Konten dari Pengguna

Ruang Siber dan Perkembangan Politik Modern

Iman Amirullah
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional di Universitas Amikom Yogyakarta
15 September 2024 9:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iman Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Darlene Alderson: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-laki-laki-lelaki-teknologi-4384781/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Darlene Alderson: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-laki-laki-lelaki-teknologi-4384781/
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi telah mendorong hadirnya internet yang dapat menghubungkan manusia meskipun berjauhan satu sama lain dan dalam waktu yang sangat singkat. Kehadiran internet juga mempermudah terjadinya arus pertukaran informasi tanpa memandang batas negara. Kehadiran internet yang bersifat bebas dan tidak mengenal batasan-batasan negara tradisional tentu menghadirkan tantangan tersendiri bagi negara-negara dalam menghadapi perkembangan internet saat ini. Persoalan bagaimana negara dapat hadir dalam ruang siber kini menjadi area perdebatan baru bagi penstudi hubungan internasional, masalah ini juga menjadi tantangan tersendiri mengingat ruang siber merupakan term yang bersifat baru dan memiliki kondisi yang sangat berbeda dengan kondisi space yang biasa kita kenal sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Istilah cyberspace atau ruang siber sendiri belum memiliki definisi baku yang dapat disepakati oleh semua pihak. Cyberspace sendiri dapat didefinisikan sebagai area baru dimana interaksi manusia yang terfokus pada internet dan berbagai sistem perangkat komputer yang telah menjadi ciri mendasar masyarakat yang menciptakan realitas baru yang dihadapi semua orang (Chourcri & Clark, 2013). Lapisan dalam internet sendiri dibagi menjadi empat lapisan, pertama fondasi fisik seperti kabel fiber, menara seluler, jaringan listrik, hingga perangkat komputer. Kedua, lapisan logika seperti protokol internet, World Wide Web, peramban, hingga situs web. Ketiga, lapisan informasi yang terdiri dari kode, video, gambar, teks, yang disimpan, dipindahkan, dan diolah di ruang siber. Dan yang terakhir adalah lapisan user yang membentuk pengalaman siber dan kondisi nature dalam ruang siber (Chourcri & Clark, 2013).
ADVERTISEMENT
Istilah cyberspace sendiri mungkin lebih dikenal sebagai ruang siber dalam Bahasa Indonesia, atau internet dan digital dalam istilah sehari-sehari. Sarana internet kini telah digunakan dalam proses politik dan demokrasi di banyak negara. Salah satu output dari masifnya penggunaan internet dalam proses demokrasi adalah munculnya aktivisme digital. Aktivisme digital sendiri dapat dimaknai sebagai proses penggunaan sosial media atau medium digital oleh seseorang untuk menciptakan perubahan sosial (Tifa Foundation, 2017).
Kekuatan aktivisme digital sendiri cukup beragam sebagai instrumen untuk mengawal dan menekan pemerintah agar tidak berjalan diluar rel yang seharusnya. Salah satu contoh populer dari aktivisme digital adalah kasus Wikileaks. Pada 2010 sebuah kelompok siber non-profit merilis ribuan dokumen dan informasi rahasia Amerika Serikat. Dokumen-dokumen yang dirilis sendiri terdiri dari banyak hal, seperti dokumen terkait Perang Irak, hingga berbagai kabel diplomatik rahasia. Tindakan ini mengakibatkan berbagai reaksi, para petinggi Wikileaks seperti Julian Assange harus mendapatkan ancaman pemenjaraan hingga harus melarikan diri dari negaranya. Tindakan ini mempengaruhi banyak gerakan masyarakat untuk mendorong transparansi kebijakan pemerintahan di Amerika Serikat hingga menuntut penarikan militer AS dari banyak negara (Fenster, 2012).
ADVERTISEMENT
Pada 2012 Youtube menjadi platform bagi film berjudul Innocence of Muslims yang dianggap Islamofobik bagi banyak kalangan. Penolakan Youtube untuk men-takedown film tersebut mengakibatkan banyak negara seperti Pakistan naik darah dan memutuskan untuk membatasi akses bagi warga negaranya terhadap Youtube. Tindakan ini dapat dilihat sebagai upaya sebuah negara dalam melawan aktor non-negara global yang dianggap membahayakan kepentingan negaranya (Wilkes, 2017).
Dan kasus yang paling berdampak besar dari aktivisme digital adalah peranan sosial media dalam Arab Spring. Sebuah gelombang revolusi menggulung negara-negara yang dipimpin para diktator di Timur Tengah. Dimulai dari Tunisia dan Mesir, gelombang revolusi ini menyebar hingga ke Suriah, Bahrain, Libya, dan banyak lainnya. Sosial media menjadi tulang punggung bagi gerakan Arab Spring, dimana liputan-liputan mengenai kekerasan negara terhadap para demonstran disebarkan menggunakan sosial media seperti Facebook. Sosial media juga men jadi sarana pengorganisiran seperti melalui berbagai grup dan fanspage. Mesir mencoba menghalangi demonstrasi dengan membatasi akses internet dari masyarakat yang pada akhirnya terbukti gagal menghentikan demonstrasi (Soengas, 2013).
ADVERTISEMENT
Internet memiliki peranan krusial dalam memperkuat demokrasi dengan menyediakan akses bebas dan terbuka terhadap informasi, memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik, dan memfasilitasi pertukaran pendapat. Dengan memberikan platform untuk menyebarkan berita dan pendapat secara cepat dan luas, internet memperkuat transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Selain itu, media sosial dan platform online memungkinkan masyarakat untuk berkomunikasi, mengorganisir, dan bersatu dalam kampanye sosial dan politik. Namun, sementara internet dapat meningkatkan partisipasi demokratis, juga perlu diperhatikan tantangan terkait penyebaran disinformasi dan provokasi berrbasis SARA yang dapat memicu polarisasi. Oleh karena itu, pengelolaan dan penggunaan internet yang bijak menjadi kunci untuk mendukung demokrasi yang kuat dan inklusif.
Referensi
Chourcri, N., & Clark, D. D. (2013). “Who controls cyberspace?” Bulletin of Atomic Scientist, 69(5).
ADVERTISEMENT
Fenster, Marks. (2012). “Disclosure’s Effects: WikiLeaks and Transparency.” Lowa Law Review (97)
Soengas, Xose (2013). "The Role of the Internet and Social Networks in the Arab Uprisings-- An Alternative to Official Press Censorship". Communicar. 21 (41): 147–155. doi:10.3916/C41-2013-14.