya, yaitu korupsi. Dua masalah ini kerap terjadi karena berbagai perjanjian internasional cenderung melahirkan kebijakan yang bersifat top-down dan rendahnya pengawasan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tingginya tingkat korupsi dan kekerasan petugas US Immigration and Customs Enforcement (ICE).
ADVERTISEMENT
Masalah ini coba diatasi oleh banyak negara melalui pelibatan komunitas masyarakat sipil melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun hal ini justru menimbulkan masalah baru. Dimana LSM yang terlibat justru menjadi saling berkompetissi satu sama lain dalam meraih visibilitas dan donor alih-alih berkolaborasi seperti yang diharapkan. Kondisi ini juga melahirkan masalah yang sama, yaitu korupsi berupa banyaknya pendirian LSM “palsu” yang berdiri hanya untuk menyerap funding donor saja. Dan masalah terakhir yang cukup berkontribusi adalah perbedaan sistem hukum dari tiap-tiap negara, baik dari level penyidikan hingga penegakan hukum. Misalnya tiap negara berbeda mengenai mekanisme penyadapan, hukum perbatasan, dan lain-lain. (Reichel, 2008)
Komunitas internasional telah melakukan berbagai upaya kooperasi internasional untuk mengatasi masalah perdagangan manusia yang kini telah menjadi fenomena global. Namun upaya ini masih menghadapi berbagai kendala yang berakibat pada kegagalan penerapannya. Berbagai kendala ini diakibatkan oleh sifat kerjasama yang bersifat top-down, korupsi dan penyimpangan oleh aparatus negara, kurangnya kerjasama antar komunitas, dan perbedaan pandangan serta sistem hukum dari masing-masing negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut.
ADVERTISEMENT