Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Larangan Gondrong bagi Mahasiswa Sastra
9 Juni 2022 19:02 WIB
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu waktu penulis menemukan peraturan yang aneh menurut pandangan subjektif penulis. Peraturan itu kurang lebih berbunyi, “Mahasiswa sastra dilarang berambut gondrong.” Artinya, semua mahasiswa sastra khususnya yang laki-laki rambutnya harus dicukur rapi. Lebih konyolnya lagi, hukuman bila ketahuan melanggar aturan tersebut adalah dipaksa untuk memotong rambut dengan gaya serupa dengan rambut sang kepala jurusan (cepak). Padahal kampus adalah tempat kebebasan diagungkan. Kebebasan berpikir, kebebasan berbicara termasuk juga kebebasan berekspresi harus dijunjung tinggi di dalam kampus. Bahkan, seharusnya kampus itu bisa lebih bebas dari negara.
ADVERTISEMENT
Mari coba kita sedikit uraikan perihal kasus tersebut. Nampaknya, kita semua harus sepakat bahwasanya kegondrongan tidak berpengaruh terhadap kecerdasan manusia. Bahkan para ilmuwan pun banyak yang memiliki rambut gondrong. Penampilan tidak mencerminkan moralitas juga intelektualitas seorang manusia, khususnya mahasiswa. Apalagi mahasiswa sastra, yang seharusnya memiliki kebebasan lebih luas dibanding mahasiswa fakultas lain. Sebab prinsip dasar sastra adalah kebebasan. Kebebasan berimajinasi, kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir. Bagaimana mahasiswa sastra dapat menemukan makna kebebasan tersebut bila sekadar rambut saja dibatasi?
Mahasiswa sastra yang seharusnya dapat mengaktifkan pikiran dan imajinasinya untuk memahami dan megamalkan ilmu sastra sudah semestinya yang dimilikinya pertama kali adalah kebebasan. Sekarang bagaimana pikiran dan imajinasi bebas itu akan ia dapat dan sampaikan, sementara dalam perkara rambut saja mereka diatur. Bukan tidak mungkin akan timbul dalam benak mereka semacam pikiran, “Sekadar rambut saja kita dibatasi, jangan-jangan berpikir pun demikian.” Kecurigaan itu akan timbul dengan sendirinya sehingga membuat sulit ditemukannya penemuan atau pikiran baru mengenai sastra, sebab mahasiswa menjadi ragu dan malas untuk mengaktifkan pikiran liarnya karena terkekang oleh aturan kampus.
ADVERTISEMENT
Dalam mitologi Slavia ada seorang tokoh yang bernama Baba Yaga. Dia terkenal suka menculik dan memakan anak kecil. Penampilannya menyeramkan. Wajahnya jelek, hidungnya panjang, rambutnya tidak beraturan, pakaiannya pun lusuh. Dia tinggal di suatu gubuk tua yang memiliki kaki seperti kaki ayam, letaknya berada di tengah hutan Rusia. Baba Yaga selalu menaiki lesung ketika mencari mangsa sembari memegang alu di lengannya. Satu hal yang unik dari Baba Yaga adalah meskipun dia suka memakan anak kecil namun dia adalah makhluk yang sportif. Setiap ia menculik atau kedatangan anak kecil, Baba Yaga akan memerintahkan si anak kecil untuk mengerjakan suatu pekerjaan di dalam gubuknya. Bila dia berhasil mengerjakannya dengan baik maka dia akan diberi hadiah. Tapi, jika anak kecil itu gagal maka ia akan dimakan oleh Baba Yaga.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, datang seorang ayah bersama dengan putrinya ke gubuk tua Baba Yaga. Dengan penampilan menyeramkan, Baba Yaga menyambut kedatangan mereka. Singkat cerita, si ayah pulang ke rumah meninggalkan putri kecilnya bersama Baba Yaga. Anak kecil itu pun diperintahkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan oleh Baba Yaga. Anak kecil itu berhasil mengerjakannya dengan baik. Dan akhirnya anak itu pun diberi hadiah berupa gaun yang sangat indah dan diizinkan pulang ke rumahnya. Ia tidak jadi santapan Baba Yaga.
Kisah Baba Yaga tersebut membuktikan bahwa penampilan tidak selalu meggambarkan moralitas yang buruk. Padahal bisa saja Baba Yaga tetap memakan si anak tersebut. Tapi dia memilih bersikap sportif. Sosok Baba Yaga juga mengajari kita sebagai manusia sudah semestinya bersikap sportif. Kalau kita coba korelasikan dengan kasus larangan berambut gondrong bagi mahasiswa sastra, kenapa kampus khususnya fakultas sastra tidak memberikan aturan seperti Baba Yaga?
ADVERTISEMENT
Misalnya, “Mahasiswa sastra boleh gondrong asal mencapai IPK minimal 3,00.” Bukankah itu terasa lebih etis dibandingkan pelarangan secara langsung? Yang mana hal itu dapat mencederai kebebasan mahasiswa serta membuat kampus menjadi terkesan otoriter terhadap mahasiswanya. Bila diterapkan, aturan tersebut dapat menjadi motivasi tersendiri bagi mahasiswa yang ingin memiliki rambut gondrong untuk belajar lebih sungguh-sungguh.
Kampus yang mana dihuni oleh para intelektual yang seharusnya dapat membaca dan menyadari bahwasanya keadaan psikis setiap mahasiswa itu beragam. Misalnya, ada yang percaya diri dengan penampilan rapi dan formal, tapi ada juga yang lebih percaya diri ketika berpenampilan lebih bebas, salah satunya berambut gondrong. Sebab latar belakang dan tujuan setiap mahasiswa itu berbeda-beda, oleh karena itu kenyamanan selama menjadi mahasiswa pun bisa didapatkan dengan cara yang berbeda pula atau dengan kata lain mereka punya caranya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sekarang coba kita analisis akibat dari diterapkannya aturan larangan gondrong bagi mahasiswa sastra. Bagi mahasiswa sastra yang terbiasa rapi aturan tersebut tidak akan menjadi masalah. Namun, bagi mereka yang butuh mengekspresikan diri lewat penampilan gondrongnya akan merasakan semacam kekakuan yang membuat mereka terhambat dalam berekspresi dan berkreasi seraya menunjukkan potensinya di kampus. Sehingga yang seharusnya ia berprestasi dalam bidang sastra dapat terhambat karena merasa tidak percaya diri sebab rambutnya cepak. Lalu ia enggan tampil untuk membaca sebuah puisi karena tidak percaya diri pada penampilan rambutnya, misalnya.
Universitas adalah tempat orang berpikir, bukan tempat fashion show. Jadi, yang salah adalah ketika mahasiswa itu tidak berpikir, bukan ketika mahasiswa berambut gondrong. Artinya, jangan perintahkan mahasiswa untuk berambut tipis, tapi perintahkan mahasiswa untuk berpikir kritis. Bagaimana caranya? Tentunya dengan memberikan kebebasan berekspresi itu, mulai dari hal kecil perkara rambut misalnya. Kampus seharusnya mendidik mahasiswa dengan pikiran, bukan dengan aturan apalagi penampilan.
ADVERTISEMENT